Recommended

Selimut Debu 17: Keajaiban Dunia

Danau mukjizat (AGUSTINUS WIBOWO)

Danau mukjizat (AGUSTINUS WIBOWO)

“Band-e-Amir adalah salah satu keajaiban dunia. Band-e-Amir sudah berada di atas segala rasa, dialah keindahan sejati.”

Begitu sebuah buku panduan wisata kuno Afghanistan terbitan Kabul melukiskan keindahan danau-danau Band-e-Amir. Airnya biru kelam, bagaikan bola mata yang menatap begitu dalam dan misterius. Birunya air ini laksana kristal permata yang berkilauan diterpa sinar mentari di tengah ketandusan.

Band-e-Amir berupa kumpulan lima danau berkilauan, terletak 75 kilometer di sebelah barat Bamiyan. Nama Band-e-Amir berarti “Bendungan sang Raja”. Setiap danau dikelilingi oleh tebing tinggi batu-batuan cadas yang membentuk seperti tembok yang membendung air danau. Menurut legenda, batuan-batuan cadas ini adalah mukjizat dari Hazrat Ali (sepupu Nabi Muhammad) yang mendirikan tembok-tembok batuan untuk membendung aliran sungai yang membanjiri negeri. Islam konon masuk ke Lembah Bamiyan setelah kedatangan Ali dan berbagai mukjizat ajaibnya, termasuk membunuh naga raksasa, menciptakan danau, dan mengalahkan raja lalim.

Dalam perjalanan menuju Band-e-Amir, kami singgah di sebuah kedai teh, yang dalam bahasa Afghan disebut sebagai chaikhana. Ini adalah tempat penting dalam kehidupan orang Afghan. Mereka melewatkan hari-hari mereka yang panjang di kedai teh. Hari yang baru biasanya diawali dengan sepoci teh jahe plus gula batu atau permen manis yang dikulum di bibir. Secangkir teh hangat juga menyegarkan tenggorokan setelah seharian ditempa teriknya sinar mentari. Dan di sore hari, sepoci teh bersama kawan dan sahabat di chaikhana merupakan salah satu saluran interaksi bagi bangsa Afghan. Di desa-desa, kedai teh bahkan tidak membutuhkan bangunan konkret. Cukup selembar tikar dan sepoci teh, dan jadilah kedai teh jalanan yang paling otentik.

Di antara pengunjung kedai teh pinggir jalan di bawah pancaran matahari, ada seorang kakek tua berjenggot putih beserban hitam. Dia mengaku telah berusia 150 tahun. Setelah diperhatikan dari ujung kepala sampai ujung kaki, tidak ada hal lain yang sanggup membuat kami percaya bahwa usianya sudah 150 tahun selain serban tuanya yang memang sudah lapuk. Melihat kami orang asing yang takjub dengan jenggot si kakek tua, para lelaki muda di sekelilingnya mengolok-olok si kakek, “Dia itu dulu Taliban! Dia pernah jadi anggota Taliban!” Dan mereka semua tertawa terbahak-bahak.

Mereka adalah orang-orang Hazara, dengan wajah yang sangat Mongoloid seperti orang China di pedalaman. Bahkan banyak yang mengira aku pun adalah orang Hazara. Dengan perbedaan fisik yang begitu mencolok, mereka justru menjadi korban pembantaian Taliban—orang-orang etnis Pashtun. Sangat jarang ada orang Hazara yang menjadi anggota Taliban, dan aku pun tak percaya si kakek yang begitu ramah dan tersenyum malu-malu pada kami ini adalah mantan anggota Taliban.

Melanjutkan perjalanan, kami melintasi padang penuh ranjau. Keberadaan ranjau di padang luas ditandai oleh penduduk dengan batu-batu merah (bahaya) dan putih (aman). Tahun lalu katanya ada sebuah bus berisi 18 penumpang yang meledak karena tidak sengaja menginjak salah satu ranjau, dan hingga kini bangkai mobil malang itu masih ada di tempat semula. Tidak ada seorang pun yang berani memindahkannya.

Nama Afghanistan seolah sudah bersinonim dengan kata “ranjau”. Petualangan di Afghanistan adalah berjalan di padang luas tanpa mengikuti jalan setapak yang sudah ada. Cobalah kalau kau berani. Salah-salah bisa sebatang atau dua batang kaki jadi buntung. Bahkan sopir kami yang orang Afghan sangat ragu-ragu dan berhati-hati saat memilih jalan melintasi padang menuju Band-e-Amir. Katanya ada jalan pintas yang baru saja dibersihkan dari ranjau seminggu lalu, tapi si sopir masih belum pasti.

Jalan menuju Band-e-Amir sebaiknya hanya ditempuh pada musim panas saja, karena pada musim dingin salju dan es yang menutupi jalan akan menjadi bahaya utama.

Aku sungguh tidak percaya, yang kusaksikan di hadapanku ini adalah Afghanistan. Betapa jernih airnya, dasar danau terlihat jelas. Tetapi hanya beberapa meter, kedalamannya tiba-tiba bertambah drastis, dari warna air biru muda seketika menjadi biru gelap. Dinginnya air langsung membuat sekujur tulang linu-linu. Namun danau ini juga merupakan surga para ikan, yang jumlahnya melimpah dan rasanya begitu renyah lagi segar. Tak butuh lama, ikan gemuk-gemuk di piring langsung menjelma menjadi tulang-belulang.

Keindahan kelima danau ini saking dahsyatnya sampai menarik perhatian turis lokal dan asing. Kemarin dua bus besar turis Korea datang ke danau ini, berkemah dan berpesta di sekeliling api unggun (benar kan, Afghanistan segera menjadi Disneyland versi perang?). Mungkin kebanyakan orang tidak pernah membayangkannya, tetapi memang benar ada turis Afghan. Para orang Afghan ini bukan cuma hidup dalam kesibukan berperang, mereka juga sudah bisa menyempatkan waktu untuk berpiknik. Seperti segala sesuatu di negeri ini, semuanya berkaitan dengan agama. Mereka berlibur menikmati pemandangan danau, sekaligus berziarah untuk memuja Ali dan memohon kesembuhan.

Di tepi danau terdapat bangunan masjid tua yang sudah bobrok. Terdengar isak tangis para perempuan mengelilingi benda kayu di tengah ruangan utama. Perempuan di negeri Islam seperti Afghanistan dan Pakistan adalah tabu—aku tak berani mendekat atau mengamati mereka lebih dalam karena bisa-bisa dianggap sebagai kekurangajaran dan mencari gara-gara. Tetapi kadang ketakutanku berlebihan, karena tidak semua orang Afghan menyembunyikan para perempuannya rapat-rapat dari pandangan lelaki asing.

Keluarga Hazara ini misalnya. Si lelaki tua menghampiriku, minta difoto lengkap bersama para istri dan anak perempuannya. Orang Afghan memang suka sekali difoto, tetapi hanya para lelaki saja. Zaman Taliban dulu, fotografi manusia dan hewan dilarang keras karena dianggap tidak Islami, haram, dosa. Setelah Taliban turun, sudah tidak ada lagi larangan memotret manusia, namun tetap saja memotret perempuan itu a big NO.

Para perempuan Hazara yang datang berziarah ini memakai pakaian warna-warni yang berkibar-kibar diterpa angin pegunungan yang kuat. Saat mereka memandang ke hamparan air biru kristal yang luas, hatiku bergetar. Apakah ini lukisan para perempuan misterius di balik cadar yang kulihat dalam mimpiku itu?

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

Sisa tank dalam perjalanan menuju Band-e-Amir (AGUSTINUS WIBOWO)

Sisa tank dalam perjalanan menuju Band-e-Amir (AGUSTINUS WIBOWO)

Kedai teh adalah universitas kehidupan (AGUSTINUS WIBOWO)

Kedai teh adalah universitas kehidupan (AGUSTINUS WIBOWO)

Anggota Taliban berumur 150 tahun? (AGUSTINUS WIBOWO)

Anggota Taliban berumur 150 tahun? (AGUSTINUS WIBOWO)

Nasib naas dialami oleh bus dan seluruh penumpangnya: menginjak ranjau yang tersembunyi di padang (AGUSTINUS WIBOWO)

Nasib naas dialami oleh bus dan seluruh penumpangnya: menginjak ranjau yang tersembunyi di padang (AGUSTINUS WIBOWO)

Batu merah penanda ranjau (AGUSTINUS WIBOWO)

Batu merah penanda ranjau (AGUSTINUS WIBOWO)

Danau ini seperti bak raksasa yang kepenuhan sampai airnya tumpah, menjadi air terjun (AGUSTINUS WIBOWO)

Danau ini seperti bak raksasa yang kepenuhan sampai airnya tumpah, menjadi air terjun (AGUSTINUS WIBOWO)

Aliran air danau yang menghidupi seluruh lembah Bamiyan (AGUSTINUS WIBOWO)

Aliran air danau yang menghidupi seluruh lembah Bamiyan (AGUSTINUS WIBOWO)

Dayung sampan, dayunglah sampan... (AGUSTINUS WIBOWO)

Dayung sampan, dayunglah sampan… (AGUSTINUS WIBOWO)

Para turis Afghan (AGUSTINUS WIBOWO)

Para turis Afghan (AGUSTINUS WIBOWO)

Biru luas membentang (AGUSTINUS WIBOWO)

Biru luas membentang (AGUSTINUS WIBOWO)

Kecantikan yang misterius (AGUSTINUS WIBOWO)

Kecantikan yang misterius (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Selimut Debu 17: Keajaiban Dunia

  1. tulisan dan foto fotonya selalu bikin berkhayal berada di dalam cerita 😀

Leave a comment

Your email address will not be published.


*