Recommended

Selimut Debu 29: Mengapa Harus Sembunyi?

Bamiyan yang sederhana ini sesungguhnya penuh lika-liku. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bamiyan yang sederhana ini sesungguhnya penuh lika-liku. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pertanyaannya, di mana Hadi Ghafari? Suasana di Radio Bamiyan begitu mencurigakan.

Matahari sudah hampir gelap ketika kami sampai di kantor radio. Begitu kami tiba, Irfan si penyiar langsung berusaha mendorongku ke halaman, untuk menghalangiku agar tidak masuk ke kantor. Begitu ramah, berlebihan malah, dia menyambutku dengan kata berbunga-bunga, yang justru membuatku makin curiga.

“Kantor dikunci, Hadi sudah berangkat ke Kabul, jadi kamu tidak bisa masuk,” begitu katanya berulang kali.

Aku masuk ke ruang siaran radio. Aku mendengar suara siaran berita, dan jelas-jelas itu suara Hadi. Bukankah Hadi sudah ke Kabul? Bagaimana mungkin dia siaran?

“Oh, itu rekaman kemarin,” kata Irfan.

“Kalau kemarin, bukan berita lagi dong namanya, tapi sejarah,” sanggahku.

Irfan manggut-manggut. Sementara Zaffar, bocah belasan tahun yang bekerja di radio, mengeluhkan betapa sulitnya hidup sepeninggal Hadi ke Kabul. Ruangan kantor Hadi ternyata memang tidak dikunci (seperti yang kuduga), tapi komputernya dikunci dengan password, sehingga tidak bisa digunakan.

Tanpa ba-bi-bu bertele-tele, Akbar langsung menerjang masuk ke kantor. Dia tidak perlu menghadapi prosesi rumit dengan para bocah ini. Dia tak peduli. Dia bergegas masuk ke ruangan kecil di samping kantor, dan kudengar suara bercakap-cakap yang cukup keras.

Suara Hadi!

Tiba-tiba, bersama Akbar yang melangkah keluar dari ruangan kecil itu, meloncat pula Hadi, menghambur ke hadapanku.

Dia sibuk bicara sendiri.

Oh, tadi pagi tidak jadi berangkat ke Kabul. Oh, tadi dikontak Bu Gubernur Bamiyan untuk meliput kegiatan besok lusa. Oh, bukan maksud apa-apa dan tidak ada yang berbohong padamu.

Serentetan alasan demi alasan digelar dan dijejer tanpa ada yang meminta. Hadi memasang seringai di wajah. Tidak, tidak ada yang salah, tidak ada yang berbohong, dan aku masih dianggap tamu.

“Menginaplah di sini, selama apa pun yang kaumau, ini adalah rumahmu,” katanya ketika aku pertama kali datang dua hari lalu. “Menginaplah di sini, selama apa pun yang kaumau, ini adalah rumahmu,” katanya lagi padaku, hari ini, setelah semua intrik skenarionya tersibak.

Buat aku sekarang kalimat ini seperti rumus baku yang diucapkan dalam setiap suasana, kepada siapa pun, dan adalah kesalahan bagi siapa pun pendengar yang terlalu memasukkannya ke hati.

Komputer tidak dikunci password. Internet pun bekerja normal. Buat apa tadi Zaffar bilang betapa susahnya hidupnya karena tidak bisa main komputer dan internet? Jelas juga kalau Irfan tadi berusaha keras untuk mencegahku masuk kantor, supaya memberi cukup waktu buat Hadi untuk bersembunyi di ruang kecil.

Ruangan kantor sekecil ini begitu penuh dengan intrik dan drama.

Aku sungguh merasa tidak nyaman. Kalau mereka memang tidak mau menampungku menginap di kantor ini, mengapa tidak mengatakan dengan terus terang? Atau dengan alasan lain yang lebih simpel? Toh aku juga mengerti. Tidak perlu bermain drama dengan skenario yang serumit dan semelelahkan ini.

Sepulang dari kantor radio itu, Akbar bercerita padaku bahwa dia pun tidak pernah mempercayai orang-orang itu. Dia ke kantor itu hanya karena ada urusan. Itu saja.

Radio itu, kata Akbar, sangat kacau balau, tidak ada acara selain memutar lagu-lagu koleksi pribadi yang dimainkan dari Windows Media Player. Pernah suatu hari dia menyusun proposal untuk meningkatkan kualitas siaran, Hadi malah memintanya untuk membayar kalau ingin proposal itu dilaksanakan.

Segala sesuatu memang tidak sesimpel yang terlihat. Tidak ada yang benar-benar gratis di sini, dan aku pun tidak yakin proposal yang diberikan oleh Akbar kepada Radio Bamiyan mutlak tulus tanpa kepentingan.

Terlalu banyak taktik, terlalu banyak skenario. Mereka terlalu cerdas, terlalu rumit, terlalu penuh liku-liku.

Akbar, Hadi, Irfan, bahkan si bocah kecil Zaffar, semua orang ini tidak sesederhana yang semula kubayangkan.

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

4 Comments on Selimut Debu 29: Mengapa Harus Sembunyi?

  1. menunggu sambungannya…. 🙂

  2. jaga ujian,pas siswa anteng.Saya buka selimut debu, bagian “Kandahar” Negeri yg harusnya elok. Masih penasaran dg jubah suci -_-

  3. Buku pertama tlah d baca…. d tungg lanjutannya ya…

  4. Henpriadi koto // August 20, 2021 at 2:21 pm // Reply

    Kalau berhadapan dgn orang afganistan, khususnya Hazara mmg hrs hati2…politiknya ngeri….

Leave a comment

Your email address will not be published.


*