Recommended

Selimut Debu 8: Menembus Lubang Singa

Menerjang masuk ke lubang harimau. Entah apa yang menanti di balik sana. (AGUSTINUS WIBOWO)

Menerjang masuk ke lubang harimau. Entah apa yang menanti di balik sana. (AGUSTINUS WIBOWO)

Sinar mentari pagi menyelinap perlahan-lahan dari balik teralis jendela, membangunkanku dari tidurku yang tidak pernah lelap.

Semalam suntuk aku tak bisa tidur, memandangi visa Afghanistan yang tertempel di pasporku. Bagaimana ini bisa jadi nyata? Lebih mustahil lagi, hari ini aku akan ke Afghanistan! Kalimat itu selalu menghantui pikiranku sepanjang malam. Nama Afghanistan, dan hanya Afghanistan, yang senantiasa bergema di otakku. Tegang, takut, semangat, antusias,…, semuanya bercampur menjadi satu.

Pukul setengah sembilan pagi, aku dan Adam sudah check out dari Peshawar Golden Inn—penginapan yang namanya megah tetapi berupa barisan kamar sempit mirip penjara yang cocok untuk para turis tak berduit seperti kami. Sungguh berat menyiapkan mental menembus gerbang perbatasan yang memisahkan kita dari sebuah dunia lain di sana. Pemilik hotel tersenyum ramah, sembari bertanya, “Sudah siap?”

Aku tak bisa menjawab.

Dalam hitungan menit, pemilik penginapan sudah membantu kami mencarikan taksi yang akan membawa kami ke perbatasan. Sebagai orang asing, kami tidak diizinkan untuk menggunakan angkutan umum menuju ke Khyber, karena seperti yang selalu dikatakan pemerintah Pakistan, daerah Tribal Area itu ‘teramat sangat berbahaya’. Tawar menawar alot pun sempat terjadi antara supir taksi dan kami, dan akhirnya, “OK! Lima ratus lima puluh rupee. Deal!”

Kami berangkat bersama sang sopir, yang tampaknya sudah sangat berpengalaman membawa orang asing ke Khyber. Kami kembali lagi menuju kantor Political Agency, di mana kemarin kami berdua susah payah meladeni nafsu seks pejabat tua bejat demi mendapat selembar surat izin. Di kantor yang sama, para tentara suku bermarkas. Bersenjatakan surat izin yang kami bawa, seharusnya semua bakal lancar-lancar saja. Kami dibiarkan menunggu di halaman bawah, sedangkan surat izin itu dibawa ke sana ke sini, tanda tangan petugas ini petugas itu. Entah selembar surat itu harus mendapat persetujuan dari berapa puluh pejabat lagi.

Suasana kantor itu sangat hiruk-pikuk. Tentara-tentara suku dari NWFP, atau dikenal sebagai khassadar, sangat khas dengan pakaian shalwar kameez berwarna hitam-hitam dan topi baret yang dipasang miring. Mereka berjalan hilir mudik dan berseru bersahut-sahutan. Seorang kakek tentara menghampiri kami dan bertanya dari mana asal kami.

“Inggris Raya,” kata Adam.

Kakek itu terdiam, kemudian memalingkan pandangan ke arahku.

“Indonesia,” jawabku.

Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, dia bertanya lagi sembari tersenyum, “Saudaraku, muslim?”

Sudah lebih dari lima puluh kali aku ditanya agamaku seperti ini di Pakistan, karena aku berasal dari Indonesia.

“Sayangnya, tidak,” jawabku sambil tersenyum semanis mungkin.

Why?” tanyanya lagi sambil menatap kecewa.

Why not?

Ini bukan untuk yang pertama. Selama seminggu di negeri ini, mungkin sudah lima puluh kali pula aku mengecewakan penanya Pakistan dengan jawaban negasiku. Dan kali ini aku sama sekali tidak berhasrat menceritakan kepadanya bagaimana kebebasan beragama di Indonesia itu, karena pikiranku dipenuhi oleh kegelisahan mengenai negeri Afghan, dan hormon adrenalinku sedang memuncak.

Akhirnya, setelah penantian dua puluh menit, tentara yang akan mengawal kami pun keluar. Pria tinggi langsing, berjubah hitam-hitam seperti tentara khassadar lainnya, lengkap dengan sepucuk senapan AK-47 yang diselempangkan di lengannya.

Let’s go!

Aku bersorak histeris ketika taksi sudah bergerak meninggalkan Peshawar. Adam sempat membeli sarapan kami pagi ini di jalan: sekantung kecil kacang mede yang sudah mulai lembek. Hanya dengan bercandalah kami berusaha mengurangi ketegangan kami masing-masing. Tanpa bekal dan pengetahuan apa-apa, tanpa peta tanpa petunjuk, dua laki-laki nekat ini sudah benar-benar melangkah menuju ke gerbang Afghan.

Taksi melewati daerah penampungan pengungsi Afghan yang begitu kumuh. Bayang-bayang kengerian tentang Afghanistan semakin tertancap di hatiku. Teringat olehku bagaimana anak-anak pengungsi itu berkelahi untuk memperebutkan botol minuman yang aku buang, beberapa hari yang lalu di tempat sampah dekat penampungan ini. Tak jauh dari tempat kamp pengungsi ini, adalah bazaar gelap tempat penjualan barang-barang selundupan. Dan hanya beberapa ratus meter dari bazaar itu, gerbang menuju mulut harimau itu dimulai. Di balik gerbang adalah negeri yang mereka tinggalkan, negeri yang penuh dengan pertumpahan darah—atas nama nasionalisme, suku, bangsa, agama, bahkan bahasa.

Sebuah papan besar yang menunjukkan bahwa kami akan memasuki daerah terlarang, tribal area, merupakan peringatan bahwa perjalanan melintas daerah ini bukan perjalanan main-main atau piknik akhir pekan. Memasuki daerah ini, semua orang asing harus mendapatkan izin dari Political Agency dan dikawal tentara bersenjata. Daerah ini adalah daerah tanpa hukum, di mana kekuasaan hukum Pakistan tak lagi mampu menunjukkan taring kekuasaannya. Hukum Pakistan hanya berlaku sepanjang jalan raya dan radius 16 meter di sebelah kanan dan kiri dan jalan. Tidak lebih dari itu. Bila seorang asing tewas tertembak di sini, tak seorang pun dapat dituntut tanggung jawabnya. Karena di daerah liar ini, hanya hukum suku yang berlaku. Suku-suku “liar” yang mendiami tribal area.

Di gerbang masuk itu, yang mirip gerbang perbatasan pemisah dua negara, dokumen-dokumen kami diperiksa dengan teliti. Lembar demi lembar halaman paspor pun diamati dengan seksama oleh para petugas. Tidak ada masalah tentunya, karena kami punya pengawal.

Nuansa berbeda langsung terasa setelah kami secara legal sudah berada di kawasan terlarang ini. Di kanan dan kiri jalan sesekali nampak rambu-rambu berwarna kuning yang bergambar tentara lengkap dengan senapan laras panjang di bahunya. Rambu-rambu yang tidak kumengerti apa maknanya ini, namun sudah cukup untuk memperingatkan bagi para pendatang, bahwa di daerah ini, senjata dan kekerasan sama sekali bukanlah sesuatu yang asing. Ini adalah realita hidup di negeri tanpa hukum.

Di perbatasan pemisah antara dunia Pakistan yang normal dengan alam Tribal Area yang liar (AGUSTINUS WIBOWO)

Di perbatasan pemisah antara dunia Pakistan yang normal dengan alam Tribal Area yang liar (AGUSTINUS WIBOWO)

Rambu-rambu misterius yang berderet sepanjang jalan di Khyber Pass (AGUSTINUS WIBOWO)

Rambu-rambu misterius yang berderet sepanjang jalan di Khyber Pass (AGUSTINUS WIBOWO)

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Selimut Debu 8: Menembus Lubang Singa

  1. Mulai seru nih…. Meskipun saya sdh baca di buku Selimut Debu, tp karena bacanya sdh lama jadinya sangat menyenangkan untuk mengingat kembali dengan membaca lagi penggalan cerita seperti ini.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*