Recommended

Selimut Debu 22: Kabul, Pandangan Pertama

 

Para pengunjung Safi Landmark, pusat perbelanjaan termegah di Kabul hari ini. (AGUSTINUS WIBOWO)

Para pengunjung Safi Landmark, pusat perbelanjaan termegah di Kabul hari ini. (AGUSTINUS WIBOWO)

Tiga tahun berselang…

Mimpi berpendar bersama realita,

Aku berubah,

Afghanistan pun berubah.

 

Apakah ini sungguh Afghanistan?

Aku tak henti bertanya ketika memandang kota Kabul. Setelah melintasi Khyber Pass yang sama seperti tiga tahun lalu, aku kembali datang ke kota ini, ke negeri ini, berbekal sedikit pengetahuan bahasa Farsi demi mendengarkan cerita-cerita langsung dari mulut Afghanistan. Dan begitu asingnya dia sekarang. Kota yang sama, ibukota negeri perang yang selalu membayangi imajinasiku selama bertahun-tahun ini, kini hampir tak kukenali lagi.

Kabul hari ini, di hadapanku, adalah kehidupan mewah, pesta foya-foya, kekayaan yang melimpah. Namun semua itu tersembunyi di balik tembok padat yang kumuh dan kusam.

Aku tinggal bersama seorang teman dari Indonesia, yang bekerja pada sebuah perusahaan IT di Kabul dengan beberapa warga asing. Teman-teman sekerjanya sesungguhnya adalah orang Afghan yang kini telah menjadi warga sebuah negara Skandinavia. Afghanistan saat ini membuka lebar-lebar pintu investasinya, mengundang diaspora Afghan yang tinggal di berbagai negeri untuk membaktikan diri pada tanah air. Setelah perang berkepanjangan, banyak warga Afghanistan yang mengungsi ke luar negeri dan menjadi warga negara lain. Mereka sekarang boleh bekerja dan tinggal di Afghanistan seberapa lama pun mereka mau. Mereka juga tidak perlu menjadi Warga Negara Afghanistan, walaupun tetap boleh mengajukan kewarganegaraan karena Afghanistan mengakui sistem kewarganegaraan ganda.

Kebijakan ramah imigran ini membuat arus deras aliran dana dan intelektual dari luar negeri, baik dari diaspora Afghan maupun dari seluruh warga dunia. Sekejap saja, Kabul kini telah menjadi kota yang sangat internasional, sebuah kosmopolitan.

Daya tarik utamanya tentu adalah tawaran gaji yang sangat menggiurkan, bagi mereka yang berani dan rela untuk bekerja di medan yang sangat berbahaya seperti ini.

Kawan Indonesiaku ini menerima gaji yang sangat tinggi—menurut ukuranku. Tapi baginya, seribu lima ratus dolar sebulan ini sama sekali tidak cukup. Gaya hidup di sini sangat mahal, bersosialisasi dengan kaum ekspat (termasuk para donor penyandang dana) juga membutuhkan biaya yang tidak murah. Aku sekarang menginap di kantor temanku ini, yang juga memiliki ruangan-ruangan yang sangat mewah termasuk ruang khusus olahraga dengan perlengkapan gym pribadi. Mereka juga mempekerjakan sejumlah pembantu dan masih dijaga satpam bersenjata bedil.

Di hari pertamaku di negara ini, temanku—seorang Minang yang telah merantau di Bangladesh, India, dan kini Afghanistan selama sepuluhan tahun ini—langsung mengundangku ikut menyaksikan acara pembukaan Piala Dunia 2006.

“Apa istimewanya?” tanyaku.

“Siaran langsung! Di lapangan terbuka dengan televisi ukuran besar,” jelasnya.

Aku membayangkan pertunjukan itu seperti layar tancap gerimis bubar, dengan kerumunan orang-orang Afghan beserban yang antusias menyaksikan pertandingan sepak bola sambil bersorak-sorai. Apalagi bangunan yang kami tuju adalah sebuah rumah yang kelihatan begitu muram, dikelilingi tembok padat, terletak di dalam gang sempit berbatu dan berlumpur.

Tapi begitu masuk, kau pasti tahu ini bukan bangunan biasa. Ada pengamanan yang sangat ketat dari para satpam dan bodyguard, semua membawa bedil Kalashnikov. Di luar rumah ini juga terdapat banyak mobil mewah yang diparkir berjajar. Dan di dalamnya, ada sebuah bar, dengan lampu yang berkedip-kedip menyemburatkan berbagai warna. Inilah bar yang paling terkenal sebagai tempat nongkrong para ekspatriat di Kabul. Ada tulisan besar-besar: “Warga Afghanistan dilarang masuk.” Aku jadi teringat tulisan yang ditinggalkan penjajah Inggris di India: “Orang India dan anjing dilarang masuk”. Ada pemeriksaan paspor untuk orang-orang Asia yang dicurigai sebagai Afghan (misalnya orang-orang Nepal, atau orang-orang berwajah Mongoloid tapi pakai jubah lusuh seperti diriku).

Bar bernama l’Atmosphere ini penuh sesak oleh orang asing dari berbagai bangsa. Di dalamnya terdapat taman, kolam renang, bar, cafe, restoran. Inilah tempat paling asyik buat para “pekerja sosial” di Kabul. Aku bertanya pada temanku tentang gaji orang-orang yang bekerja di berbagai organisasi sosial internasional di Kabul. Jawabannya sungguh mengejutkanku. US$ 1.000 itu minimum. Mayoritas mereka di atas 4.000 dolar. Bahkan tidak sedikit yang gajinya di atas 20.000 dolar. Sebulan! Kehidupan di Kabul bahkan mungkin jauh lebih mewah dan megah daripada kehidupan di negara asal mereka sendiri. Bedanya, di sini kemewahan itu tidak terlihat dari luar.

Kabul di tahun 2006 ini begitu kontras dari Kabul yang kulihat tiga tahun lalu. Sekarang, di tempat yang dulunya adalah tumpukan puing-puing, telah berdiri bangunan pusat perdagangan megah yang menjadi landmark baru di kota ini. Namanya juga menunjukkan posisinya: Kabul City Center, yang merangkap sebagai Safi Landmark Hotel.

Aku berjumpa tiga warga Indonesia di Kabul. Seorang di antaranya adalah chef di hotel bintang lima, dan dua lainnya adalah bartender. Mereka mengundangku makan siang di Safi Landmark. Memasuki gedung ini, aku terkejut dengan lantai pualam yang berkilau, toko-toko kelas atas yang menjual parfum impor mahal dan perhiasan yang gemerlap, ditambah dengan hotel bintang empat berstandar dunia, juga restoran mewah. Semua ini ada di Kabul? Para pengunjung pusat perbelanjaan ini kebanyakan adalah warga lokal, aku duga mereka tiba-tiba menjadi kaya raya hanya dalam beberapa tahun terakhir di negara ini. Pintu masuk dijaga dengan ketat, semua orang harus diperiksa seperti mau naik pesawat. Keamanan masih menjadi masalah utama di negeri ini. Busana jubah dan celana kombor shalwar kamiz tidak sebanyak di Peshawar, Pakistan, yang mayoritas warganya masih pakai baju tradisional. Di Kabul, para lelaki lebih banyak memakai pakaian ala Barat, sedangkan para perempuan banyak yang memadukan celana jins dengan kerudung. Burqa yang menutup dari ujung kepala sampai kaki, termasuk wajah dan mata, masih cukup banyak dipakai para perempuan, tapi sudah jauh lebih sedikit dibandingkan ketika aku datang ke negara ini tahun 2003, dan para perempuan di sini punya lebih banyak pilihan pakaian.

Bagaimana kehidupan sekarang? Semua hal di Afghanistan, utamanya di Kabul, sangat mahal. Beberapa orang bilang, sekarang sudah lebih murah dibandingkan beberapa tahun lalu. Tapi sesungguhnya masih mahal. Harga kartu perdana telepon seluler misalnya, paling murah seharga US$25, sedangkan pada enam tahun lalu pada masa Taliban harganya US$250. Harga makan siang kami di Safi Landmark ini adalah US$16 per orang, all you can eat. Restoran-restoran kelas atas ini kebanyakan mencantumkan harga dalam mata uang dolar Amerika, bukan afghani. Banjirnya uang dari mancanegara menyebabkan inflasi gila-gilaan di Afghanistan, dan semua dihargai dengan dolar. Ini hal yang sering terjadi pada tempat-tempat yang dibanjiri organisasi internasional, mulai dari NGO, PBB, USAID, dan banyak lagi. Aku pernah dengar sopir di Aceh pada saat tsunami bisa mendapatkan gaji di atas US$1.000 per bulan, jauh di atas standar gaji orang Indonesia. Di Kabul sekarang, banyak sopir organisasi internasional yang juga gajinya segitu.

Bagi kebanyakan orang, hidup sekarang lebih menggembirakan. Muhammad Daud, 30 tahun, mengatakan satu-satunya hal yang bagus pada zaman Taliban adalah semuanya murah. Harga sewa rumah dengan tiga kamar hanya US$15 sebulan, tetapi sekarang sudah ribuan dolar. Di bawah Taliban memang semua murah, tapi hidup penuh dicekam ketakutan. Pernah sekali dia mencukur jenggotnya, dan Taliban menjebloskan Daud ke penjara sampai berjam-jam, dan dicambuki. Ketika dia masih pelajar, dia pernah berjalan di jalanan tanpa memakai topi. Taliban menghentikannya dan menginterogasinya. Dia dimaafkan karena masih pelajar. Tapi banyak orang lain yang tidak begitu beruntung, dihukum dan harus menjalani “investigasi khusus” dari Taliban, hanya gara-gara tidak pakai topi.

Hidup memang pasti berubah. Apakah ini akan menuju ke arah yang lebih baik, atau lebih buruk, mungkin hanya waktu yang bisa menjawab.

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

Berbondong-bondong meninggalkan Afghanistan menuju Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Berbondong-bondong meninggalkan Afghanistan menuju Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Perbatasan Torkham di hari Jumat tidak seramai biasanya (AGUSTINUS WIBOWO)

Perbatasan Torkham di hari Jumat tidak seramai biasanya (AGUSTINUS WIBOWO)

Para tentara perbatasan Afghan (AGUSTINUS WIBOWO)

Para tentara perbatasan Afghan (AGUSTINUS WIBOWO)

Kantor imigrasi Afghanistan di perbatasan Torkham (AGUSTINUS WIBOWO)

Kantor imigrasi Afghanistan di perbatasan Torkham (AGUSTINUS WIBOWO)

Para penumpang dalam perjalanan menuju Kabul mengisap hashish beramai-ramai. (AGUSTINUS WIBOWO)

Para penumpang dalam perjalanan menuju Kabul mengisap hashish beramai-ramai. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pemilik l’Atmosphere adalah seorang pengusaha dari Prancis. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pemilik l’Atmosphere adalah seorang pengusaha dari Prancis. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kolam renang di tengah kegersangan Kabul. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kolam renang di tengah kegersangan Kabul. (AGUSTINUS WIBOWO)

Modernisasi menyeruak mengubah wajah kota Kabul. (AGUSTINUS WIBOWO)

Modernisasi menyeruak mengubah wajah kota Kabul. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bangunan-bangunan baru bermunculan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bangunan-bangunan baru bermunculan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kemewahan Safi Landmark. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kemewahan Safi Landmark. (AGUSTINUS WIBOWO)

Interior Hotel Serena, hotel bintang lima termahal di Kabul. (AGUSTINUS WIBOWO)

Interior Hotel Serena, hotel bintang lima termahal di Kabul. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*