Recommended

Selimut Debu 36: Kegelapan Sempurna

Andaikan aku punya uang sebanyak ini. (AGUSTINUS WIBOWO)

Andaikan aku punya uang sebanyak ini. (AGUSTINUS WIBOWO)

Di tengah kekalutan dan kegelapan sempurna seperti ini, langkahku terhenti oleh tentara yang mencurigaiku sebagai teroris.

Keamanan di Bamiyan termasuk sangat bagus, tapi malam-malam begini jalan sunyi senyap. Siapa pula orang yang berkeliaran di jalanan pada saat seperti ini? Malam adalah waktu untuk meringkuk di rumah. Seperti sejak zaman invasi Soviet, jam malam masih berlaku di Bamiyan. Setelah matahari terbenam, jangan berada di mana-mana selain di dalam rumah.

Tentara itu, yang kulihat hanya bayang-bayang gelap mengeluarkan suara, mulai menanyaiku ini dan itu. Aku cuma ingin segera pergi dari hadapannya.

Aku berada dalam kondisi mental di mana ratusan kata-kata mengalir begitu saja dari mulutku. Semua dalam bahasa Inggris. Tanpa logika. Bahkan aku pun tak tahu bicara apa.

I have no money… you know, someone stole my money. I don’t know how to survive… I don’t know what to do… I have to return to Kabul, but how can I go there? I… I… You know what you are doing? You just add my problem. I am afraid, I am angry, how can I survive in Afghanistan? Help me… help me… Sir, let me go. I go… I now…

Tentara itu mungkin terkejut mendengar rengekanku yang membanjir dalam bahasa asing. Dia tiba-tiba terdiam. Tanpa memeriksa paspor, dia hanya berseru, “Boro! Pergi sana!!!”

Semakin larut, langit semakin gelap. Tak ada lagi yang tampak kecuali jalan setapak. Senter kecilku sama sekali tak guna. Aku berkali-kali salah belokan. Tersesat dalam kegelapan, terdampar di tengah bukit-bukit cadas dan barisan pohon tinggi. Rasanya seperti ada hantu yang membungkus seluruh penjuru, membutakan mataku. Aku hilang arah.

Aku hanya melangkah maju dan maju. Rasanya aku sudah semakin dekat dendang dinding bukit cadas tempat gua-gua Buddha. Dan ketika aku mendongak, blar…. di hadapanku memang ada dinding batu begitu tinggi sampai ke angkasa. Di siang hari, bukit cadas patung Buddha memang sungguh cantik memesona. Tapi di malam hari, dia bagaikan raksasa seram yang siap melumat.

Dingin. Ini adalah malam-malam biasa di Bamiyan yang dingin menusuk. Pipiku basah. Entah keringat dingin, entah air mata, aku tak tahu lagi. Tak peduli pula. Aku hanya bisa melangkah, meraba-raba arah.

Anjing menggonggong, melolong-lolong, membentakiku dengan suara berderu-deru.

FUCK YOU! Shut up!!!” aku mengumpati hewan besar yang biasanya kutakuti itu.

Semakin aku berjalan, semakin asing daerah di sekelilingku ini. Aku telah mencoba semua jalan setapak yang mungkin, tapi ini sungguh seperti berjalan di tengah padang luas dengan mata tertutup. Dan jangan lupa pula, ranjau!

Aku melangkah mundur, menyusuri kembali semua jalan yang tadi kulalui. Hingga aku kembali lagi ke jembatan di pinggir jalan utama Bamiyan. Ternyata aku sudah salah langkah sejak di sini. Di jalan bercabang tiga, seharusnya aku mengambil yang tengah, tapi aku justru mengambil yang paling kiri. Pasti gara-gara pikiran galau, otak pun tidak bekerja sempurna.

Dalam gelap ini aku bahkan tidak bisa melihat jam. Aku tidak tahu pasti, berapa jam aku tersesat. Paling tidak ada dua jam.

Pintu kayu berat di hadapanku bergeser. Dengan senternya, Qurban menyoroti wajahku. Semua orang sudah tidur, katanya dengan suara berbisik, dengan nada menyalahkanku datang semalam ini.

Di kamar gelap, Ayatullah duduk bersila. Tangan kanannya terus memutar tasbih. Ia menyalakan senternya, yang menjadi sedikit penerang di tengah kegelapan.

“Pasti orang-orang Tajik itu,” katanya, masih dalam bahasa Urdu yang salah semua tata bahasanya. “Pasti dua orang itu duduk mengapitmu, mengajak kamu bicara dan kamu hilang kesadaran.”

“Bagaimana kamu tahu? Kamu sama sekali tidak kenal mereka,” sanggahku.

“Aku tahu,” ia terkekeh, “Aku tahu…”

Seperti paduan suara, tiga orang di ruangan ini—termasuk Qurban, bercerita tentang kebodohanku yang berakrab-akrab dengan para orang Tajik. Aku mendengar ratusan kalimat dengan formula “Tajik begini”, “Tajik begitu.”

Di hadapan bahaya serius menjelang bangkrut, aku tak mau ambil pusing. Aku menarik selimut tebal yang disiapkan Qurban, membenamkan diri rapat-rapat dan memejamkan mata.

“Jangan khawatir. Orang asing ini punya cukup uang di dompetnya untuk pulang ke Kabul. Dia pasti bisa ke Kabul,” Ayatullah menutup perbincangan malam.

Senter dimatikan. Selimut-selimut ditarik. Gemeresiknya mengawali kegelapan yang hening.

Seperti halnya diriku, Ayatullah adalah tamu di sini. Demikian juga dua pria Hazara lainnya. Yang benar-benar penghuni hanyalah Qurban si pelayan kecil yang masih belasan umurnya. Di antara keempat orang ini, menurut perhitunganku, Qurbanlah yang paling punya kesempatan. Aku pernah meninggalkan rompiku di atas matras sementara aku pergi mandi dan berbincang-bincang dengan Ayatullah di kebun, sedangkan Qurban sibuk membersihkan kamar. Pernah juga aku menaruh rompi itu di dalam tas ransel, dan meninggalkannya begitu saja di kamar.

Semua kejadian ini sebenarnya adalah salahku sendiri—terlalu percaya pada perlindungan tuan rumah. Aku juga berdosa, kecerobohanku memberi kesempatan orang lain jadi pencuri.

Detik demi detik berlalu begitu lambat, aku tak juga lelap. Bahkan bunyi setiap putaran jarum arlojiku terdengar begitu jelas.

Tapi aku tak sendiri. Ada embusan napas lain yang tak beraturan, merusak simfoni dengkur orang-orang Hazara yang terlelap dalam gelap.

Itu suara napas Qurban.

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

“Pasti orang-orang Tajik itu pelakunya!” kata mereka. (AGUSTINUS WIBOWO)

“Pasti orang-orang Tajik itu pelakunya!” kata mereka. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Selimut Debu 36: Kegelapan Sempurna

  1. chichi seuri // January 9, 2016 at 11:07 pm // Reply

    Ya ampun..mas agus kasian amat sih di kisah ini…kebayang pas jalan malem2, udara dingin menusuk, pikiran kacau..

Leave a comment

Your email address will not be published.


*