Recommended

Oktomagazine (2011): Melewati Garis Batas

1110-oktomagazine

Melewati Garis Batas

Harun Harahap

 

Kita telah mengenal Agustinus Wibowo dari buku Selimut Debu tentang perjalanannya ke Afghanistan. Kali ini melalui bukunya Garis Batas, Agustinus Wibowo mengajak kita bertualang melewati garis batas Afghanistan menuju negara-negara berakhiran –Stan. Kita diperkenalkan lebih dekat dengan negara Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan.

Garis batas geografis terkadang ditandai oleh sungai, pegunungan, jalan atau tonggak-tonggak yang terpancang antar dua wilayah negara yang berbeda. Saat kita melewati garis tersebut, banyak hal yang akan berubah. Dari negara yang berubah, maka bahasa, mata uang, agama, adat istiadat, budaya dan sebagainya pun berubah. Perubahan itu terkadang tipis tak terlihat hingga lebar tak terhingga.

Ada pepatah dari ranah minang yang menyebutkan “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Artinya kurang lebih menyarankan kita untuk menghormati budaya dan adat istiadat di mana kita tinggal dan berada. Begitu juga dengan Penulis yang beradaptasi dengan situasi dan lingkungan asing yang baru pertama kali ia pijak. Kita bisa melihat melalui buku ini bahwa penulis bisa melakukannya dengan baik. Ditambah lagi dengan keramah-tamahan penduduk di berbagai daerah, sehingga kita bisa melihat kehidupan keluarga yang bersifat cukup pribadi.

“Garis Batas adalah kodrat manusia. Tanpa disadari, kita adalah seonggok tubuh yang selalu membawa garis batas portabel ke sana ke mari. Garis batas menentukan dengan siapa kita membuka hati, dengan siapa menutup diri. (hal 46)”

Penulis berkenalan dan berinteraksi dengan berbagai etnis di ngera-negara –Stan ini. Manusia-manusia yang berlainan etnis ini kadang saling memuji tapi tak sering pula saling merendahkan. Mereka bisa saling menjaga diri dan tak mudah percaya dengan etnis lain. Sifat dan perilaku kerap menjadi label tiap etnis. Sayang sekali perbedaan ini bukannya dijadikan modal dasar pembangunan bangsa tapi menjadi penghalang yang terkadang pecah menjadi perang saudara.

Kalau kita merenung, hal ini pun terjadi di Indonesia. Penulis pun bercerita tentang dirinya yang mengalami diskrimasi atas kecinaannya. Penulis yang lahir di Indonesia harus tumbuh dengan panggilan ‘singkek’ dari teman sebayanya. Hidup di sebuah negara yang tak mengakui eksistensi dirinya sebagai warga negara tentulah tidak mudah. Nasionalismenya dipertanyakan karena matanya yang sipit dan kulitnya yang kuning. ”Kulit membungkus manusia Warnanya adalah garis batas, identitas, label, penentu takdir. (hal 265)”

Lebih dari perbedaan ras itu, perbedaan agama pun menjadi persoalan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Sudah sering kita lihat banyak perselisihan dikarenakan perbedaan agama. Seperti halnya perbedaan ras, perbedaan agama ini dikarenakan yang satu merasa lebih benar dan terhormat. Bahkan yang seagamapun saling menuduh dan cekcok. Di negara-negara berakhiran –stan, hal ini pun terjadi. Mereka lebih percaya dengan rekan seagamanya dan mencurigai orang yang berbeda agama dengannya.

”Manusia selalu punya alasan-alasan berbeda untuk menentukan siapa “kita”, siapa “mereka”. Bagi sekelompok orang, agama adalah pemersatu, sementara bagi yang lain, kesamaan iman tak banyak berarti. (hal 204)”

Sedikit kesan saya mengenai beberapa negara yang penulis ajak kita untuk bertualang. Tajikistan adalah sebuah negara dengan penduduk wanitanya yang berwajah cantik. Negara ini pun disesaki pegunungan cantik. Saya lebih kagum lagi ketika negara yang secara ekonomi ini tergolong miskin, sangat menghargai pendidikan. Tapi sayang, birokrasinya menyusahkan dan sumber daya manusianya yang korup.

Sedang Kirgizstan juga tak jauh beda dengan Tajikistan mengenai birokrasi dan perilaku SDMnya yang korup. Tapi karena saya pecinta makanan, yang teringat oleh saya adalah ketika Agustinus ke daerah bernama Osh,sepertinya Laghman Uyghur nikmat sekali. Bakmi tepal-panjang yang disiram dengan kuah dan bumbu yang terbuat dari irisan tomat, cabai pedas dan cacahan daging empuk dan bawang.

Perjalanan penulis di Uzbekistan membuat saya merasa bangga sebagai rakyat Indonesia. Di perguruan tinggi Taskhent State Institute of Oriental Studies terdapat jurusan bahasa Indonesia. Lebih membanggakan lagi ketika ada pemudi Uzbekistan yang menjadi guru tari tarian tradisional Indonesia. Setelah bangga kemudian muncuulah pertanyaan, apakah bangsa Indonesia sudah menghargai budayanya sendiri?

Di antara negeri di Asia Tengah, Kazakhstan adalah negara terluas dan terkaya. Banyak penduduk negeri tetangga yang memimpikan bekerja di sana. Kazakhstan bagai daya tarik mereka demi penghasilan yang lebih besar. Walaupun pada akhirnya penghasilan yang besar itu tak lagi menjadi besar ketika biaya hidup di sana pun tak murah.
Terakhir yang dikunjungi adalah negara Turkmenistan. Sebuah negeri artifisial dengan pemimpin bangsa yang dapat menghipnotis rakyatnya untuk patuh. Negara ini terpusat dan terkendalikan oleh sang pemimpin, Turkmenbashi. Segalanya murah di sini tapi mesti diganjar dengan kebebasan yang terkungkung.

Seperti itulah sedikit gambaran tentang petualangan penulis di negara-negara berakhiran-Stan. Tak sanggup saya tuliskan semuanya, karena hamper tiap paragrafnya begitu menarik untuk disimak. Banyak terima kasih yang saya ingin ucapkan kepada Penulis. Karenanya dia telah meminjamkan kakinya untuk menjejak ke berbagai negara tersebut. Dan juga meminjamkan matanya supaya kita bisa melihat negara-negara tersebut lebih dekat dan nyata.

Mamamu pasti bangga sekali, karena anaknya telah menorehkan namanya sebagai salah satu petualang Indonesia yang dengan senang hati berbagi kisah dengan banyak orang. Selamat, Gus!

Untuk temanku sekalian, mari kita membaca buku ini. Tak sekedar perjalanan yang seru tapi banyak manfaat dan pembelajaran yang bisa kita serap, renungkan dan mengejawantahkan pada kehidupan kita.
Selamat Membaca!!!

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*