Recommended

Selimut Debu 18: Setumpuk Masalah

Meninggalkan Kabul, menuju Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Meninggalkan Kabul, menuju Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Ya, ini memang mimpi. Dan sudah saatnya sekarang aku bangun dari mimpi.

Liburan musim panas yang cuma enam minggu ini terlalu singkat, sama sekali tidak cukup untukku mengenal negeri Afghan. Masih begitu banyak pertanyaan tak terjawab, misteri tak tersingkap, kerinduan terpendam.

Tapi, setiap perjalanan harus ada akhirnya. Sering kali, akhir yang tidak diundang justru membuat rasa kita semakin dalam.

Saat kami kembali ke Kabul, tujuan pertama yang kami datangi adalah kedutaan Pakistan. Aku harus melewati Pakistan untuk kembali ke China, sedangkan Adam meninggalkan ranselnya di penginapan di Peshawar karena enggan membawa terlalu banyak barang ke Afghanistan. Masalahnya, kami berdua sama-sama tidak punya visa ke Pakistan. Kesalahan utama kami adalah, menganggap visa Pakistan yang cuma tempelan kertas putih ditulis tangan dengan lem yang mudah copot itu semudah dan sesimpel kualitas kertasnya.

Lelaki berkumis, langsing dan tinggi, menyambut kami di sebuah kantor sempit di Kedutaan Pakistan yang dikelilingi tembok tebal tak bersahabat. Kami dipersilakan duduk, mengisi formulir, dan menunggunya mewawancara (atau mungkin berbincang?) dengan satu per satu para pemohon visa. Kami para pemohon visa duduk di bangku-bangku yang merapat di tembok ruangan kantor membentuk huruf U. Lelaki itu berdiri di tengah, lalu berjalan ke masing-masing bangku, seperti guru kursus yang menguji hafalan murid-muridnya.

Ketika tiba giliran kami, lelaki itu menanyakan surat. Surat? Surat apa? Katanya, kami perlu surat pengenal dari kantor kami bekerja, atau surat dari kedutaan kami.

Tetapi kami hanya turis biasa ke Afghanistan. Dan yang kami butuhkan cuma visa transit ke Pakistan. Kami tidak punya surat, dan setahu kami, kami tidak perlu surat. Adam mengatakan kedutaan Inggris tidak akan mengeluarkan surat seperti itu, dan aku mengatakan tidak ada kedutaan Indonesia di Afghanistan.

OK, Sir. Go your way!” kata lelaki itu. Dia beranjak ke bangku berikutnya.

Apa maksudnya kalimat itu? Pergi ke jalan kami masing-masing? Formulir kami tidak diambilnya, paspor kami pun tidak diliriknya

Go our way? But our way is to Pakistan, Sir!” kata Adam.

“Yes, go your way, please!” jawabnya datar.

Dia tidak memedulikan kami, beralih ke nyonya kulit putih di sampingku. Seperti halnya kepada kami, lelaki itu menanyakan apa tujuannya ke Pakistan. Si nyonya dengan bahasa Inggris logat Amerika yang kental menjelaskan, bahwa dia adalah direktur sebuah LSM yang bergerak di bidang kemanusiaan. Lelaki itu juga meminta surat dari kantornya.

“Tetapi aku adalah direktur dari kantorku sendiri? Jadi suratku kutandatangani sendiri?” tanya perempuan itu kurang yakin.

Lelaki itu mengangguk. Surat, yang penting ada surat.

Kami masih bertanya-tanya apa maksudnya go your way, tetapi setelah seperempat jam duduk di bangku yang sama dan tanpa sama sekali dilirik oleh lelaki itu, kami akhirnya sadar kami sudah diusir dengan begitu halus. Apakah memang seperti begitu cara diplomat berbicara? Tanpa ekspresi di wajah, dengan kata-kata yang harus direnungkan dalam-dalam apa maknanya.

Gawat. Hari ini hari Kamis, sudah pukul 11:30. Setengah jam lagi kedutaan tutup. Dan parahnya, besok Jumat, hari libur akhir pekan di Afghanistan, sedangkan kedutaan Pakistan baru buka lagi hari Minggu. Sementara waktuku sudah tidak banyak, aku harus kembali ke Beijing melanjutkan kuliah.

Begitu keluar dari gedung, Adam yang panik langsung memanggil taksi pergi ke kedutaan Inggris. Sedangkan aku tidak tahu ke mana, dan harus berbuat apa.

Seorang sopir taksi mengatakan dia tahu di mana kedutaan Indonesia.

Aku terperangah? Ada kedutaan Indonesia di sini? Bukankah yang kutahu, kedutaan kita sudah tutup, tidak ada diplomat apalagi duta besar, yang ada cuma seorang lelaki Indonesia yang ditugasi menjaga gedung kedutaan—aset negara kita. Bagaimana mungkin mereka mengeluarkan surat yang kubutuhkan?

Aku mengikut ke mana sopir itu membawaku, meluncur ke arah kedutaan Indonesia, di daerah Shahr-e-Nao alias “Kota Baru” Kabul. Yang menyambutku adalah seorang lelaki Afghan tua yang begitu fasih berbahasa Inggris. Kujelaskan maksudku, dia langsung tergopoh-gopoh lari ke dalam untuk memanggil orang Indonesia yang bertugas di dalam gedung.

Semua berlangsung cepat, secepat jantungku berdetak diburu waktu dan kecemasan. Lelaki Indonesia itu, pria berkumis berwajah sangar, bernama Pak Kasim. Pertama-tama, dia menyalahkanku yang tidak melapor ke kedutaan begitu aku datang ke sini. “Kalau ada apa-apa denganmu, siapa lagi yang bisa menolongmu?” katanya. Tapi dia dengan sabar mendengarkan ceritaku (siapa aku, mahasiswa yang cuma berbekal kenekatan dan uang US$ 300 ke Afghanistan, ingin pulang tapi tak bisa pulang). Saking tegangnya, ceritaku jadi berloncatan ke sana ke sini. Toh dia paham apa maksudnya, dan segera memerintahkan lelaki tua Afghan tadi untuk mengetikkan surat untukku.

Aku terus melirik ke jam tangan. Sebentar lagi sudah pukul 12:00. Harapanku semakin tipis.

Satu menit menjelang pukul 12:00, surat itu pun jadilah. Pak Kasim membaca ulang. Oh tidak, kalimat ini tidak boleh begini, harus diketik ulang, katanya. Dan bapak tua itu kembali mengetik surat yang baru untukku, sementara Pak Kasim melanjutkan ceritanya hidup belasan tahun sebagai satu-satunya orang Indonesia di Afghanistan, bagaimana dia pernah distop Taliban karena memutar musik di mobil, dan meyakinkanku sebenarnya di negeri perang ini pun kehidupan sesungguhnya masih normal.

Ketika surat itu selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 12:15. Aku terkulai lemas. “Kedutaan sudah tutup! Kedutaan Pakistan itu pasti tidak akan menerima saya,” kataku tanpa daya.

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

Adam nyaris putus asa (AGUSTINUS WIBOWO)

Adam nyaris putus asa (AGUSTINUS WIBOWO)

Dukungan penuh dari kedutaan (AGUSTINUS WIBOWO)

Dukungan penuh dari kedutaan (AGUSTINUS WIBOWO)

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*