Recommended

Selimut Debu 6: Wild Wild West Peshawar

Seperti kembali ke masa lalu (AGUSTINUS WIBOWO)

Seperti kembali ke masa lalu (AGUSTINUS WIBOWO)

Dunia barat yang liar. Peshawar, kota berdebu di ujung barat Pakistan adalah gerbang menuju Afghanistan. Atmosfernya, bahayanya, dengusannya, bahkan ketidakberadabannya…. Peshawar terasa begitu liar.

Ibukota provinsi North Western Frontier Province (NWFP) ini seakan melemparkan diriku ke zaman puluhan tahun silam. Keledai-keledai mengiring kereta pengangkut barang, menyusuri jalan-jalan sempit di bazaar kota. Wanita-wanita yang juga tidak banyak jumlahnya, berjalan merunduk-runduk sambil menutupkan cadar di wajahnya. Sesekali nampak juga perempuan-perempuan yang berbungkus jubah hitam atau burqa biru dan putih. Burqa adalah pakaian yang menutup sekujur tubuh dari kepala hingga ujung kaki, termasuk kedua mata dan wajah, menyimpan rapat-rapat kecantikan seorang wanita. Hanya dari kisi-kisi kecil di bagian matalah sang perempuan mengintip dunia luar. Ada traveler Hong Kong temanku yang mendeskripsikan burqa seperti “lampion”, para “lampion” itu berjalan mencari arah di tengah keramaian jalanan. Bagiku, burqa terlihat seperti sangkar rapat, terserah engkau mengartikan itu melindungi atau mengurung makhluk yang ada di dalamnya.

Pria-pria berjenggot dengan kibaran shalwar qameez yang gagah menguasai seluruh penjuru kota. Para lelaki itu selalu tersenyum ramah dan menyapa dengan pertanyaan yang sama, yang diulang lagi, yang diulang lagi, yang diulang lagi. “Hello, how are you? what’s your good name? Where are you from? What is your qualification?

Sejarah Peshawar yang sudah lebih dari dua ribu tahun menjadikan tempat ini sebagai tempat yang istimewa untuk menikmati berbagai macam wajah yang eksotis dari segala penjuru Asia. Bangunan-bangunan kunonya juga bagaikan lukisan-lukisan di buku dongeng, yang diseliweri oleh pejalan kaki beserban dan berkerudung. Namun berbeda dengan kota-kota lain di Pakistan, keindahan dan misteri kota ini masih diselimuti oleh hembusan dengusan bahaya. Posisi Peshawar berbatasan langsung dengan Khyber Pass di mana tiap harinya candu diselundupkan dari Afghanistan ke seluruh penjuru dunia. Hukum negara Pakistan pun hanya mampu menjangkau hingga batas akhir jalan utama, selebihnya itu  Anda akan memasuki daerah Tribal Area di mana hukum suku yang berlaku. Di daerah suku alias Tribal Area ini, senjata ilegal diproduksi massal setiap hari tanpa sembunyi-sembunyi, obat-obatan terlarang diselundupkan dan diperdagangkan dengan luas, bahkan gerakan terorisme dikabarkan berbiak cukup aktif di sini karena sudah tidak terjangkau lagi oleh hukum negara mana pun.

Sudut Bazaar Khyber yang menjual pakaian perempuan. Hati-hati memotret kalau ada perempuan lewat. (AGUSTINUS WIBOWO)

Sudut Bazaar Khyber yang menjual pakaian perempuan. Hati-hati memotret kalau ada perempuan lewat. (AGUSTINUS WIBOWO)

Karena besarnya risiko di daerah liar ini, pemerintah Pakistan bahkan melarang warga negara asing untuk memasuki wilayah yang berlabel Tribal Area, kecuali mendapatkan izin terlebih dahulu dari Kantor Urusan Politik (PA = Political Agency) serta ditemani oleh tentara bersenjata.

Di bagian barat kota terdapat kamp pemukiman pengungsi Afghanistan yang melarikan diri dari kecamuk perang dan tekanan hidup di negerinya. Kondisi kamp pengungsian ini sangat memprihatinkan. Rumah-rumah bobrok hanya menunggu waktu untuk dilindas mesin penghancur dan traktor garang dari pemerintah Pakistan yang tampaknya sudah tidak sabar lagi mengusir para pengungsi Afghanistan ini kembali ke negaranya. Air minum dari pompa utama di tengah kamp berwarna kehitaman. Jangan lupakan pula terik matahari menyengat (bahkan hingga 45 derajad) memanasi jalanan berdebu. Di tengah beratnya kondisi hidup ini, bisnis penyelundupan gelap dan tindak kriminal sangat marak. Kemiskinan dan diskriminasi adalah masalah umum yang dihadapi para pengungsi di seluruh dunia. Beberapa anak kecil bahkan berkelahi hanya untuk memperebutkan botol kosong bekas minuman yang kubuang ke tong sampah. Dan ini adalah hal yang sangat biasa di sini.

Tak jauh dari Peshawar ada desa bernama Darra Adam Khel, di mana semua penduduknya hanya menghasilkan satu jenis barang: senjata api! Di sini mungkin ada 40.000 orang yang bekerja dalam bisnis senjata, dan mereka mau menjualnya kepada siapa pun yang siap membayar. Kalau pergi ke Darra, maka oleh-oleh suvenir khasnya adalah pistol berbentuk pulpen yang ditawarkan para pedagang di jalan. Itu pistol benaran! Kalau ditembak dor!, dan korban pasti langsung bersimbah darah. Senjata-senjata yang diproduksi di Darra banyak juga yang diselundupkan ke Tribal Areas dan Afghanistan, semakin menebarkan aroma darah di daerah-daerah itu. Maka tidaklah salah jika Peshawar dan khususnya Darra Adam Khel disebut sebagai Wild West-nya Asia Selatan.

Namun kota Peshawar masih punya sisi lain, yang jauh lebih romantis dan bersahabat.

Bangunan-bangunan indah dan megah peninggalan Dinasti Moghul menghiasi sudut-sudut kota. Kota ini pun memiliki beberapa bazaar yang sangat hidup. Saddar Bazaar adalah tempat untuk mencari penginapan murah, es jus mangga, ayam goreng lezat, teh manis Indonesia, dan berbagai hidangan lezat lainnya. Sedangkan Khyber Bazaar yang berdekatan dengan kota kuno, seakan melontarkan kita kembali ke zaman kejayaan para sultan dahulu, di mana kereta kuda merayap lambat-lambat di tengah barisan gedung-gedung tua yang mulai lapuk oleh zaman, panggilan azan mengayun sayup-sayup memanggil nama-Nya,  serta pasar di lorong-lorong sempit yang  hiruk-pikuk dan tak pernah sepi oleh teriakan para pedagang yang menawarkan berbagai barang dagangan.

Tak jauh dari Khyber Bazaar ini terdapat persimpangan jalan yang bernama Sukarno Chowk. Chowk dalam bahasa Urdu berarti persimpangan jalan. Konon presiden pertama kita, Sukarno, pernah datang di Pakistan dan berpidato di tempat ini. Karena Pakistan sangat menghormati Indonesia dan Sukarno, maka persimpangan jalan dinamai Sukarno Chowk. Tetapi banyak orang Pakistan yang tidak tahu siapa itu Sukarno.

“Sukarno? Mungkin dia adalah pemimpin India,” kata seorang pedagang obat di pinggir jalan mengira-ngira.

Arsitektur bergaya Mughal pada bangunan Museum Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Arsitektur bergaya Mughal pada bangunan Museum Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Mencoba topi baru (AGUSTINUS WIBOWO)

Mencoba topi baru (AGUSTINUS WIBOWO)

Senja di Peshawar (AGUSTINUS WIBOWO)

Senja di Peshawar (AGUSTINUS WIBOWO)

Kebiasaan khas orang Afghan, menggigit ujung syal. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kebiasaan khas orang Afghan, menggigit ujung syal. (AGUSTINUS WIBOWO)

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Selimut Debu 6: Wild Wild West Peshawar

Leave a comment

Your email address will not be published.


*