Recommended

Oktomagazine (2011): Jelajahi Afghanistan Lewat Selimut Debu

1110-oktomagazine

Mengenal Afghanistan dari buku Selimut Debu

Harun Harahap

 

“ Agama itu bukan di baju. Agama itu ada di dalam hati. Inti Agama adalah kemanusiaan.”

Seorang Shah dari suku Wakhi mengatakan hal tersebut yang tertulis pada halaman 227 buku ini. Afghanistan dimana mayoritas penduduknya mengenakan Shalwar Kamiz untuk pria dan Burqa untuk perempuannya selalu menilai keimanan dari apa yang mereka kenakan. Keimanan sudah tidak lagi ditentukan dengan sikap dan perilaku mereka melainkan dari serban, jenggot atau apapun yang sebenarnya hanya sekedar simbol belaka. Benar yang dikatakan oleh Agustinus Wibowo, penulis, bahwa sekarang niilai-nilai keimanan muslim di Afghanistan tereduksi menjadi jenggot, serban dan burqa.

Buku ini adalah kumpulan tulisan dari penjelajahan Agustinus Wibowo di Afghanistan. Negara yang berkali-kali dilanda perang. Mulai dari serangan Uni Soviet, Mujahiddin dan Taliban hingga sekarang serangan bom bunuh diri pun masih sering terjadi. Sebenarnya banyak sekali bantuan dana mengalir ke negeri ini. Dana tersebut ditujukan untuk pembangunan kembali infrastruktur serta pelayanan kesehatan.

Namun, korupsi yang merajalela pada pemerintahan membuat aliran dana itu pun tersesat hilang ke saku para pejabat. Ditambah lagi perilaku warganya yang sangat kesukuan. Afghanistan yang terdiri dari berbagai suku seperti Pashtun, Hazara dan lainnya saling menilai bahwa sukunyalah yang terbaik sedangkan suku lainnya adalah penipu. Hal ini terkadang memicu kekerasan antar satu suku dengan suku lainnya. Bagaimana negara ini bisa maju jika tak ada rasa saling percaya antar mereka sendiri?

Satu hal lagi yang menarik dalam tulisan Agustinus Wibowo adalah tentang Bachabazi. Bachabazi berasal dari kata bacha yang artinya bocah laki-laki, dan bazi artinya ‘bermain’. ‘Bermain’ bocah adalah hubungan seksual antara dua pria, biasanya konotasinya dalah lelaki yang lebih tua ‘bermain’ dengan bocah yang masih muda. Di negara lain mungkin hal ini dikenal dengan istilah pedofilia. Kebiasaan ini sudah menjadi kultur bagi suku Uzbek dan suku Pashtun. Mereka yang melakukan bachabazi bahkan dihormati. Para orangtua bocah-bocah tersebut juga bangga karena anak mereka diperlakukan sebagai boneka hidup oleh ‘orang terhormat’ tersebut. Mereka tidak mengakui dirinya adalah gay atau homoseksual, karena mereka hanya ‘memberi’ dan membutuhkan ‘lubang’.

Kemiskinan menjadi salah satu penyebab masih terjadinya kebiasaan ini. Para orangtua merelakan anaknya diurus orang lain agar anak mereka tidak mengalami penderitaan karena kekurangan materi. Padahal anak-anak itupun akhirnya mengalami penderitaan yang lebih besar secara fisik dan mental. Bagaimanapun kebiasaan ini yang bersembunyi dibalik topeng budaya tak bisa dibenarkan dan harus dienyahkan.

Agustinus Wibowo pun beberapa kali dilecehkan oleh mereka selama petualangannya tapi syukur hal itu tidak berlanjut pada tindakan pemerkosaan. Penulis yang notabene bukanlah muslim berani untuk berpetualang di negeri yang sentimen agamanya sangat tinggi. Tujuan yang baiklah yang membuat dia dibimbing dan dilindungi Tuhan. Penulis menyajikan kisahnya dengan apik ditambah dengan beberapa gambar yang ia ambil sendiri dengan kameranya. Perbincangannya dengan banyak orang juga menarik untuk dicermatid an direnungi. Seperti perbincangannya dengan Nassir Ahmad sopir dari Herat yang cacat terkna ranjau. Mereka berbincang tentang harapan untuk Afghanistan yang lebih baik. Sepotong pembicaraan yang sangat menarik adalah:

“Hidup itu selalu ada naik-turunnya, seperti pegunungan ini. Kita terkadang terengah-engah mendaki, terkadang meluncur turun dengan lepas. Ada waktu susah, ada waktu berjuang, ada waktu berbahagia.” (378)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Oktomagazine (2011): Jelajahi Afghanistan Lewat Selimut Debu

  1. superb .. bagus sekali tulisannya

  2. alhamdulilah aku sudah punya 3 bukunya,,dan buku Terakhir di tanda tangani lansung oleh Agustinus Wibowo ,,sungguh berkesan,,karena buku itu mengalami perjalanan panjang dari indo ke Mekkah lewat teman baik,,makasi Agustinus,,

Leave a Reply to Ahmad Khidhir Khalil Cancel reply

Your email address will not be published.


*