Recommended

Selimut Debu 4: Penyakit Hunza

Barisan pegunungan “Katedral” di Pasu (AGUSTINUS WIBOWO)

Barisan pegunungan “Katedral” di Pasu (AGUSTINUS WIBOWO)

Lepas dari penyakit SARS, aku kini berhadapan dengan penyakit lain yang tidak kalah seram: Penyakit Hunza.

Perjalanan menuju Hunza diawali barisan puncak menjulang di tepian sungai Hunza di dusun Pasu. Puncak-puncak ini punya bentuk yang aneh, lancip-lancip dan rapat seperti duri durian. Tetapi deskripsi yang lebih cocok mungkin julukan dari para turis asal Eropa yang menyebut pegunungan Tupopdan ini sebagai “Katedral”—bentuk kerut-kemerut puncak itu seperti ratusan menara lancip yang menusuk angkasa pada ketinggian 5.828 meter.

Aku berjalan kaki menyusuri jalan-jalan kecil di dusun, menghirup segarnya udara pegunungan Himalaya. Siapa yang tidak terpekur di bawah kegagahan dan kebesaran Gunung-gunung Agung, yang seakan mendendangkan melodi-melodi nyanyian bisu dan megah, membahana menebarkan jala kesunyian di sepanjang barisan gunung dan lembah Karakoram?

Pasu adalah sebuah dusun kecil yang dianugerahi mukjizat alam yang paling istimewa: barisan gunung raksasa yang tak henti bernyanyi, aliran sungai yang deras membelah bumi, gletser mahabesar yang putih bersinar (konon gletser ini termasuk tiga gletser terbesar di seluruh dunia!).

Kalau kau mengira, pemandangan Pasu yang paling memabukkan ini sudah klimaks dari perjalanan Karakoram, kau salah! Ini masih belum ada secuil dari kecantikan alam yang disohorkan oleh Pakistan Utara. Gunung-gunung raksasa masih berbaris hingga ke lembah Hunza.

Di Karimabad, dusun paling terkenal buat para turis di Lembah Hunza, siapa pun bisa merasakan betapa indahnya waktu berlalu setiap hari, hanya dengan duduk santai di kursi kecil menatapi puncak-puncak raksasa terselimuti salju putih, menaungi lembah hijau yang luas membentang. Di hadapan mata adalah Gunung Rakaposhi (7.790 m). Di kaki raksasa ini, aku sungguh merasakan betapa kecilnya arti kita sebagai manusia di hadapan alam raya. Sejuknya udara yang terpancar dari gunung-gunung itu seakan senantiasa menyihir untuk tetap terpaku di sana, hanya menatap, tertancap tanpa bergerak.

Para traveler menyebut fenomena ini sebagai Hunza Disease—Penyakit Hunza.

Berbeda dengan SARS, penderita penyakit ini tidak dianggap sebagai dosa. Dia tidak menimbulkan kematian, dia justru membuat penderitanya mabuk oleh kenikmatan surgawi. Merasa seperti sudah di surga, penderitanya pun akan terlumpuhkan oleh kebahagiaan yang paling sederhana. Lumpuh, tak bergerak sama sekali.

Di tempat sesejuk dan senyaman ini, semua pendatang tiba-tiba berubah jadi malas, tak berdaya. Bahkan kucing-kucing pun hanya menghabiskan hari dengan tidur, dan cuma tidur. Di pemondokan Kakek Haider yang kutinggali, ada seorang perempuan muda asal Jepang yang sudah tinggal di Hunza selama empat bulan. Empat bulan! Jangan kaukira dia tahu segalanya tentang Hunza! Bahkan ke kampung di belakang pemondokan pun dia tidak pernah. Dia tidak melakukan apa selain tidur di kamar, bangun ketika matahari sudah sangat tinggi, makan omelet besar di ruang makan penginapan, mengelusi kucing-kucing berbulu lebat yang berbaring malas di pangkuannya, sementara matanya menatap ke arah gunung-gunung itu. Dan dia tertancap, lumpuh, terbuai, dari siang hingga senja.

Daripada terbius oleh kekuatan magis gunung-gunung itu, aku memilih untuk menjelajahi dusun-dusun Hunza di kaki gunung. Di tengah perjalanan aku berkenalan dengan seorang gadis dari Hong Kong yang sudah berkeliling dunia selama dua tahun. Dia memulai perjalanan dari Hong Kong terus ke arah timur hingga Amerika, dari Inggris terus berjalan hingga Turki, Kaukasus, Iran, Pakistan, dan hendak melanjutkan perjalanan melalui Xinjiang kembali ke Hong Kong.

Seorang gadis yang luar biasa beraninya. Dan dia menceritakan betapa beratnya berjalan seorang diri sebagai perempuan di Iran dan Pakistan, di mana dia sering kali mendapat perlakuan tidak senonoh dari laki-laki di negara-negara ini. Entah sudah berapa ribu kali tubuhnya dijamah-jamah oleh orang-orang di jalan, atau sudah berapa ribuan mata yang memandanginya dengan penuh nafsu. Namun di Hunza ini dia merasakan kedamaian, tidak ada laki-laki haus yang berusaha mengambil keuntungan darinya seperti di bagian lain Pakistan.

Orang Hunza, nampak jauh lebih moderat dibandingkan dengan orang Pakistan lainnya. Seperti halnya dengan Muslim di Indonesia, perempuan di sini memiliki kedudukan yang cukup tinggi seperti para lelaki. Hal ini tersirat langsung ajaran Aga Khan yang aku dengar dari seorang penduduk Hunza. Pemimpin spiritual umat Ismaili itu mengatakan: “Jika kau punya anak, maka kau WAJIB menyekolahkan anak-anakmu. Namun jika kau tidak punya cukup uang untuk menyekolahkan semua anakmu, maka sekolahkanlah dulu anakmu yang perempuan!”

One photo…., one photo…..!

Bocah-bocah mungil berteriak-teriak dalam bahasa Inggris, ketika kami menyusuri dusun-dusun di Pegunungan Karakoram. Terkadang terdengar pula “One pen, please!“.

Cuma itu kata-kata bahasa Inggris yang bisa diucapkan dengan fasih oleh anak-anak kecil ini.

Pakistan, negeri yang sering diidentikkan dengan terorisme, ternyata adalah negeri yang ramah, penuh tawa dan canda, serta senda gurau yang membahana. Lihatlah wajah-wajah mungil anak-anak dusun Karimabad ini, betapa polosnya, betapa cantiknya. Lihatlah wajah mereka ketika berlari-lari mengejar-ngejar hanya untuk minta difoto oleh pelancong asing. Dan lihat pula kegembiraan yang terpancar dari mata mereka yang berbinar-binar, setelah kaujepretkan lampu blitz kameramu ke wajah mereka.

Dapatkah kita, yang senantiasa didera oleh roda kehidupan, memiliki kepolosan dan keluguan mereka, yang masih alami dan belum ternoda oleh kotornya dunia?

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

Bocah-bocah Pakistan bermain di jalanan desa (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah-bocah Pakistan bermain di jalanan desa (AGUSTINUS WIBOWO)

One picture! One pen! (AGUSTINUS WIBOWO)

One picture! One pen! (AGUSTINUS WIBOWO)

Para turis memotret keindahan pegunungan Hunza di tengah perjalanan hiking (AGUSTINUS WIBOWO)

Para turis memotret keindahan pegunungan Hunza di tengah perjalanan hiking (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka sangat ekspresif saat berebutan minta difoto. Setelah kamera siap, semua berdiri kaku seperti tiang. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka sangat ekspresif saat berebutan minta difoto. Setelah kamera siap, semua berdiri kaku seperti tiang. (AGUSTINUS WIBOWO)

Berkunjung ke rumah penduduk desa yang mengundang untuk minum teh (AGUSTINUS WIBOWO)

Berkunjung ke rumah penduduk desa yang mengundang untuk minum teh (AGUSTINUS WIBOWO)

Menumpang traktor untuk bepergian, pilihan yang lebih seru dan gratis daripada naik kendaraan umum (AGUSTINUS WIBOWO)

Menumpang traktor untuk bepergian, pilihan yang lebih seru dan gratis daripada naik kendaraan umum (AGUSTINUS WIBOWO)

Masjid di Skardu (AGUSTINUS WIBOWO)

Masjid di Skardu (AGUSTINUS WIBOWO)

Peninggalan Buddhisme di Skardu, sekitar sehari perjalanan dari Hunza (AGUSTINUS WIBOWO)

Peninggalan Buddhisme di Skardu, sekitar sehari perjalanan dari Hunza (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Selimut Debu 4: Penyakit Hunza

  1. bahasanya,,, keren (y)
    bikin saya terlarut

  2. Wow. . Pemandangan nya sungguh fantastis..

  3. Jadi meneteskan air mata ..

  4. nur alamsyah // August 15, 2019 at 3:57 pm // Reply

    mas agustinus, orang-orang di hunza dari suku apa ya? ko wajahnya berbeda dengan orang pakistan pada umumnya.

  5. Indahnya hunza tidak bisa digambarkan. Sangat indah. Banyak yg posting di media dengan melakukan editing 2 do foto mereka agar tampak lebih indah tapi menurut saya justru foto yg alami adalah yang paling indah. Saya merasa sangat kecil sewaktu attabad lake atau merasa takjub sewaktu melewati passu. MashAllah ingin rasanya kembali kedana sembari mudik tentunya
    Tulisan mas indah..ternyata saya terkena Hunza disease juga…cuma waktu itu saya bayangkan waktu di attabad lake gimana kalau dinksaurus muncul. Haha

Leave a comment

Your email address will not be published.


*