Recommended

Selimut Debu 42: Zona Perang

Di zona perang, ada sebuah kebijaksanaan yang harus kita ingat: tempat yang paling aman justru adalah tempat yang paling tidak aman.

Saat berada di Kandahar, ingatlah jangan nongkrong di dekat polisi atau tentara. Pada tanggal 3 Juli 2006, di sepanjang jalan pusat perbelanjaan utama di Kandahar, yaitu di daerah kota baru (Shahr-e-Nao) di barat Perempatan Syahid (Shahidan Chowk), tiga orang pemotor menembaki jalanan secara acak. Ya, memuntahkan tembakan begitu saja ke berbagai arah, seperti anak kecil yang menembakkan pistol airnya sembarangan. Mereka sebenarnya menarget polisi, tapi penembakan liar ini bisa membunuh siapa saja yang sedang apes berada di jalanan.

Untunglah, penembakan acak ini tidak membunuh siapa-siapa, dan para pelaku berhasil diringkus saat itu juga.

Sesudah aksi penembakan, tidak perlu juga 10 menit, kehidupan di jalan itu sudah kembali normal. Para fotografer di pinggir jalanan Kandahar yang nongkrong sepanjang hari untuk menunggu pelanggan membuat foto identitas dengan kamera kuno mereka yang sudah berabad usianya, kini sudah kembali lagi melanjutkan pekerjaan mereka, seolah tidak terjadi apa-apa.

Pepatah Inggris bilang, rasa ingin tahu bisa membunuh kucing. Di Kandahar, rasa ingin tahu bisa membunuhmu begitu saja. Apalagi kalau yang ingin kau ketahui adalah bom.

Ini sudah sering terjadi. Bom meledak. Seketika datanglah pasukan mau tahu yang berkerumun di sekeliling lokasi. Begitu ramai orang, maka meledaklah bom kedua di tempat yang sama. Dan semakin banyaklah orang yang menjadi korban sia-sia.

Modus seperti ini sudah kita saksikan ketika bom meledak di Kuta, Bali pada 12 Oktober 2002. Di Afghanistan juga sudah berulang kali. Tapi orang seperti tidak pernah belajar. Setiap ledakan seketika menyedot begitu banyak perhatian massa tanpa dosa, yang kemudian juga meregang nyawa karena ledakan kedua, ketiga, ….

Masih juga, sesudah kejadian seperti ini, segera hidup pun kembali normal, seketika, seolah tidak ada sesuatu penting yang telah terjadi.

Tapi sesungguhnya, sesuatu memang telah terjadi.

Keamanan di Kandahar yang mencekam membuat para jurnalis yang berbasis di Kandahar tidak berkeliaran mencari berita di jalanan. Kebanyakan dari mereka, jurnalis lokal Afghan yang bekerja untuk kantor berita besar seperti AP, BBC, AFP, dan Pajhwok, menggunakan Hotel Noorjahan di daerah Kota Baru sebagai basis kegiatan mereka. Bagi mereka sudah tidak terlalu esensial mengorbankan nyawa untuk meliput kejadian seperti ini, karena bom atau penembakan di Kandahar sudah bukan berita penting lagi. Tinggal di hotel, berbagi berita dari jurnalis lain dari kantor berita lain, membuat konfirmasi dengan menelepon kantor polisi dan kantor pemerintah, sudah cukup. Ini yang di Indonesia kita kenal sebagai warnet (wartawan internet) dan wartel (wartawan telepon). Ini semua karena buruknya keamanan di Kandahar. Dan ingat, di kota ini, mendengar berita bom seperti mendengar berita maling ayam di negeri kita.

Di dunia ini mungkin hanya Irak yang lebih berbahaya daripada Kandahar dan Afghanistan Selatan.

Target utama dari berbagai serangan ini adalah orang asing, pemerintah, dan juga warga setempat yang bekerja untuk organisasi asing. Banyak organisasi yang menarik diri dan menghentikan kegiatannya di daerah ini karena buruknya keamanan. Sedangkan semua organisasi yang bertahan terlepas dari dahsyatnya ancaman yang ada akan sungguh-sungguh mendengar informasi dan panduan keamanan yang dikeluarkan oleh ANSO dan UNAMA, badan PBB yang bertanggung jawab untuk keamanan di daerah ini (utamanya keamanan orang asing dan organisasi asing).

Misalnya, ANSO akan selalu mengingatkan berbagai organisasi dan stafnya untuk selalu mengganti rute perjalanan mereka saat bepergian di dalam kota, sehingga rutinitas perjalanan tidak menjadi incaran teroris yang menyerang. Ketika ANSO mengatakan keadaan hari ini tidak aman dan semua staf harus tinggal di dalam kantor atau rumah, maka semua staf NGO akan menyebarkan informasi ini dengan segala metode komunikasi yang mungkin (email, SMS, telepon, mulut ke mulut, …) kepada siapa pun yang berkepentingan.

Peringatan bukanlah kutukan. Sesuatu bisa saja terjadi, atau mungkin juga tidak ada kejadian apa-apa sama sekali.

Seperti hari ini, 9 Juli 2006, ada peringatan dari ANSO yang mengatakan bahwa “sesuatu” mungkin akan terjadi.

Mereka tidak menjelaskan apakah “sesuatu” itu. Dan informasi yang tidak lengkap seperti ini yang justru lebih mencekam.

Sehari sebelumnya, Jumat 8 Juli 2006, polisi baru saja menangkapi semua Talib, pelajar agama, mulai dari anak-anak sampai orang tua, dari semua madrasah yang ada di Kandahar. Semua pelajar ditangkapi, tidak peduli apakah mereka melakukan tindak kriminal atau tidak. Penangkapan random seperti ini, yang tanpa memedulikan siapa yang bersalah siapa yang tidak, hanya akan menimbulkan kebencian yang semakin mendalam kepada para “petugas keamanan” (yang justru menciptakan ancaman keamanan).

Demi mematuhi anjuran ANSO, dan utamanya demi menjaga keselamatan kami sendiri, kami semua meringkuk manis di homebase masing-masing. Menunggu tanpa kegiatan di tengah panasnya Kandahar (50 derajat, dan tanpa listrik, Taliban baru sama merusak instalasi listrik di dekat kota) sungguh menyiksa.

Pagi, tidak ada berita.

Siang, tidak ada berita.

Sore, tidak ada berita.

Bahkan hingga malam, ketika akhirnya angin malam mulai berembus mengusir panas membakar sepanjang hari, masih juga tidak ada berita. Hari ini telah berlalu dengan damai.

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Fotografer jalanan dan kamera kesayangannya. (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Fotografer jalanan dan kamera kesayangannya. (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Kamera kotak masih cukup populer di Kandahar (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Kamera kotak masih cukup populer di Kandahar (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Kamera juga berfungsi sebagai portofolio si fotografer (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Kamera juga berfungsi sebagai portofolio si fotografer (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Persimpangan Para Martir, alias Shahidan Chowk (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Persimpangan Para Martir, alias Shahidan Chowk (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Jalanan sempat lengang pasca penembakan (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Jalanan sempat lengang pasca penembakan (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Selimut Debu 42: Zona Perang

  1. awesome..agustinus i love you..

Leave a Reply to Andri Rlynn Cancel reply

Your email address will not be published.


*