Recommended

Aplaus (2012): Agustinus Wibowo, Berubah Bersama Perjalanan

1211-aplaus-people-and-inspiration

 

 

Agustinus Wibowo (31) : Berubah Bersama Perjalanan

Teks oleh Eka D. Rehulina @ekarehulin | Foto Istimewa

 

BAGINYA perjalanan dan menjadi turis adalah mimpi masa kecil yang telah terwujud. Kisah perjalanannya sangat luar biasa, di negeri-negeri berbahaya di Asia Tengah yang tak pernah terbayangkan para pejalan awam. Selimut Debu dan Garis Batas, dua tulisannya yang telah dibukukan. Menceritakan kisah-kisah perjalanan yang telah ia lalui. Tentu saja, selain tulisan dan foto-fotonya yang kerap terbit di media nasional kita.

 

What Inspire Us…

Sebenarnya rasa takut itu bukan untuk dilawan, tetapi dipahami. Rasa takut itu manusiawi, yang justru jika diolah dengan benar akan menjadi motivasi. Misalnya, kita bekerja keras di hari ini, justru karena rasa takut akan goncangan di hari tua nanti. Nah, ada rasa takut yang rasional, ada rasa takut yang irasional, ada rasa takut yang harus ada, ada rasa takut yang tidak perlu. Perjalanan sendiri adalah proses untuk melepaskan diri dari rasa takut.

 

Bohong kalau bilang saya tidak takut mati. He-he-he… Itu adalah ketakutan yang sangat manusiawi, dan rasional. Tapi ini kembali lagi kepada bagaimana cara kita menghadapi ketakutan kita sendiri.

 

Sakit di luar negeri adalah salah satu masalah serius. Saya pernah kena hepatitis waktu berada di India dan Pakistan. Near death experience pernah saya alami di Afghanistan, ketika saya dirampok dan hampir diculik. Kecopetan dan kerampokan sudah tidak terhitung jumlahnya, sampai saya terbiasa dan tidak terlalu menganggap serius. Menurut saya, semua pengalaman itu adalah warna perjalanan yang memang harus ada.

 

Dulu waktu saya berangkat dari Beijing pada tahun 2005, cita-cita saya adalah untuk melakukan perjalanan darat keliling dunia, sampai ke Afrika Selatan. Saya waktu itu sangat ingin jadi jurnalis supaya bisa menyampaikan cerita dari orang-orang di tempat-tempat yang selama ini terlupakan. Itu cita-cita awalnya. Tetapi semakin lama berjalan, semakin saya merasa, destinasi itu tidak lagi penting. Saya tidak lagi terlalu mengejar apakah saya sampai ke Afrika Selatan nantinya. Saya malah terhenti bertahun-tahun di Afghanistan, karena sekarang perjalanan buat saya bukan lagi kisah tentang “mereka”, melainkan refleksi tentang “diri saya sendiri”.

 

Sejak kecil saya ingin mengintip dunia. Hobi saya adalah koleksi perangko, juga menulis surat dengan sahabat pena yang tersebar di 71 negara di lima benua. Saya suka membaca Buku Pintar, menonton Dunia Dalam Berita, membaca buku dan ensiklopedia. Saya dibesarkan di kota kecil, luar negeri adalah cuma mimpi fantasi, apalagi di zaman itu ketika naik pesawat pun masih mustahil.

 

Perjalanan pada awalnya adalah sebuah pelarian, pemenuhan tantangan, dan pembuktian diri. Tapi kemudian, perjalanan adalah proses untuk menghilangkan diri, ketika kita melebur sepenuhnya dalam kehidupan masyarakat. Tahap berikutnya, perjalanan adalah justru untuk menemukan diri, ketika kita melihat cermin diri kita di mana-mana.

 

Perjalanan solo backpacker sebenarnya bukan pilihan, tetapi memang satu-satunya cara yang mungkin. Saat itu saya masih mahasiswa, orangtua saya sama sekali tidak mendukung saya melakukan perjalanan seperti ini. Jadi saya hanya menghemat uang makan, dengan dana yang terbatas untuk melakukan backpacking ke negara-negara tetangga China. Saya justru menemukan banyak kejutan dari hubungan pertemanan yang sepenuhnya kenal di perjalanan.

 

Untuk memulai semua perjalanan ini, tidak ada persiapan lain-lain selain mempersiapkan hati. Bersiaplah untuk berubah bersama perjalanan.

 

Jurus utama untuk bertahan di situasi tersulit adalah low profile. Terkadang berlagak bodoh juga adalah jurus ampuh, misalnya menghadapi perampok atau polisi korup. Cara lainnya sih pasrah aja, dan menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang abadi.

 

Sekarang saya di China, bekerja untuk perjalanan berikutnya. Saya memang sedang melakukan perjalanan, lalu ketika duit menipis, bekerja sementara, setelah terkumpul, saya melakukan perjalanan berikutnya. Jadi perjalanan itu bukan cuma berpindah, tapi terkadang juga menetap, karena waktu kita menetap kita akan semakin bisa melihat kembali segala perpindahan yang telah kita alami dari sudut berbeda.

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*