Recommended

Selimut Debu 19: Beda Negara Beda Nasib

Birokrasi di negeri yang hancur lebur juga membuat kami hancur lebur. (AGUSTINUS WIBOWO)

Birokrasi di negeri yang hancur lebur juga membuat kami hancur lebur. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pergilah ke jalanmu. Go your way adalah kalimat khas yang diucapkan diplomat Pakistan. Seperti doanya, sekarang aku benar-benar go my way, kembali ke Kedutaan Pakistan demi selembar visa.

Membaca kekhawatiranku mengenai visa Pakistan, Pak Kasim dari Kedutaan Indonesia berusaha menenangkan. “Jangan khawatir,” ujarnya, “kita akan berusaha yang terbaik.” Aku diajaknya melintasi gedung kedutaan yang begitu luas dan berlantai marmer (mirip museum barang-barang ukiran dan lukisan tradisional Indonesia) dan sudah beberapa kali direnovasi berkat terjangan roket dan peluru nyasar, melongok sebentar ke lapangan tenis dan kebun buah, lalu ke halaman belakang tempat jajaran empat mobil diparkir, lalu mempersilakan aku duduk di bangku depan salah satu mobil, sementara dia menyetir melintasi jalanan panas dan berdebu kota Kabul.

Aku yang sejam lalu bahkan tidak tahu harus ke mana, kini sudah duduk di bangku paling terhormat di mobil kedutaan. Pak Kasim, lelaki Indonesia yang baru kutemui hari ini, begitu penuh semangat membantu hanya karena kami adalah saudara sebangsa.

Benar saja, kedutaan Pakistan sudah tutup. Tetapi dengan identitas Pak Kasim, para bodyguard penjaga gerbang memberikan kami jalan, langsung meluncur ke kantor visa. Lelaki tinggi berkumis yang sama masih ada di ruang itu. Pak Kasim dan lelaki itu berangkulan, bercakap-cakap seperti sahabat lama. Aku tak perlu banyak bersuara, biarkan surat dan diplomasi tingkat kedutaan yang berbicara.

Tanpa membaca surat yang diketik susah payah dan formulir yang diisi lengkap, lelaki itu menanyaiku akan tinggal berapa lama di Pakistan. Hanya tujuh hari yang bisa dia beri. Biaya 2.250 afghani (US$40) dibayar tunai, pasporku bisa diambil dua hari lagi. Lelaki itu bahkan lupa memintaku menyerahkan foto diri. Selembar surat memang bisa membuat kita serasa terbang ke langit tertinggi.

Nasib baikku sebagai orang Indonesia ternyata tidak dimiliki Adam. Urusan dengan kedutaan Inggris tidaklah mudah. Orang Inggris tidak mudah percaya begitu saja pada laporan orang, termasuk laporan warga negaranya sendiri. Adam harus menerima pemeriksaan ketat yang meraba-raba seluruh tubuhnya dan mengorek-ngorek seluruh isi tasnya, wawancara berjam-jam dari saudara sebangsanya, ditanyai dengan teliti kegiatan apa-apa saja yang dilakukannya dan tempat-tempat mana saja yang dikunjunginya di Pakistan dan Afghanistan, diselidiki catatan kriminalnya melalui kontak kawat langsung ke kantor polisi di Inggris, disalahkan siapa suruh datang ke negara yang termasuk daftar peringatan perjalanan (travel warning) ini, dan diberi solusi yang bagiku cuma basa-basi.

“Kamu bisa terbang ke Dubai, di sana orang Inggris bisa pergi tanpa visa,” kata petugas Inggris.

“Buat apa jauh-jauh ke Dubai? Kalau ke Dubai itu sama saja sekalian langsung pulang ke Inggris. Aku punya visa India, aku bisa terbang ke India.”

“Kalau begitu terbang saja ke India!”

“Tapi aku tidak punya uang. Sekarang uang tunaiku sangat terbatas,” kata Adam.

“Kami bisa membantumu melakukan transfer uang. Kamu bisa menelepon ke orangtuamu di Inggris untuk mentransfer uang ke rekening kami, dan kami akan langsung memberikanmu uang tunai di Kabul.”

“Tapi aku harus ke Pakistan, tas ranselku masih tertinggal di Pakistan.”

“Itu bukan masalah kami.”

Hari Sabtu adalah untuk kedua kalinya Adam kembali ke Kedutaan Inggris. Kali ini aku ikut bersamanya. Hanya untuk masuk ke halaman kedutaan, Adam perlu mengisi bermacam-macam formulir, lalu harus menunggu selama sekitar sepuluh menit di pintu gerbang, sampai muncul seorang bodyguard bule berbodi mirip Arnold Schwarzenegger yang menanyakan tujuan kedatangan Adam. Si bodyguard mengatakan, hari ini kedutaan libur dan di kantor tidak ada siapa-siapa. Setelah berdebat panjang, Adam diizinkan masuk, sementara aku duduk menunggu di bawah pepohonan rindang, mengobrol bersama para tentara penjaga. Seorang ashkar tua dengan girang tersenyum memandangi foto-foto gadis berbikini yang dimuat di tabloid berbahasa Inggris sisa buangan dari Kedutaan. Dia sendiri mengaku punya empat istri, dan anaknya sudah ada 18 biji.

Setengah jam kemudian, baru si Adam keluar. Kedutaan Inggris, katanya, sudah menelepon ke Kedutaan Pakistan dan mereka setuju tidak perlu pakai surat. Dirinya diminta segera pergi ke Kedutaan Pakistan untuk mengajukan permohonan visa. Kami seperti maling yang dikejar-kejar, berlarian ke jalan mencegat taksi dan langsung menerjang ke Kedutaan Pakistan. Hanya Adam sendiri yang masuk.

Lama aku menunggu, barulah Adam keluar. Wajahnya merah padam tegang membara. Para satpam penjaga Kedutaan Pakistan mengucapkan salam padanya, tapi dia tidak menjawab. Aku tahu, ada masalah yang lebih gawat. Tanpa perlu bertanya, para satpam kedutaan Pakistan yang adalah orang-orang Afghan itu hanya tertawa terbahak, sambil berkata, “Pakistan embassy fuckie, fuckie!

Ternyata saat tadi masuk ke kantor kedutaan, Adam masih bertemu dengan lelaki Pakistan kurus tinggi yang sama. Lagi-lagi, dia diminta surat. Adam terkejut, “Bukannya tadi Kedutaan Inggris sudah telepon, dan Anda sudah setuju tidak perlu surat?” Lelaki itu mengatakan tidak ada telepon masuk, dan tidak tahu-menahu soal itu. Adam pun tidak bisa menjawab ketika ditanya siapa orang kedutaan Pakistan yang menerima telepon. Setelah itu, Adam tidak dipedulikannya lagi.

Kemarahan Adam sudah di ubun-ubun. Adam membentak diplomat terhormat itu. “Saya sudah berusaha sopan dan bekerja sama dengan Anda selama tiga hari ini, namun Anda malah sengaja mencari masalah dari saya! Go your way? Yes, I go my way!

Lelaki itu pun terkejut mendengar bentakan Adam. “Oh, anak muda, bukan begitu caranya.” Semua para pemohon visa di ruangan itu pun sama terkejutnya, mungkin baru pertama kali ini mereka melihat ada orang yang begitu berani kurang ajar membentak diplomat di kantor kedutaannya sendiri. Para bodyguard pun datang menyeret Adam keluar dari ruangan, persis seperti pelaku teroris berbahaya yang disikat sebelum melakukan aksi.

Kedutaan Pakistan di Kabul memang terkenal ribet. Seorang gadis Asia disuruh pulang lagi karena tidak membawa fotokopian visa Afghanistan (aku tidak pernah diminta). Ada juga orang Afghan yang membawa istrinya masuk ke ruangan, ditanyai oleh lelaki itu mengapa si perempuan ini juga ikut menunggu di ruangan ini kalau tidak mengurus visa. Lelaki Afghan itu menjawab, “Tapi, dia istri saya, Sir!”. Diplomat Pakistan itu menjawab ketus, “Oh, itu bukan alasan!”

Adam kembali ke kedutaannya. Lagi-lagi, Kedutaan Inggris hanya berbicara soal formalitas dan aturan, tidak ada dalam buku mereka prosedur menulis surat untuk memohon visa Pakistan, tapi mereka bisa berfungsi sebagai bank yang membantu keluarga Adam melakukan transfer uang ke Kabul.

Sebuah hari yang panjang, berkunjung dari kedutaan ke kedutaan. Beruntung aku punya paspor Garuda. Kemarin sepanjang hari Jumat, Pak Kasim membawa kami berkeliling kota Kabul dengan mobil dan istrinya (orang Afghan asli guru bahasa Inggris yang begitu cantik mirip foto model berdarah campuran di negeri kita). Ketika sore kami kembali ke hotel, aku menerima selembar pesan dari Pak Kasim. Katanya, siang hari dia sudah datang ke hotel ini untuk mengantarku ke Kedutaan Pakistan untuk mengambil visa, dan karena aku tidak ada di tempat, dia langsung meluncur ke Kedutaan Pakistan, namun karena tidak berhasil menemukanku dia pun kembali lagi ke hotel ini dan menanyakan apakah aku masih selamat.

Sungguh aku terharu dengan kebaikan saudara sebangsaku ini. Sementara Adam berkata, “Ah, andaikan aku juga bisa punya paspor Indonesia….”

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

Nasib Adam terayun-ayun dalam ketidakpastian (AGUSTINUS WIBOWO)

Nasib Adam terayun-ayun dalam ketidakpastian (AGUSTINUS WIBOWO)

Desakan kuat untuk meninggalkan Kabul (AGUSTINUS WIBOWO)

Desakan kuat untuk meninggalkan Kabul (AGUSTINUS WIBOWO)

Ini yang namanya seksi (AGUSTINUS WIBOWO)

Ini yang namanya seksi (AGUSTINUS WIBOWO)

Sup ayam dan ayam goreng dari Kabul ini adalah pelarian favorit kami (AGUSTINUS WIBOWO)

Sup ayam dan ayam goreng dari Kabul ini adalah pelarian favorit kami (AGUSTINUS WIBOWO)

Pejabat kedutaan Indonesia itu sampai menungguku di hotel yang kami tinggali ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Pejabat kedutaan Indonesia itu sampai menungguku di hotel yang kami tinggali ini (AGUSTINUS WIBOWO)

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Selimut Debu 19: Beda Negara Beda Nasib

  1. ini cerita ttg Adam Smith? Saya smpt bertemu dg dia di Lombok & tau blog kak agus jg dr dia. Susah ya ngurus visa di Pakistan.

  2. andai semua diplomat ringan tangan mau mmbantu sodara sebangsa nya yg sdg kesusahan di negeri asing…..hhhm

  3. kalo kasus spt gini, enak jg pny pasport garuda 😀

  4. Saya pernah dengar cerita dari temen yg pernah sekolah di Jepang, katanya orang Jepang juga suka heran dengan solidaritas orang2 Indonesia ke sesama warga negara Indonesia di Luar Negeri.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*