Recommended

Selimut Debu 11: Terbang Bersama Flying Coach

Aku di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Aku di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Kericuhan luar biasa meletus begitu hebatnya ketika kami berdua mencari kendaraan menuju ke Kabul.

Dengan tarikan-tarikan kasar serta cengkeraman-cengkeraman kuat, mereka berusaha menggeret kami ke kendaraan-kendaraan mereka. Aku harus merangkul rapat-rapat ranselku, yang kini sudah berpindah posisi dari punggung ke pelukan. Teriakan-teriakan serta sahut-sahutan tak beraturan itu sangat mengintimidasi. Bocah-bocah kecil tertawa terbahak-bahak sambil berlari-larian histeris melihat orang asing—persis seperti yang kulakukan dulu saat masih kecil ketika ada turis bule datang ke kampungku. Sementara itu, para lelaki berjenggot lebat tak hentinya menarik-narik lenganku, juga lengan Adam, sambil berseru, “Kabul! Kabul!”

Keriuhan baru mereda ketika seorang Afghan dengan karung putih terpanggul di pundaknya membantu kami keluar dari kekikukan ini. Dengan bahasa Inggrisnya yang teramat bagus, dia menjadi jembatan penghubung antara kami yang sama sekali bisu tuli bahasa Farsi ini dengan orang-orang di terminal bus itu.

Dalam sekejap aku sudah duduk di jok depan mobil colt Flying Coach. Disebut demikian, karena dia berlari dengan cepat, seperti sedang terbang. Jangan berpikir hiperbola dulu, terbang ini adalah dibandingkan dengan mobil-mobil tua angkutan desa yang tidak pernah sembuh dari penyakit batuk saat mengarungi jalanan Afghan yang cuma debu dan lumpur. Tetapi nama flying coach itu terlalu sulit untuk lidah Afghan, sehingga mereka menyebutnya “Falangkoch”. Ada lagi angkutan sejenis yang disebut TownAce, atau biasa dipelesetkan menjadi Tooneis, biasanya mengangkut lebih banyak orang, karena satu mobil mungil untuk sepuluh orang itu bisa dijejali delapan belas penumpang. Dilihat dari kenyamanan maupun kecepatannya, jelas falangkoch lebih mahal daripada tooneis. Demi kewarasan jiwa, kami lebih memilih secepatnya meninggalkan kekacauan ini dengan naik falangkoch. Sedangkan pria berjanggut hitam yang tadi membantu kami mencari kendaraan memilih tooneis karena faktor harga.

Mobil kami akhirnya tersendat-sendat meninggalkan perbatasan. Anak-anak kecil pedagang makanan melambaikan tangan dengan penuh semangat. Kekacauan dan keriuhan di sana masih terus berlangsung, ada atau tidak ada kami.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghempaskannya kembali. Kukatupkan kedua kelopak mataku, kemudian kubuka kembali setelah lima, enam detik. Sesekali masih kutepuk kedua belah pipiku, masih mencoba meyakinkan diriku. Agustinus, engkau sudah di Afghanistan! Bukankah ini mimpi? Atau bukan mimpi?

Tidak ada seorang kerabat pun yang tahu keberadaanku di sini, hari ini. Bahkan tidak juga kedua orang tuaku. Aku tahu, mereka juga tidak bisa berlaku apa-apa kalaupun tahu aku ada di sini. Karena itu aku memakai prinsip: Don’t tell my mother! Andaikan saja ada seorang malaikat pergi mewartakan hal ini kepada mereka, aku pun tidak tahu bagaimana reaksi mereka nantinya. Terkesiap? Marah? Atau menangis? Sedangkan aku kini hanya duduk termenung di balik jendela mobil, setelah melintasi celah maut Khyber dan sekarang malah menuju ke jantung negeri yang begitu akrab dengan perang dan kematian.

Sepanjang perjalanan aku hanya termenung. Merenungi sesuatu yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Suatu yang dulunya hanyalah omong kosong, candaan, dan  bualan mimpi-mimpi belaka, bahwa aku akan ber-“piknik” ke Afghanistan suatu hari nanti. Dan kini semuanya serasa begitu nyata. Bolehkah aku masih menggunakan kata “serasa”, karena aku sendiri tak mempercayai lagi otak dan perasaanku. Aku sedang dibawa ke alam khayal. Betapa tipis garis batas antara mimpi dan realita.

Aku di Afghanistan!!!

Sebuah negeri yang hanya tersembunyi di alam ketakutan pikiran kita. Sebuah negeri yang tak akan pernah kaubayangkan akan kaudatangi. Sebuah negeri, yang walaupun namanya tak pernah sehari pun bolos dari berita utama, namun terasa sangat jauh, asing, dan penuh misteri.

Ya, Afghanistan!!!

Aku termenung tanpa mampu berkata apa-apa pun selama lebih dari satu jam. Kulirik Adam yang duduk di sampingku. Sama saja, pandangan matanya terhunus tajam, namun kosong, ke depan. Bibirnya terkatup rapat. Pikirannya pun masih melayang-layang entah di mana, mungkin berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa kita telah berhasil menembus celah Khyber.

Setelah berjuang keras mengendalikan pikiran yang berkeliaran dengan liar, aku mulai bisa mengajak Adam menikmati indahnya petualangan ini. Pemandangan lembah-lembah hijau dan danau-danau biru, sesekali dihiasi gunung cadas kelabu, memberi kontras warna yang indah pada hamparan langit biru muda yang membara karena panas mentari. Jalan beraspal yang membawa kami dari Khyber menuju Kabul, berangsur-angsur memburuk. Aspal halus itu kini berganti dengan aspal penuh dengan lubang-lubang besar. Walaupun begitu, jalan dari Khyber ke Jalalabad ini katanya adalah jalan dengan kualitas terbaik di seluruh negeri. Tak perlu ditanya separah apa kerusakan jalan di kota-kota lain.

Kemahiran supir Afghan menghindari lubang-lubang itu tak kalah dengan kelincahan supir-supir di Jawa. Sempat aku berpikir kalau lubang-lubang ini disebabkan karena miskinnya negeri ini. Ternyata bukan. Jalan ini sengaja dirusak oleh Taliban, untuk menghambat masuknya pasukan asing, serta menghalangi arus pengungsi yang berusaha melarikan diri dari Afghanistan. Lubang-lubang ini adalah saksi sejarah bagaimana rezim itu mempertahankan dirinya dari serangan luar dan pengeroposan dari dalam.

Di medan perang, kita akan belajar sebuah makna lain dari hidup. Hidup adalah untuk berjuang, bertahan, mempertahankan hembusan napas. Terkadang hidup hanyalah untuk tetap hidup.

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

Debu adalah makanan pertama di negeri ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Debu adalah makanan pertama di negeri ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Tidak kusangka menemukan pemandangan seperti ini di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Tidak kusangka menemukan pemandangan seperti ini di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Truk melintas di jalanan rusak dan gersang (AGUSTINUS WIBOWO)

Truk melintas di jalanan rusak dan gersang (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Selimut Debu 11: Terbang Bersama Flying Coach

  1. Sugoyi… one day I will go there, to know part of stories in Selimut debu and Garis Batas…. wait me.

  2. Gila. Keren, keren sekali. Sungguh saya berharap bisa menginjakkan kaki suatu hari di tanah Afghanistan. Ini cerita yang luar biasa.
    *lanjut ke next chapter…

Leave a comment

Your email address will not be published.


*