Recommended

Selimut Debu 31: Perjalanan Hazara

1.Foto raksasa pahlawan Hazara dalam perang Mujahiddin menghiasi langit Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Foto raksasa pahlawan Hazara dalam perang Mujahiddin menghiasi langit Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO)

“Indonesia? Aku tahu Indonesia! Jawa, Bali, Roti!” seru lelaki Hazara di pondok kayu bobrok di pinggir pasar utama Bamiyan ini begitu aku menyebut asal negaraku.

Ramazan mengejutkan aku dalam dua hal.

Pertama, dia adalah lelaki yang berasal dari pedalaman Afghanistan di tengah pegunungan tinggi yang cukup terpencil. Tidak banyak orang Afghan yang benar-benar tahu apa atau siapa itu Indonesia. Sejumlah orang Afghan yang kutemui malah mengira Indonesia itu adalah kota kecil di dekat London. Atau negara pecahan Uni Soviet. Atau negara mungil lagi miskin di pedalaman Afrika.

Kejutan kedua, Ramazan bahkan tahu tentang Roti, sebuah pulau kecil nun jauh di pelosok kepulauan Indonesia, yang tentunya banyak orang Indonesia sendiri pun tidak tahu pasti di mana itu letaknya.

Ramazan ternyata bukan cuma tahu tentang Roti. Dia pernah tinggal di sana. Bukan sebagai pengunjung short time sepertiku di Afghanistan sekarang ini, Ramazan tinggal di Roti sampai 14 bulan dari tahun 2001 sampai 2002. Selain Roti, ternyata Ramazan pernah tinggal di Jakarta dan Bali.

Ini bukan jalan-jalan piknik suka-suka. Perjalanan Ramazan adalah menembus gunung dan bukit-bukit berdebu, bersembunyi dari terjangan peluru dan kemelut perang, lalu menyelundup dari negeri yang satu ke negeri yang lain, sampai akhirnya terkatung-katung di atas perahu di tengah samudra luas, ditangkap tentara, dan “dipenjara” di pulau terpencil Indonesia, yang sama sekali bukan cita-citanya.

Bersama 240 pengungsi lainnya, Ramazan berangkat untuk menggapai sebuah mimpi: kehidupan yang lebih baik di sebuah negeri modern. Entah itu Australia, atau Amerika, atau Skandinavia. Yang penting adalah hidup yang lebih baik. Bukan hidup di tengah ketakutan selama konflik berdarah tanpa henti, atau dikejar-kejar dan dibantai Taliban hanya karena ras yang berbeda. Ramazan tidak segan mengeluarkan uang berapa pun yang dia punya demi mimpinya itu. Mulai dari 5.000 afghani untuk menyelundup ke Karachi, lalu ongkos perahu gelap seharga US$ 700 per orang menuju Malaysia. Jalur bahaya berikutnya adalah dari Malaysia menuju Indonesia.

Roti dalam benak kebanyakan orang Indonesia termasuk aku adalah tempat yang sangat terpencil, terbelakang, miskin. Tapi buat Ramazan, Roti adalah “surga”. Banyak toko, banyak orang dari berbagai agama yang hidup bersama, banyak gadis bertebaran di mana-mana, pengungsi dari China (mungkin maksud Ramazan adalah orang-orang Tionghoa keturunan perantau hoakiao?), dan juga listrik. Yang disebut terakhir ini masih adalah barang mewah di negerinya.

Tapi, setelah tinggal di sini, barulah dia semakin yakin, Roti bukanlah “surga”. Surga apa itu kalau dia tidak bisa makan? Di Roti tidak ada roti! Cuma nasi, nasi, dan nasi. “Aku tidak bisa makan nasi,” kata Ramazan, “tidak ada makanan enak di Indonesia. Seberapa pun parahnya perang dan kemiskinan di Afghanistan, tetap itulah negeri yang paling nyaman.

Kebanyakan pengungsi Afghan seperti Ramazan tidak mencoba membaur dengan masyarakat setempat. Setahun lebih dia tinggal di Indonesia, dia tidak bisa bahasanya sama sekali selain kata “berapa?”. Dia juga tidak bisa bahasa Inggris. Masalah bahasa ini membikinnya tidak bisa dapat kerja. Untunglah dia punya kerabat yang merupakan pengungsi sukses—berhasil jadi penduduk permanen di Australia—dan rajin mengiriminya uang supaya bisa tetap bertahan hidup di Indonesia.

Pulang adalah jalan yang harus ditempuh pada akhirnya. Menghadapi realita Afghanistan adalah menghadapi berbagai pilihan yang semuanya sama buruk. Dia benci Rusia, dia tidak suka Mujahiddin, dan dia tidak pernah jatuh cinta pada Komandan Massoud, Dostum, apalagi Taliban. Tidak juga ada simpati pada presiden sekarang, Hamid Karzai.

“Bukankah sekarang hidup sudah lebih baik?” tanyaku, “Sekarang di Bamiyan sudah banyak toko dan bisnis yang berjalan.”

“Itu tidak ada hubungannya dengan pemerintah,” bantah Ramazan, “Itu semua adalah jerih payah kami sendiri. Karzai tidak pernah melakukan apa-apa buat kita di sini. Kamu lihat sendiri, ini sudah tahun berapa, sudah abad berapa, dan kita masih tidak punya listrik juga di sini!”

Setidaknya Bamiyan sudah punya universitas. Tidak jauh dari reruntuhan patung Buddha, ada asrama yang dihuni oleh para mahasiswa Universitas Bamiyan. Aku diundang masuk oleh para pemuda Hazara yang mengambil jurusan manajemen dan bahasa Inggris.

Asrama ini cukup lapang dan bersih, dihuni oleh 12 mahasiswa yang tinggal dalam satu ruangan. Mereka juga memasak di dalam ruangan. Walaupun mengambil jurusan bahasa Inggris, kemampuan bahasa Inggris mereka teramat terbatas. Mereka bicara bahasa Farsi saja, dan untungnya juga bisa sedikit bahasa Urdu (seperti lazimnya di Afghanistan karena banyaknya pengungsi yang pernah hidup di Pakistan), sehingga aku tetap bisa berkomunikasi dengan mereka.

Para mahasiswa Hazara ini punya perawakan yang sangat Mongoloid. Sungguh mudah bagiku untuk akrab dengan mereka, karena perawakanku yang juga Mongoloid—mata sipit dan hidung pesek. Orang-orang Hazara adalah penganut Islam Syiah, merupakan suku bangsa Afghan yang paling sering ditindas oleh Taliban yang Sunni. Taliban membantai banyak orang Hazara. Taliban juga datang ke Bamiyan, meledakkan patung-patung Buddha kebanggaan penduduk lokal hanya karena dalil bahwa patung-patung ini adalah berhala. Walaupun orang-orang Hazara ini bukan Buddhis, namun mereka percaya adalah nenek moyang mereka yang membangun patung-patung Buddha peninggalan luhur peradaban Afghan ini.

Tidak heran, mereka sangat benci Taliban.

“Mereka tidak menganggap kami manusia,” kata seorang mahasiswa. “Mereka mau bunuh kami semua,” kata mahasiswa yang lain.

Banyak orang Indonesia yang mengira Taliban adalah pahlawan Afghanistan. Pahlawan Islam. Pahlawan perlawanan orang Afghan terhadap kekuatan asing yang mencabik-cabik negeri mereka.

“Tidak! Itu tidak benar!” seru mahasiswa Bamiyan. “Justru Taliban itu adalah orang luar yang mau menghancurkan negeri kami. Mereka itu orang-orang Pakistan!”

Para mahasiswa itu menunjukkan padaku, orang-orang Hazara selalu hidup religius dan mencintai kedamaian. Perempuan Hazara bebas bepergian dan belajar ke sekolah. Kebanyakan mereka hanya memakai kerudung, bukannya burqa yang menutup wajah dan membutakan mata.

Salah satu tanda religius, kata mahasiswa-mahasiswa itu, adalah para perempuan Hazara tidak mau difoto. Fotografi bagi wanita adalah dosa.

Aku jadi teringat teman baikku, seorang perempuan Malaysia bernama Lam Li yang juga sedang bertualang seorang diri di Afghanistan, pernah bercerita bagaimana dia menghadiri pesta perkawinan Hazara yang begitu memesona. Lusinan perempuan dengan bedak dan gincu menor di wajah, baju-baju panjang warna-warni yang gemerlap, suara bisik-bisik dan atmosfer yang seperti melemparkan dirinya ke masa ribuan tahun silam. Tapi tuan rumah langsung mewanti-wantinya untuk sama sekali tidak menggunakan kamera. Sama sekali!

Hadi Ghafari dari Radio Bamiyan pernah berkata padaku, “Orang Hazara tidak mengizinkan perempuannya dilihat lelaki lain, apalagi difoto. Itu tandanya kami religius!”

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

2.Hampir semua penduduk Bamiyan pernah menjadi pengungsi karena perang. (AGUSTINUS WIBOWO)

Hampir semua penduduk Bamiyan pernah menjadi pengungsi karena perang. (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Di pasar inilah Ramazan menceritakan masa lalu pengungsiannya di Indonesia. (AGUSTINUS WIBOWO)

Di pasar inilah Ramazan menceritakan masa lalu pengungsiannya di Indonesia. (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Persahabatan dua tentara muda dari Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Persahabatan dua tentara muda dari Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Asrama para mahasiswa di Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Asrama para mahasiswa di Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

8 Comments on Selimut Debu 31: Perjalanan Hazara

  1. Di tunggu cerita petualangan berikut nya ya…

  2. Sepertinya saat ini sdh mulai banyak org indonesia yg tau kalau taliban itu enggak bener. Tp msh ada pula yg berusaha utk membelanya.

  3. Tapi menurut saya TALIBAN tetap The best……. Buktinya Rakyat Afghanistan 90% menginginkan Taliban memimpin mereka. sampai pada Akhirnya Amerika tidak menginginkan Islam bersatu dan Maju di Afghanistan yang sekarang hanya sebagai negara boneka nya amerika akibat HAMID KARZAI.

  4. Thaliban bagaimanapun jauh lebih baik dari rezim boneka Amerika dan NATO,,, Thaliban lebih punya harga diri…

  5. ainun_medan // April 11, 2014 at 1:37 pm // Reply

    Cerita ini sungguh mengingatkan aku pada seorang sahabat yg saat ini tinggal di Australia. Dan perjalanan hidupnya persis sama seperti Ramazan. Aku jadi rindu padanya, Shehzad Husein.

  6. ternyata Taliban kejam dan tidak islami. Apa kesalahan suku ini sehingga harus dibantai oleh Taliban? Aku jadi merenungkan cerita novel the Kite Runner, benar ya ada pembantaian massal pada suku Hazara.

  7. anehnya, kenapa pengungsi Afganistan di indonesia adalah pemeluk syiah semua dari suku Hazara?. Kabarnya mereka suka berbuat maksiat.

  8. Henpriadi koto // August 20, 2021 at 4:09 pm // Reply

    Mas agustinus bukan seorang muslim, jadi dia tidak tahu kesalahan suku hazara dari sudut pandang taliban yg sunni…taliban menganggap hazara ini bangsa ngeyel, yg menyelewengkan ajaran agama islam dari pakemnya….

Leave a comment

Your email address will not be published.


*