Recommended

Garis Batas 7: Menuju Khorog

93 persen wilayah Tajikistan adalah pegunungan tinggi. Berjalan di negeri ini bagaikan menembus dunia di atas awan. (AGUSTINUS WIBOWO)

GUNUNG, SALJU, AWAN TAJIK — Berpetualang di Tajikistan, perpaduan antara gunung, salju, awan, dan sejumput keberanian (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya teringat gurauan orang Afghan tentang tiga barang yang paling murah di Tajikistan – meva, piva, dan beva. Buah, bir, dan janda. Yang dimaksud dengan ‘janda’ adalah gadis-gadis Tajik yang bebas pergaulannya.

Selain cantik, perempuan Tajikistan juga tangguh tak kepalang. Jalan naik turun gunung memaksa mobil berkali-kali mogok. Barang bawaan yang diikatkan di atas kap mobil juga beberapa kali terlempar jatuh. Di bawah hujan rintik-rintik, para gadis dengan cekatan memunguti bagasi. Ibu tua dengan kekuatan ototnya ikut mendorong mobil.

Jalan yang menghubungkan Dushanbe ke Khorog hingga Kyrgyzstan bernama jalan M-41. Nama kerennya adalah Pamir Highway. Lewat barisan gunung tinggi yang seperti tak tertembus ini, ternyata jalannya beraspal mulus, walaupun ada sedikit bolong-bolong yang mungkin baru muncul setelah Tajikistan merdeka dan kegagalan ekonomi terus mendera.

Saya jadi mengagumi kedigdayaan Uni Soviet, yang masih memberi perhatian ke tempat paling terpencil di mantan negara raksasa itu. Tajikistan tak lebih dari ujung kukunya Uni Soviet, tetapi juga pernah menjadi pusat kegiatan basmachi, pemberontakan umat Muslim terhadap rejim komunis. Dan Pamir, siapa yang peduli tempat terpencil yang dikurung gunung-gunung ini? Tetapi nyatanya, jalan beraspal yang mulus juga dibangun untuk sampai ke pelosok-pelosok desa. Jaringan listrik juga merambah seluruh penjuru. Semua orang, laki-laki maupun perempuan, menikmati bangku pendidikan.

Pukul sepuluh malam, mobil kami melewati puncak gunung Khaburabot. Salju sudah turun di sini. Untungnya mobil tidak selip. Karena mendorong-dorong mobil yang mogok di tumpukan salju, tengah malam begini, tentu bukan pekerjaan yang asyik.

Kalaikum, puncak gunung salju kedua, adalah pintu masuk menuju GBAO, provinsi paling sensitif di Tajikistan. Semua orang harus menunjukkan paspor. Orang Tajikistan tidak punya KTP, hanya punya paspor. Warga negara Tajikistan yang bukan penduduk GBAO pun tidak boleh sembarangan masuk sini. Orang asing apalagi, harus punya permit khusus.

Tentara pemeriksa paspor masih muda. Umurnya baru 18 tahun. Ibu tua menyuruh saya menyelipkan selembar Somoni ke paspor saya. Mungkin memang itu sudah jadi kebiasaan orang sini kalau diperiksa paspornya. Tetapi saya tidak mau ikut-ikutan jadi tukang sogok.

“Kamu suka pekerjaan kamu?” saya bertanya pada tentara muda itu.

“Suka? Apanya yang suka? Di sini cuma gunung, kamu lihat, hanya ada gunung! Aku kangen istri. Di sini tidak ada apa-apa!”

Pemuda ini berasal dari Dushanbe. Ditempatkan di puncak gunung terpencil dan sunyi ini, memeriksa paspor di tengah malam buta di bawah siraman salju, memang bukan cita-citanya. Dia ke sini karena terpaksa. Tajikistan memberlakukan wajib militer terhadap semua warga negaranya yang laki-laki. Mereka harus siap ditempatkan di mana saja, selama dua tahun, untuk melayani kepentingan negara.

Tentara itu senang sekali mendapat teman ngobrol, sampai lupa menarik upeti. Selepas dari Kalaikum, kondisi jalan berubah menjadi amat sangat mulus. Tidak berlubang-lubang lagi. Provinsi GBAO, walaupun terisolasi, tidak mengalami pertumpahan darah secara langsung selama masa-masa perang saudara Tajikistan. Jalan yang mulus semakin membuat Bakhtiyor bersemangat menyupir mobilnya. Dia tidak tidur sama sekali. Yang membuatnya terjaga sepanjang malam adalah nas, bubuk tembakau halus yang dikunyah-kunyah sebelum diludahkan. Pengganti rokok. Bau mulutnya memenuhi seluruh mobil.

Pagi-pagi pukul enam kami sampai di Khorog, ibu kota GBAO. Saya sudah berada di salah satu tempat yang paling terpencil dan terlupakan dari peta dunia.

  (Bersambung)

 

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 14 Maret 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*