Recommended

Garis Batas 95: Tangan Tuhan

Belajar menembak (AGUSTINUS WIBOWO)

Belajar menembak (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya ingat, tak sampai dua bulan yang lalu, saya datang ke KBRI Tashkent dengan bercucuran air mata. Empat ratus dolar saya tiba-tiba raib dari dompet, yang saya sendiri pun tak tahu bagaimana ceritanya. Ceroboh, ceroboh, ceroboh, saya memaki-maki sendiri. Satu per satu diplomat dan staf KBRI duduk di hadapan saya, memberikan penguatan.

“Gus, mungkin Tuhan memang punya kehendak,” kata Pak Pur, seorang diplomat, “mungkin dengan kejadian ini Tuhan mengingatkan kamu supaya lebih rajin bekerja, lebih rajin memotret, lebih rajin menulis. Semua itu ada hikmahnya.”

Pak Pur kemudian bercerita tentang puluhan ribu dolar yang dicuri orang waktu naik kereta di Rusia. Lebih sakit rasanya. Tetapi akhirnya beliau juga bisa mengikhlaskan.

Bicara tentang Tuhan, mengapa Tuhan tak mengizinkan saya melanjutkan perjalanan lagi, saya ingin sekali melihat negeri-negeri Kaukasus yang dilupakan orang, eksotisnya padang pasir Timur Tengah, serta Afrika yang liar. Apa daya, Tuhan tak mengizinkan, uang saya tak banyak lagi tersisa. Empat ratus dolar, begitu besar artinya bagi saya.

Mungkin Pak Pur benar, Tuhan berkehendak lain. Setelah meratap berhari-hari, saya akhirnya berusaha bangkit dari keterpurukan. Saya mencari lowongan kerja di sana-sini, mengontak kawan ini dan itu, hingga pada akhirnya, hari ini, saya tersenyum kecil melihat sebuah visa Afghanistan tertempel di paspor saya. Sebuah paspor yang untuk memperolehnya benar-benar butuh perjuangan.

Afghanistan? Ya. Saya membulatkan tekad untuk kembali ke negara ini, negara yang sudah barang tentu bukan tempat wisata favorit orang-orang normal mana pun. Saya juga bukannya mau berwisata, tetapi mencari uang untuk melanjutkan perjalanan saya, menggapai cita-cita mencapai ujung dunia, yang entah ada di mana.

Hujan turun rintik-rintik di Samarkand, ketika saya meninggalkan rumah Ozoda. Berat sekali rasanya meninggalkan Uzbekistan. Tetapi tak perlu air mata. Langit telah mewakili perasaan saya. Saya menumpang mobil melintasi gunung-gunung menuju kota Termiz di selatan Uzbekistan. Tak hanya gunung, saya juga melintasi sejarah. Ada Shakhrisabz, salah satu kota yang menjadi situs peninggalan UNESCO, yang kampung kelahirannya raja besar Amir Temur. Ada pula Qarshi, yang baru merayakan ulangtahunnya yang ke-2700. Kota-kota di Uzbekistan kebanyakannya memang sudah empat digit umurnya.

Kota Termiz atau Termez juga kota tua. Didirikan seribu tahun sebelum masehi, dengan nama yang mirip-mirip termos. Mungkin karena itu juga, Termiz adalah kota paling panas suhunya di Uzbekistan. Baru-baru ini saja kota Termiz, ibu kota propinsi Surkhandaryo, dibuka untuk orang asing. Lokasinya sangat sensitif, di depan pintu gerbang negara Afghanistan yang tidak pernah tenang.

Perbatasan Afghanistan terletak di sebuah desa bernama Hairatan, sekitar 20 menit perjalanan dengan marshrutka. Saya pun sebenarnya tidak tahu pasti kalau saya bisa menyeberang di sini, karena dulunya perbatasan ini hanya dibuka untuk mobil-mobil PBB, diplomat, atau konvoi militer. Yang menjadi pegangan saya adalah para satpam di kedubes Afghan di Tashkent yang bersumpah-sumpah bahwa perbatasan dibuka untuk umum.

Dengan langkah penuh keragu-raguan, saya menuju pintu gerbang perbatasan. Tentara Uzbekistan yang tinggi dan gagah membolak-balik paspor saya, kemudian menyuruh saya menunggu. Menunggu apa? Saya juga tidak tahu. Tidak ada orang lain di perbatasan ini. Sunyi, misterius, mencekam.

Tiga puluh menit berselang, bus angkutan datang. “Naik!” kata seorang tentara. Apakah perbatasan masih jauh sekali sampai harus naik bus dulu? Ya. Dari pintu gerbang tadi ke perbatasan yang sebenarnya masih sekitar satu kilometer lagi. Tetapi bus di sini juga mencari untung. Saya membayar 2.000 Sum untuk tumpangan sampai ke pos imigrasi.

Kantor imigrasi Uzbekistan sepi sekali. Tidak ada seorang pun. Memang tak ada yang mau dan bercita-cita berkunjung ke Republik Islam Afghanistan. Baru pertama kali saya melihat perbatasan internasional yang sesunyi ini.

Dari balik ruangan, datang seorang gadis Uzbek yang tinggi langsing memakai seragam polisi perbatasan, kemeja putih dengan rok abu-abu setinggi lutut, mirip seragam anak SMA. Rambutnya keriting, panjang dan lebat, mengingatkan saya pada Ahmad Albar. Mungkin ini terakhir kali saya melihat perempuan seperti ini. Di seberang sungai sana, perempuan dibungkus rapat-rapat dalam burqa dan menjadi makhluk-makhluk yang sepenuhnya anonim.

Saya disuruh mengisi formulir deklarasi, yang semua pertanyaannya dalam bahasa Rusia. Dua ratus tiga puluh dolar, itu semua uang yang saya punya. Saya tulis dengan sejujur-jujurnya, dan saya tanda tangani.

Bagian yang paling ribet adalah bea cukai. Pertama-tama tas ransel saya diperiksa dengan sinar X. Kemudian datang tentara Uzbek yang masih muda, tinggi dan gagah, meminta saya menunjukkan satu per satu barang yang saya bawa. Ini bukan pengalaman pertama, saya sudah terbiasa dengan perbatasan Turkmenistan.

Satu per satu barang ditanyakan untuk apa dan mengapa. Saya membawa banyak buku. Setiap buku saya harus mengisahkan apa isinya. Ada buku tentang sejarah Persia, yang semua ditulis dalam huruf Arab. Tentara yang tidak bisa baca huruf Arab sama sekali semakin membuat repot dengan berbagai pertanyaan tentang agama. Untung saya tidak bawa buku favorit yang berjudul “Jihad”, bisa-bisa saya digiring ke ruang interogasi. Terus, apa lagi ini? Saya membawa uang logam dan duit kertas dari Iran dan Turkmenistan. Ini mungkin termasuk barang antik yang tidak boleh ‘diekspor’. Si tentara berpikir sejenak, kemudian memanggil lagi Mbak yang rambutnya mirip Ahmad Albar.

Uang logam lama Iran semuanya bertulis huruf Arab. Nampak kusam-kusam, mulai dari zaman Shah sebelum Revolusi Iran. Sialnya lagi, setiap keping uang tertera angka tahun Persia, yang 700 tahun ketinggalan dari tahun Masehi. Si polisi wanita geleng-geleng kepala. Ini harus disita. Harus diteliti dulu apakah termasuk barang kuno, peninggalan museum, barang langka, atau bukan. Dia mengambil tujuh keping uang Iran untuk ‘karantina’.

Bukan hanya buku dan uang, bahkan baju-baju pun diperiksa tiap sakunya, apakah ada barang yang disembunyikan. Pakaian dalam pun diteliti lekat-lekat oleh si tentara muda itu. Saya tidak iri dengan pekerjaannya. Yang saya heran mengapa dia harus seteliti itu. Apa yang dicari? Apa saya dicurigai akan menyelundupkan peluru ke Afghanistan? Atau buku-buku terlarang?

Apa pun juga, saya cuma ingin acara penggeledahan ini cepat selesai, dan segera melangkahkan kaki ke gerbang negeri Afghan yang menganga di seberang sungai sana.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 16 Juli 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Garis Batas 95: Tangan Tuhan

  1. aq koq fenasaran kepingin eruh tangise cak agus :p

  2. Mas Agus, keren…. jadi ingin baca lanjutannya… 😀

Leave a Reply to Rina Andriana Cancel reply

Your email address will not be published.


*