Recommended

Selimut Debu 13: Realita Ibukota Negeri Perang

Pelayan warung di Jalalabad, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang sinetron (AGUSTINUS WIBOWO)

Pelayan warung di Jalalabad, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang sinetron (AGUSTINUS WIBOWO)

Di negeri perang, ada formula yang selalu berlaku. Selain nyawa yang sangat murah, segala sesuatu yang lainnya teramat mahal.

Hidangan kami siang ini bisa dikatakan sangat mewah, bagaikan hidangan penyambutan istimewa bagi tamu kenegaraan. Semangkuk kari paha ayam, sepiring besar nasi pulao, selepek bawang merah mentah dan cabe hijau yang panjang, sepotong paha ayam goreng …. Ini jauh lebih mewah daripada makanan mana pun yang kumakan sebulan terakhir.

Bocah-bocah pelayan melemparkan roti ke hamparan tikar di lantai, ke hadapan kami. Melempar, dalam arti harfiah, seperti melempar bulir-bulir jagung kepada ayam-ayam peliharaan. Tikar plastik merah yang kotor itu, entah sudah berapa puluh tapak kaki yang sudah menginjaknya hari ini, terus-menerus dijatuhi lempengan roti gepeng yang bergedebuk keras. Aku merobek secuil dan mencicip sedikit roti itu.

Ketika aku mengakhiri santapan, sisa rotiku itu diambil oleh pelayan warung, lalu dilemparkan lagi di hadapan pengunjung lain yang baru datang. Aku tak tahu rotiku itu, atau lebih tepatnya mantan rotiku itu, sebenarnya bekas tamu yang mana lagi. Sebelum rotinya mengalami nasib serupa, Adam langsung membungkusnya dan dimasukkan ke ranselku.

Saat membayar. Santapan kami siang ini: 150 Afghani per orang. Tiga dolar! Aku terbelalak. Ini bahkan satu dolar lebih mahal daripada harga kamar hotelku di Peshawar kemarin. Dari Pakistan yang murah nyaris gratis, seketika Afghanistan adalah tamparan telak buat turis kere macam kami. Adam merasa kami telah ditipu. Aku setuju. Namun setelah melihat tulang-tulang paha ayam di piring kami, setidaknya makanan kami tadi terbilang supermewah di negeri perang, rasanya harga itu juga masih masuk akal.

Ketika kembali ke mobil, mataku terasa teramat berat. Perut yang kenyang oleh daging ayam, bulir nasi palau, serta siraman teh manis, sekarang diaduk dengan aroma hashish dari kakek di bangku belakang. Kombinasi semua ini membuatku sangat mengantuk. Hari yang melelahkan. Otakku semakin berat…. berat… berat….

Welcome to Kabul,” sopir taksi Kabul menyambut kami sambil tertawa lebar. Akhirnya perjalanan panjang dari Peshawar berakhir sudah. Mobil biru yang kami tumpangi dari Torkham tadi berhenti di terminal di luar kota Kabul. Begitu kami turun, sudah ada puluhan supir taksi yang menarik-narik kami.

Taksi meluncur cepat menuju kota. Aku pun akhirnya bisa menghempaskan badan ke bangku taksi yang lumayan empuk. Sedangkan sang supir tak henti-henti menceritakan tentang kotanya tercinta. “Ini gedung kementerian budaya, itu pasar hewan, …”

Nuansa Kabul yang aku rasakan, masih dipenuhi misteri mistis yang penuh dengan tanda tanya. Bahkan masih sulit untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa aku telah benar-benar berada di sini. Semua bayanganku tentang Afghanistan, seakan-akan dihadapkan pada kenyataan yang terpampang jelas di balik jendela taksi. Semua prasangkaku terhadap Afghanistan seakan disangkal habis-habisan oleh sosok Kabul yang tampil lugas apa adanya di kanan kiri jalan.

Bukan, Kabul bukanlah kota mati yang terseok-seok setelah dihantam perang berkepanjangan. Kabul bukanlah kota hantu yang sudah ditinggal pergi oleh semua penduduknya. Kabul bukan juga tempat menyeramkan di mana peluru berdesingan dan mesiu bertaburan. Kabul adalah kota yang benar-benar hidup dan sedang berlari tanpa henti. Orang-orang hilir mudik di jalan, lalu lintas yang ramai yang dipenuhi pejalan kaki, perempuan-perempuan dalam burqa yang berjalan cepat-cepat sambil menundukkan kepala, serta taksi-taksi yang berseliweran tanpa henti di jalan. Bahkan, kemacetan pun terjadi di sekitar Pashtunistan Square.

Pakistan menggunakan sistem mengemudi di lajur kiri, sedangkan di Afghanistan seharusnya di lajur kanan, tetapi ternyata ada mobil yang setirnya di kiri ada yang di kanan, tergantung dari negara mana mereka mengimpornya. Tidak heran kalau lalu lintas di kota ini kacau balau, apalagi jumlah mobil masih sebanding dengan jumlah keledai, kuda, dan kereta dorong di jalanan.

Zar Negar Hotel, tempat kami berdua menginap, salah satu hotel paling murah di Kabul, nampak di seberang hotel Spinzar ini.

Di bagian bawah hotel banyak kios-kios yang berjualan aneka macam barang, mulai dari jam tangan, sepatu, sampai batu baterai. Ada tangga kayu kecil ke lantai dua, menuju restoran dan hotel. Sesosok tubuh yang dibalut burqa berwarna biru duduk di sandaran tangga sambil menadahkan kedua tangannya, sedangkan seulas bibir di balik kerudungnya tak hentinya memelas dalam bahasa Farsi.

Setelah proses registrasi yang cukup panjang, akhirnya kami pun bisa masuk kamar di lantai dua. Sebenarnya ada tiga kasur di sini, ditambah lagi dua buah sofa dan meja kecil di tengah ruangan. Ruangannya cukup besar, namun tidak ada lagi hal yang istimewa dari kamar ini. Kami harus membayar US$ 6 per kasur, sungguh tidak murah. Ada sebuah jendela besar yang menghadap ke jalan, di mana kita bisa melihat jalanan utama kota Kabul yang seakan tidak pernah berhenti dari aliran pejalan kaki.

Tiba-tiba pintu terbuka, masuklah pelayan hotel yang tadi mengantarkan kami ke kamar, melongok-longokkan kepalanya, masuk tanpa permisi, melihat-lihat sebentar barang-barang di atas meja kami, tanpa ba-bi-bu dia menyemprotkan deodoran milikku ke tubuhnya yang  memang agak bau itu, kemudian baru menoleh ke arahku sambil mengucapkan “Tashakur (terima kasih),” lengkap dengan senyumnya yang lebih mirip menyeringai itu.

Baru aku teringat sebuah nasihat yang sangat bijaksana, “Selalu kuncilah kamar selama berada di Afghanistan. Kita biasanya mengetuk dulu sebelum membuka pintu, tapi orang Afghan membuka pintu dulu sebelum mengetuk.” Bagi mereka mungkin pintu diciptakan untuk dibuka, bukan untuk diketuk.

Dari yang pernah kubaca, Sungai Kabul dulunya adalah sebuah sungai indah yang mengalir deras. Tanah sekelilingnya pun subur menghijau. Namun yang tersisa kini adalah sungai kering yang nyaris tak berair sama sekali, dan dipenuhi onggokan sampah di sana-sini. Sedangkan sepanjang aliran sungai terdapat Kabul Bazaar, di mana ratusan orang tumpah ruah di seluruh sudut jalan.

Sungai Kabul, memiliki arti yang lebih dari sekedar sebuah sungai kering di jantung kota. Di sinilah terjadi interaksi berbagai suku yang mendiami bumi Afghanistan. Di sinilah para pedagang jalanan berkumpul menawarkan dagangannya, dan para pembeli sibuk memilih barang kebutuhannya. Negeri ini tidak memiliki supermarket sama sekali, aksi jual beli masih dilakukan di tempat terbuka di tepi aliran sungai. Saudagar permadani menggelar barang dagangannya di lapangan terbuka, berteriak-teriak menarik pembeli. Pedagang mangga juga tidak kalah kuat teriakannya. Masih ada ratusan anak kecil yang menawarkan air minum di sore hari yang masih saja panas itu. Bangsa Pashtun, Hazara, Uzbek, Turkmen, …., semua tumplek blek di sini. Masing-masing mereka memainkan perannya sendiri-sendiri. Seakan semua corak yang mewarnai seluruh negeri Afghan, ditumpahkan di bazaar sepanjang aliran sungai ini. Dan tiap sosok wajah dari semua suku itu, tersenyum ramah kepada kami, seakan menyampaikan, “Welcome to Afghanistan.”

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

Makanan mewah di negeri perang (AGUSTINUS WIBOWO)

Makanan mewah di negeri perang (AGUSTINUS WIBOWO)

Pedagang permadani di tepi sungai kering (AGUSTINUS WIBOWO)

Pedagang permadani di tepi sungai kering (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang pedagang Uzbek. Ups, di sungai yang kering itu sepertinya ada yang sedang menjalani ritual panggilan alam (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang pedagang Uzbek. Ups, di sungai yang kering itu sepertinya ada yang sedang menjalani ritual panggilan alam (AGUSTINUS WIBOWO)

Keramaian ibukota (AGUSTINUS WIBOWO)

Keramaian ibukota (AGUSTINUS WIBOWO)

Toko karpet portabel bergerak fleksibel di sekeliling pasar (AGUSTINUS WIBOWO)

Toko karpet portabel bergerak fleksibel di sekeliling pasar (AGUSTINUS WIBOWO)

Tukang reparasi sepatu (AGUSTINUS WIBOWO)

Tukang reparasi sepatu (AGUSTINUS WIBOWO)

Para kuli menunggu rezeki (AGUSTINUS WIBOWO)

Para kuli menunggu rezeki (AGUSTINUS WIBOWO)

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Selimut Debu 13: Realita Ibukota Negeri Perang

Leave a comment

Your email address will not be published.


*