Recommended

Selimut Debu 12: Menyingkap Cadar

Afghanistan bukan negeri padang pasir. Afghanistan justru didominasi gunung dan perbukitan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Afghanistan bukan negeri padang pasir. Afghanistan justru didominasi gunung dan perbukitan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Perjalanan melintasi jalan berdebu ini begitu lambat, sangat lambat. Seperti halnya negeri ini yang begitu perlahan, sangat perlahan, menyingkap kembali cadar pekat yang menutupi wajahnya setelah 30 tahun diamuk perang melawan Soviet, perang sipil antara suku-suku, perang antara Mujahiddin dan Taliban.

Pemandangan di luar, gunung-gunung tandus yang sesekali diselingi lembah-lembah hijau, mengingatkanku pada film-film aksi Amerika tentang perang Afghanistan. Dan kini layar film yang datar itu berubah menjadi pemandangan tiga dimensi di sini.

Mobil berhenti di tepian jalan yang dinaungi pohon-pohon rindang. Di bawah teduhnya pepohonan, nampak barisan tenda-tenda pedagang buah-buahan. Kami sudah memasuki daerah Jalalabad yang memang terkenal dengan buahnya. Seorang penumpang, kakek tua berjanggut putih beserban putih, turun membeli beberapa melon. Saat kakek itu menggendong melon-melon besar menyeberang jalan, aku menjepretkan kamera. Dia terkejut, buah-buahan yang semula aman dalam dekapannya, tiba-tiba menggelinding di jalan raya itu. Untungnya dia tidak marah, malah tersenyum tipis di balik lapisan jenggotnya itu. Setetes keringat dingin sempat mengalir di keningku, khawatir berbuat salah di negeri yang katanya penuh darah ini.

Alunan lagu Afghani mengalir dengan gempitanya dari tape usang falangkoch, diiringi dendang yang membawa suasana ke alam gurun Timur Tengah. Keriangan ini mengalahkan rasa mual di perutku akibat guncangan mobil yang melintasi jalanan yang semakin lama semakin dahsyat. Bahkan Adam yang tadinya diam, kini ikut berdendang mengiringi suara kaset. Pak sopir pun tersenyum sendiri, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya secara diagonal, seperti halnya orang-orang di Pakistan. Musik Afghan menghentak-hentak dengan nada-nada yang hampir selalu tinggi, serta dihiasi desis-desis dan decak-decak sang penyanyi. Bahkan ada lagu dengan derap kaki kuda, benar-benar mengingatkanku pada masa kanak-kanak dulu. Tuk-tik-tak-tik-tuk-tik-tak-tik-tuk. Pada hari Jum’at ku bareng Adam ke Afghan, naik Toonace istimewa kududuk di muka. Kududuk di samping pak sopir yang sedang bekerja, mengendali mobil supaya baik jalannya…

Afghanistan adalah tentang debu. Sejak menginjakkan kaki di negeri ini, debu langsung menyeruak ke hidungku, mulutku, ke rongga gigi-geligi, menembus ke tenggorokan dan kerongkongan, langsung ke lambung. Sopir mengatakan aku tidak perlu khawatir, karena debu ini adalah makanan sehari-hari di Afghanistan.

Panas, debu, guncangan-guncangan keras. Semuanya berharmoni mengaduk-aduk perutku yang memang cuma diisi beberapa jumput kacang mede sejak pagi.

Mobil kami berhenti. Syuuuut…. Debu pun beterbangan digilas roda-roda mobil. Sebagian terbang menyelimuti wajahku. Aku sudah sangat kenyang dengan pasir dan debu yang menggantikan sarapan hari ini. Dan ketika aku meloncat dari mobil dan kakiku menginjak tanah, kembali debu cokelat menyelimuti dan melekat di sekujur tubuhku.

Kami berhenti di stasiun pengisian bensin di pinggir jalan. Aneh sekali, stasiun pengisian bensin ini berdiri sendirian, sementara di sekelilingnya hanyalah tanah debu tandus, dan di kejauhan baru terlihat rumah penduduk. Anak-anak kecil yang semula bermain, tiba-tiba berhenti dan datang menghampiri kami. Mereka mengelilingiku dan memandangiku lekat-lekat. Terpana, tanpa suara, mereka hanya memandangiku dengan penuh takjub. Suasana kikuk itu tiba-tiba berubah menjadi keriangan ketika aku mengacungkan kamera mungilku. Semua sibuk mengambil posisi dan menghidangkan pose terbaik.

Sorot sepasang mata hijau itu menatapku, dari wanita yang sejak tadi bersembunyi di balik burqa. Sepasang mata hijau, dengan pandangannya yang mistis, misterius, menatap tajam. Kedua belah bibirnya dilapis seoles pewarna tradisional, terkatup rapat, walaupun sesekali tampak belah-belah bibir itu berusaha mengalirkan udara ke wajahnya yang panas oleh pengapnya mobil. Di persimpangan antara kedua alis dan puncak hidungnya, desain-desain tradisional dengan pewarna-pewarna alamiah menghiasi kulitnya yang putih bersih, yang seakan tak pernah terusakkan oleh kejamnya sinar matahari. Demikian pula lingkaran-lingkaran cokelat kemerah-merahan yang digambar di kedua belah pipinya. Zamrud padang pasir, kalau boleh aku menyebut kecantikan dan kerlipan seulas wajah yang sejak tadi berbalut cadar ini, juga tak merasa risih dengan kehadiranku, yang bak seorang anak kecil yang terkesima oleh kilauan tajam sinar hijaunya. Inikah wajah tersembunyi cadar yang kulihat dalam mimpiku itu?

Pelan, begitu pelan, negeri ini menyingkap cadar misterinya. Udara yang panas di dalam mobil memaksa wanita ini menanggalkan cadarnya barang sejenak. Wanita ini, yang ternyata adalah ibunda dari anak kecil berjubah biru yang selalu antusias untuk berpose di depan kameraku, masih duduk dengan keanggunannya. Sedangkan suaminya, kakek tua berjenggot panjang beserban lebat, tak hentinya menghisap dalam-dalam rokok hashish alias candu. Asap hashish memenuhi partikel udara dalam mobil kami, menusuk tajam-tajam ke dalam hidungku yang belum terbiasa. Untuk kali pertama aku begitu dekat dengan aroma dadah. Namun apa yang bagi kita adalah dadah haram jadah ini hanyalah bagai sebatang rokok biasa di Afghanistan.

Jalan-jalan bergelombang, mobil berjalan sambil meloncat-loncat, mesin di bawah jok mobil membakar pantatku, belum lagi debu yang terus-menerus menyerangku, serta aroma candu yang memuakkan, membuat aku ingin muntah. Benar saja, bukan cuma aku yang menderita. Sang mobil juga harus menyerah di hadapan bebatuan besar serta lobang-lobang dalam. Mobil ini pun mulai merajuk, tak mau melanjutkan jalan. Sang sopir meloncat turun, membuka kap mobil, menyiram-nyiramkan air. Perjalanan kami terhenti berkali-kali, sopir menyebutnya sebagai “time out”.

Susah payah kami akhirnya sampai di rumah makan kecil di pinggir jalan. Tidak seperti di Pakistan, di warung Afghanistan ini tidak ada meja dan kursi sama sekali. Yang ada hanyalah selembar tikar yang digelar sepanjang koridor, pria-pria Afghan yang duduk bersila di sepanjang tikar itu, memunguti makanan-makanan yang terhidang di atas tikar dengan tangan mereka yang besar-besar. Suasana seketika membisu dengan kedatangan kami. Mereka hanya memandangi kami berdua, dengan ekspresi datar, tanpa kata-kata. Kami jadi serba salah.

Adam tiba-tiba mencetuskan ide, “Sudah, keluarkan saja kameramu!”

Aku gemetar. Bagaimana kalau mereka marah? Menyerang kami? Menampar kami?

Tapi sungguh tak kukira, kamera mungil itu justru menjadi penyelamat dari kebekuan tatap-tatap mata itu. Senyum menyeruak di kalangan para tamu, juga para pekerja restoran yang hampir semuanya anak-anak di bawah umur. Sekarang mereka malah berebutan minta difoto.

Sebangga itukah dipotret oleh turis asing? Fotografi ternyata adalah pertanda perbedaan aliran waktu antara negeri mereka yang terhenti oleh perang berkepanjangan dengan dunia luar yang terus bergulir bersama perkembangan teknologi futuristik. Entah kapan internet merambah pedalaman negeri ini. Yang jelas, ketika itu terjadi, kehidupan tidak akan pernah sama lagi.

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

Rimbunnya jalanan Jalalabad (AGUSTINUS WIBOWO)

Rimbunnya jalanan Jalalabad (AGUSTINUS WIBOWO)

Beli melon (AGUSTINUS WIBOWO)

Beli melon (AGUSTINUS WIBOWO)

Dusun gersang di tepi jalan (AGUSTINUS WIBOWO)

Dusun gersang di tepi jalan (AGUSTINUS WIBOWO)

Betapa tampan bocah-bocah dusun ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Betapa tampan bocah-bocah dusun ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Stasiun pengisian bensin di tengah kekosongan (AGUSTINUS WIBOWO)

Stasiun pengisian bensin di tengah kekosongan (AGUSTINUS WIBOWO)

Menatap tajam pada kamera (AGUSTINUS WIBOWO)

Menatap tajam pada kamera (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

5 Comments on Selimut Debu 12: Menyingkap Cadar

  1. subhanallah RT Selimut Debu 12: Menyingkap Cadar – http://t.co/CUDuP9YQqohttp://t.co/74bffe1jMD

  2. Menarik “: Selimut Debu 12: Menyingkap Cadar – http://t.co/S2SrjOnAP7 http://t.co/9DJVKrEzU2”

  3. Membaca bagian cerita wanita cantik dengan suami orang tuanya jadi teringat cerita documentary di TV soal Child Bride di Afghanistan dimana anak2 perempuan yg masih kecil dikawinkan dengan pria2 yang jauh lebih tua. Jg soal candu, Afghanistan kalo tidak salah adalah salah satu penghasil candu terbesar di dunia. Kemiskinan menjerat penduduknya menanam candu (poppy farming)

  4. Tampan Dan nampak sederhana. Suka dengan kuota terakhir …. Kehidupan take akan pernah sama lagi.

  5. Husein Morgan // May 30, 2015 at 9:06 am // Reply

    Wow! Itu pom bensin di tempat antah berantah merknya Shell ya?

Leave a comment

Your email address will not be published.


*