Recommended

Selimut Debu 20: Malam Terakhir

Super Deluxe Bus ala Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Super Deluxe Bus ala Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Beberapa hari ini dilewatkan hanya dengan kunjungan rutin ke Kedutaan Inggris karena masalah visa Adam. Ide-ide gila sempat muncul untuk mendapat visa Pakistan, mulai dari membuat surat dari organisasi palsu yang ditandatangani sendiri, sampai mengurus visa Pakistan di konsulat di Jalalabad, atau pergi ke Iran dan Uzbekistan (yang harga visanya sampai US$100). Tetapi dengan uang Adam yang tidak kalah tipisnya dari punyaku, semua pilihan itu jadi mustahil.

Bagaimana pun juga aku tidak bisa terus-terusan di Kabul, dan harus meninggalkan negeri ini dengan kekecewaan mendalam. Waktuku sangat singkat, dan aku hampir tidak berkesempatan mengenal negeri Afghan ini sama sekali.

Untuk menebus perasaan bersalah karena membuatku menemaninya setiap hari ke Kedutaan Inggris yang membosankan, Adam mentraktirku makam malam terakhir di restoran China yang segedung dengan Khyber Restaurant. Lumayan mahal makanannya, seporsi sampai US$8, apalagi untuk kami para backpacker kere yang rela melakukan apa pun hanya demi menghemat satu sen.

Sial!

Bus menuju perbatasan Pakistan berangkat subuh-subuh, tetapi aku baru bangun pukul tujuh siang. Ya, pukul tujuh itu sudah siang kalau ukuran Afghanistan. Sudah mustahil aku berangkat ke Pakistan hari ini. Aku tidak tahu harus senang atau sedih. Rencana tidak terlaksana, tapi setidaknya aku punya satu hari lagi untuk melihat Kabul.

Pertama-tama kami pergi ke pasar. Lagi-lagi, kami merasakan jadi selebritis yang dikerumuni para lelaki penasaran. Awalnya memang menarik dan lucu, tetapi lama-lama lelah juga. Setiap kali aku mau memotret, yang muncul adalah wajah-wajah tak diundang.

Selanjutnya kami ke Museum Kabul, yang sempat menjadi berita dunia karena pernah diserbu Taliban itu. Mereka menghancurkan patung-patung Buddhis peninggalan sejarah, juga foto-foto raja dan ratu, karena semua dianggap tidak Islami. Sayangnya, beberapa bulan ini museum sudah ditutup karena renovasi, kabarnya untuk beberapa tahun. Sedangkan di hadapan museum adalah Istana Darulaman, bangunan megah bergaya Eropa yang kini sudah menjadi rumah hantu. Dulu para raja Afghan tinggal di sini, namun sekarang bangunan ini sudah seperti kastil yang kena bom nuklir. Polisi melarang kami mendekat ke bangunan itu, karena kata mereka di sekeliling istana masih banyak ranjau yang belum meledak.

Kami akhirnya pergi ke kebun binatang, tempat yang paling tidak ingin kami lihat sebenarnya karena kasihan dengan binatang-binatangnya. Benar saja, kebun binatang ini sangat mengenaskan, hewan-hewan malang dikurung di kandang-kandang sempit. Hewannya pun tinggal sedikit, apalagi setelah matinya Marjan si singa terkenal pemberian Jerman yang telah bertahan hidup dan menyaksikan perjalanan panjang kemelut perang Afghan sejak dihibahkan tahun 1978. Marjan si singa telah melewati perang melawan Uni Soviet (Kebun Binatang sempat dibombardir tentara Rusia), perang saudara Mujahiddin, sampai zaman Taliban. Andaikan Marjan bisa bicara, tentu dia punya banyak cerita. Marjan mati baru tahun 2002 kemarin, yang tersisa di Kebun Binatang Kabul adalah kesedihan.

Tapi tidak sepenuhnya begitu. Aku tertawa geli melihat adanya babi di kebun binatang. Orang Afghan suka sekali menggoda babi yang lucu kemerahan, dengan menjulurkan kaki mereka ke kandang babi. Mereka juga suka menggoda monyet sampai marah. Aku jadi membayangkan, berani tidak mereka menjulurkan kaki-kaki mereka ke kandang beruang.

Malam ini kami kembali makan malam bersama di Restoran China. Para pekerja restoran yang orang-orang China itu terkejut, bukankah aku seharusnya sudah berangkat ke China sejak kemarin?

Perjalanan hari berikutnya adalah maraton sampai ke Beijing. Aku cuma punya lima hari tersisa, dan harus sudah sampai Beijing hanya dengan uang yang terbatas ini. Subuh-subuh aku berangkat ke terminal, si kernet dengan berbagai alasan menolak memberikanku kembalian. Para penumpang yang lain membelaku, dalam bahasa Parsi yang kumengerti hanya kata “Indonesia” dan “Musliman”. Kernet itu akhirnya mengembalikan uang yang sudah menjadi hakku.

Di negeri ini, agama adalah bagian penting dari identitas. Kau beragama sama, maka kau adalah orang baik. Pertanyaan tentang agama sering kali menyudutkan, dan aku pun sering kali bingung harus menjawab apa. Apakah harus berbohong dengan mengaku sebagai Muslim demi menyenangkan mereka, atau jujur dan bersedia menghadapi perlakuan yang paling tidak mengenakkan.

Hari ini, di kedai teh di Jalalabad saat kami makan siang, seorang lelaki menanyaiku pertanyaan yang sama. Aku menjawab jujur bahwa aku belum menjadi Musliman. Lelaki yang semula ramah dan banyak bercanda itu seketika berubah raut mukanya. “Kamu harus mengenal keberadaan Tuhan. Dialah yang menciptakan langit dan bumi. Coba kalau tidak ada Tuhan, siapa yang menciptakan alam semesta? Kamu harus mengakui bahwa kamu itu Islam.” Dia sama sekali tidak memberikanku kesempatan untuk berargumentasi. Kami semobil ke perbatasan Pakistan, dan terus-menerus selama berjam-jam berikutnya dia menceramahiku. “Lihat, patung Buddha yang besar dan raksasa itu saja hancur di tangan Taliban. Bagaimana patung bisa melindungimu kalau dia tidak bisa melindungi dirinya sendiri?”

Berikutnya aku terpikir jawaban jujur yang paling aman jika ditanya apakah aku Muslim. Jawaban itu adalah, “Inshallah.”

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

Secangkir teh perpisahan (AGUSTINUS WIBOWO)

Secangkir teh perpisahan (AGUSTINUS WIBOWO)

ChinaTour di Kabul (AGUSTINUS WIBOWO)

ChinaTour di Kabul (AGUSTINUS WIBOWO)

Kepala kambing (AGUSTINUS WIBOWO)

Kepala kambing (AGUSTINUS WIBOWO)

Menggoda babi (AGUSTINUS WIBOWO)

Menggoda babi (AGUSTINUS WIBOWO)

Tapi tidak ada yang berani menggoda beruang (AGUSTINUS WIBOWO)

Tapi tidak ada yang berani menggoda beruang (AGUSTINUS WIBOWO)

Berebut difoto (AGUSTINUS WIBOWO)

Berebut difoto (AGUSTINUS WIBOWO)

Pasar Kabul selalu dipenuhi anak-anak (AGUSTINUS WIBOWO)

Pasar Kabul selalu dipenuhi anak-anak (AGUSTINUS WIBOWO)

Untung aku tidak harus naik bus itu (AGUSTINUS WIBOWO)

Untung aku tidak harus naik bus itu (AGUSTINUS WIBOWO)

Sampai jumpa, Afghanistan! (AGUSTINUS WIBOWO)

Sampai jumpa, Afghanistan! (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Selimut Debu 20: Malam Terakhir

  1. Pagi mas , kapan maen ke Jogja lagi?

  2. Insha Allah

Leave a comment

Your email address will not be published.


*