Recommended

Selimut Debu 27: Hati-hati dengan Vaseline

 

Para pekerja tim pembersih ranjau bekerja di bawah terik matahari (AGUSTINUS WIBOWO)

Para pekerja tim pembersih ranjau bekerja di bawah terik matahari (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka adalah para pekerja yang setiap harinya bergaul dengan maut. Maut justru begitu dekat di tempat sesejuk dan sedamai ini.

Beberapa minggu lalu, kata pembersih ranjau, ada seorang penduduk yang rumahnya dekat dengan patung Buddha, terpaksa kakinya harus diamputasi karena menginjak ranjau yang terletak di antara patung Buddha Kecil dan patung Buddha Besar.

Baru setelah kejadian itu, diketahui bahwa daerah sekitar patung Buddha beranjau. Bukan sekadar beranjau, tapi heavily mined. Ranjaunya super banyak! Dan ini pun hanya diketahui baru-baru ini saja.

Segera, tim pembersih ranjau diberangkatkan ke sini dua minggu lalu, dan rencananya mereka akan bertugas di sini selama dua atau tiga bulan. Satu tim lain mengatakan, mereka mungkin akan meninggalkan Bamiyan besok, karena ada daerah lain yang juga beranjau di daerah utara ibukota Kabul, pembersihannya jauh lebih mendesak sehingga upaya pembersihan di Bamiyan harus dihentikan sementara. Manajemen yang kacau ini sangat lazim di negeri yang masih bergoyang seperti Afghanistan.

Sedangkan daerah yang di puncak bukit patung Buddha, tempat dulu aku bermain perang-perangan dan mengumpulkan suvenir sisa perang, adalah daerah yang teramat-sangat-super-duper bahaya. Sekarang para pengunjung sudah tidak boleh ke sana. Semua orang cuma boleh mengikuti satu-satunya jalan utama yang cukup lebar, tidak boleh berlarian ke arah rerumputan atau daerah di luar jalur, apalagi naik-naik ke puncak bukit atau menyusuri gua-gua dan relung-relung patung Buddha. Semua harus taat aturan ini, karena taruhannya adalah nyawa.

Dari mana ranjau-ranjau itu berasal?

Kata mereka, ini mungkin gara-gara badai salju, jadi ranjau yang ada di daerah perbukitan ikut terseret salju sehingga turun ke lembah, dekat dengan permukiman penduduk di Bamiyan. Daerah “bukit” yang dimaksud itu, aku duga, justru adalah puncak bukit patung Buddha, tepat di mana dulu kutemukan bekas markas tentara dengan banyak selongsong peluru dan rongsokan senapan. Daerah itu dulu telah ditanami ranjau oleh prajurit Rusia, lalu tentara Mujahiddin, dan disusul Taliban beberapa tahun sesudahnya. Korbannya sekarang adalah orang-orang Hazara di Bamiyan.

Lelaki pembersih ranjau ini begitu detil menjelaskan padaku tentang proyek mereka di sini. Dia mengaku sebagai seorang Tajik dari Kabul. Bahasa Inggrisnya fasih sekali. Selain bercerita tentang pembersihan ranjau, dia juga bercerita tentang tradisi Afghan yang sangat menarik.

Playboy semakin menjadi lazim dan legal di Afghanistan,” katanya.

Playboy? Jangan bayangkan majalah Playboy yang lagi gempar di Indonesia sekarang. Yang dia maksud dengan playboy adalah playing the boys, lelaki yang juga “main” dengan lelaki lain.

“Itu dalam bahasa Inggris disebut sebagai gay,” kataku.

“Tidak. Kamu salah. Yang benar adalah playboy,” katanya kukuh.

Terserah deh. Toh lelaki kurus berotot padat ini dengan bangga juga menyebut dirinya sebagai playboy, karena dia telah main dengan dua atau tiga bocah.

“Kamu sudah kawin?” tanyaku

“Iya, sudah,” jawabnya, “Tapi jangan kau salahkan aku. Kamu tahu, hidup sebagai pembersih ranjau di tempat seperti ini terlalu kering. Seks itu kebutuhan manusia, bukan?”

Aku tak menjawab.

“Jangan takut, aku punya Vaseline,” katanya.

“Vaseline? Buat apa?”

“Supaya tidak sakit. Percayalah, tidak sakit sama sekali.”

Aku baru sadar, vaseline itu adalah kata kunci dari para playboy Afghanistan. Ketika mereka bilang, di rumahku ada Vaseline, itu artinya mengajak tidur bersama.

Aku hanya membalasnya dengan kalimat standar ala Afghanistan, “Allah tobah, haram! Haram!” dan lelaki itu pun berhenti memancarkan sinyalnya padaku.

Aku bertanya, bukannya di sekelilingnya begitu banyak lelaki, dan para anggota tim pembersih ranjau ini semua lelaki.

Dia bilang, dia hanya tertarik pada bocah-bocah lelaki yang kurus dan berkulit mulus (sepertiku…).

Di balik tradisi ini, dia bercerita bahwa ini semua adalah gara-gara tekanan hidup dan seksualitas di negeri yang sangat konservatif. Lelaki Tajik ini bercerita, budaya playboy sangat umum di Kandahar (umumnya dihuni orang Pashtun), Mazar-e-Sharif dan Kunduz (yang dihuni orang Uzbek dan Tajik). Sangat sulit bagi para lelaki untuk bisa bersuka ria dengan para wanita.

“Kalau ada perempuan yang bodoh sekali sampai tidur dengan seorang lelaki, maka tidak ada lelaki lain yang sudi mengawininya. Jika dia menikah dan tidak ada darah di malam pertama, maka suaminya bisa jadi sangat marah dan bahkan mungkin akan mengembalikannya pada keluarga,” ujarnya. “Untungnya istriku berdarah di malam pertama. Kalau tidak, pasti akan kuhajar dia.”

Tipikal masyarakat patriarkal, keutamaan perempuan hanya dinilai dari keperawanannya. Tetapi, aku masih tidak habis pikir dia menyebut aktivitas playboy itu sudah dilegalkan, dihalalkan, dan bagus.

Lelaki Tajik ini bekerja sebagai dokter dalam tim pembersih ranjau. Menyapu ranjau adalah sebuah pekerjaan yang penuh risiko, bermain-main dengan maut pada setiap menit mereka berada di lapangan memindai daerah bahaya. Dibandingkan anggota tim lainnya, sebagai dokter, dia yang menghadapi risiko paling minim. Para anggota tim ini mendapatkan gaji sekitar 7.000 hingga 8.000 afghani setiap bulannya. Kata Abdul, seorang anggota tim orang Pashtun dari Kabul, ini semua adalah tentang iman, kepercayaan pada Allah, karena hanya Dia yang mampu melindungi umat-Nya.

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

Ini adalah pekerjaan yang bersinggungan dengan maut (AGUSTINUS WIBOWO)

Ini adalah pekerjaan yang bersinggungan dengan maut (AGUSTINUS WIBOWO)

Dokter bagi para penyapu ranjau (AGUSTINUS WIBOWO)

Dokter bagi para penyapu ranjau (AGUSTINUS WIBOWO)

Peralatan pendeteksi ranjau (AGUSTINUS WIBOWO)

Peralatan pendeteksi ranjau (AGUSTINUS WIBOWO)

Daerah sekitar Buddha Bamiyan masih berisiko tinggi. (AGUSTINUS WIBOWO)

Daerah sekitar Buddha Bamiyan masih berisiko tinggi. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

4 Comments on Selimut Debu 27: Hati-hati dengan Vaseline

  1. Salam kenal mas Agus. Apakah Anda masih berbackpacker atawa sudah di Indonesia? Di kampung kita, Lumajang itu ada situs peradaban Majapahit yg kronikal sekali. Tp kayaknya baru skrg kabupaten ini punya dinas pariwisata&purbakala. Apakah Anda tertarik untuk coba ikut mendorong pihak pemerintah u/ eksplorasi? Rasanya menarik kalau Anda coba ikut andil di situ. Tks

  2. who knew there is a strong legion of ‘playboys’ in afghanistan?

    it is disturbing to know even married men succumb to this haram relationship.

  3. Syok baca artikelnya 🙂 di Afghanistan gay itu legal & halal & umum ? they call playboy ? & wanita diperlakukan segitunya ?

  4. Gay haram

    Tapi dianghaonya klo ama boy itu wajar -_-

    Baca ttg bacha baz itu bahasa afghannya playboy

    (Ane hoeeekkk,geblek biasanya sih org2 north frontier allies tuh)

    Klo pas taliban mah buuhhh haram

Leave a comment

Your email address will not be published.


*