Recommended

Selimut Debu 46: Gerakan Bawah Tanah

Mereka bukanlah kaum perempuan Afghanistan yang pasif menerima keadaan dan tradisi. Sejak lama, perjuangan mereka adalah revolusi berbahaya.

Nama RAWA (Revolutionary Association of Women in Afghanistan) telah menjadi legenda, atau bahkan momok bagi banyak orang. Organisasi ini didirikan tahun 1977, hanya setahun sebelum invasi Rusia, dan selalu dalam bentuk organisasi bawah tanah, komunitas rahasia di Afghanistan. RAWA tidak punya kantor di Kabul, para anggotanya bahkan tidak mengenal satu sama lain.

Untuk bertemu anggota RAWA sungguh tak mudah. Aku harus menghubungi kantor pusat RAWA di Quetta, Pakistan. Setelah korespondensi cukup lama, akhirnya mereka memperkenalkanku pada Panveen via email. Nama Panveen ini pun sangat mungkin bukan nama sebenarnya. Aku dan Panveen membuat janji melalui telepon, dan bertemu di sebuah sudut jalan yang agak jauh dari pusat kota Kabul, ke arah utara.

Panveen datang dengan seorang temannya. Keduanya mengenakan hijab, tetapi hidung dan mulut mereka tertutup, hanya sepasang mata yang kelihatan. Panveen kemudian berjalan tergesa-gesa menyusuri gang kecil. Aku mengikutinya. Pada setiap langkah, dia selalu melongok ke kiri dan ke kanan, takut diikuti.

Rumah itu adalah rumah pribadi, gelap dan kosong, punya seorang teman mereka. Panveen mengembus napas lega ketika kami berhasil masuk ke dalam bangunan, lalu menutup pintu rapat-rapat. Dua perempuan, membawa seorang tamu lelaki asing ke dalam rumah—kalau pada zaman Taliban ini dosa yang bisa dihukum rajam. Sekarang, walaupun bukan tindak kriminal, cukup membahayakan keselamatan Panveen sebagai aktivis organisasi terlarang.

Panveen membawaku ke loteng. Dia kikuk, bahasa Inggrisnya terbata-bata. Tapi dari kosakata yang terbatas itu bermunculan ide-ide kuat: sekularisme, pembebasan, revolusi, kemerdekaan, hak perempuan, antifundamentalisme. Semua kata itu mengalir fasih dari bibir tipis Panveen.

RAWA masih diharamkan di Afghanistan. Tetapi RAWA sudah mendapat dukungan luas komunitas internasional. RAWA menyebarkan informasi dan propaganda melalui situsnya, artikel berbagai jurnalis internasional, dan juga figur tokoh pendirinya yang legendaris, Meena, yang sudah tewas dibunuh.

Ketika tren LSM mengusung hak perempuan merebak bak cendawan di musim hujan di Afghanistan untuk meraup dana miliaran dolar dari para donor di Barat, RAWA tetap memilih sebagai organisasi bawah tanah. Tapi RAWA bukan tidak terlihat, tidak terdengar, tidak terasakan. Kenyataannya, RAWA masih merupakan salah satu organisasi perempuan yang paling kuat di Afghanistan. Hanya saja, tidak seorang pun yang tahu bagaimana wujud rupanya, atau siapa-siapa saja anggotanya. Seperti hantu yang merongrong kekuasaan pemerintah.

RAWA bukan cuma berkutat soal kesejahteraan perempuan. RAWA punya agenda politik yang jelas: melawan pemerintah. RAWA bahkan punya penerbitan buletin yang berisi edukasi politik bagi perempuan. Karena dilarang, RAWA menyamar dalam banyak bentuk kerja sosial, seperti menyediakan kelas membaca bagi para perempuan, atau tampil dalam wujud organisasi lain. Panveen bilang, “Sepanjang yang kita layani adalah kepentingan perempuan, nama apa pun tidaklah penting.”

Sejak didirikan RAWA sudah antipemerintah. Pertama kali dulu, mereka melawan Rusia. Dalam pemerintahan komunis ada jaminan bagi pendidikan dan status sosial perempuan. Pemerintah komunis bahkan melarang jilbab dan burqa. Lelaki dan perempuan pergi ke sekolah bersama. Foto-foto kuno menunjukkan para gadis Afghan pada masa itu memakai kaus tanpa lengan, berambut tergerai bebas, tertawa lepas memenuhi jalanan kota Kabul. Walaupun demikian, bagi RAWA komunis tetaplah musuh. “Karena mereka adalah penjajah,” kata Panveen, “dan hanya di kota-kota besar saja pendidikan terhadap perempuan dihargai.” Panveen justru menuding, penjajahan oleh komunis itulah yang menjadikan Afghanistan semakin fundamentalis, sebagai wujud perlawanan.

Tentunya, RAWA juga anti Taliban, yang mereka pandang sebagai rezim yang paling menindas perempuan dalam sejarah Afghan. Sebelum Taliban, burqa tidaklah populer di Kabul, tetapi Taliban mewajibkannya dengan landasan hukum. Semua perempuan diwajibkan memakai burqa, dan harus ditemani (dilindungi) oleh keluarga yang laki-laki saat keluar rumah. Sekolah untuk perempuan ditutup. Pendidikan di Afghanistan tenggelam ke level terendah. Kebanyakan anggota Taliban tidak berpendidikan, dan kebanyakan lulusan madrasah di Pakistan yang hanya belajar ilmu agama. Bagi Taliban, lelaki berjenggot dan perempuan berburqa adalah pertanda ketaatan beragama.

Panveen punya pengalaman dengan rezim Taliban. Dia dan empat anggota RAWA yang lain pergi ke stadion untuk menonton “hari hukuman” bagi para pencuri. Hukuman bagi pencuri adalah potong tangan, dipertunjukkan kepada semua warga sebagai peringatan. Salah satu anggota RAWA mengambil foto dengan kamera. Fotografi adalah larangan lain di masa Taliban, hanya foto diri untuk identitas yang mereka izinkan. Dan untuk memotret acara pemotongan tangan di stadion adalah dosa ganda yang sangat berat. Mobil yang ditumpangi kelima perempuan ini dihentikan di jalan oleh Taliban. Semua penumpang laki-laki diperiksa dengan diraba-raba tubuhnya anggota Taliban. Panveen dan teman-temannya justru terselamatkan oleh burqa, kamera dan foto-foto itu berhasil mereka sembunyikan di balik burqa, dan disebarkan ke seluruh dunia.

Pemerintah sekarang di mata RAWA, kata Panveen, “adalah tetap fundamentalis yang bergaya demokratis demi mendapat dukungan dan dana internasional.” Banyak anggota parlemen yang dulunya adalah penjahat perang. “Perempuan masih tetap miskin, dan kekerasan terhadap perempuan masih jamak.”

Kekerasan utama justru berasal dari keluarga, dari suami. Selain itu dari penjahat perang, fundamentalis, dan pemimpin agama. Keluarga di desa mendapat ancaman dari kelompok garis keras apabila mengizinkan anak perempuannya sekolah. Di Kunduz, seorang gadis 14 tahun diperkosa ramai-ramai, tetapi kasusnya menguap begitu saja. Di Afghanistan, ada hukum Syariah yang menyatakan kasus perkosaan membutuhkan 4 saksi mata lelaki beriman. Tetapi bagaimana mungkin kasus perkosaan melibatkan begitu banyak saksi mata? Mereka pemerkosa, bukan ekshibisionis! Amina di Badakshan baru saja dirajam sampai mati oleh para ulama, karena terlibat hubungan seksual di luar nikah. Dia dituding sebagai pelacur, sementara kekasih lelakinya masih hidup bebas.

Di banyak desa, anak perempuan yang baru berusia 9 tahun sudah disiapkan untuk menikah, sering kali dinikahkan dengan lelaki tua yang mampu membayar mahar. Malah ada bayi perempuan yang baru lahir dua atau tiga hari sudah dijodohkan untuk menjadi istri lelaki tertentu. Istri yang gagal melahirkan anak lelaki bisa disiksa oleh keluarga suami.

Bagaimana mengatasi ini? Panveen bilang, percuma saja, karena pemerintah sendiri adalah badan resmi para fundamentalis. “Mereka adalah penjahat-penjahat perang, yang kini berwujud sebagai para pembuat kebijakan berdasi untuk melindungi diri mereka dan kejahatan yang pernah mereka lakukan.”

 

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Demi keselamatannya, Panveen harus selalu menyembunyikan identitasnya. (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Demi keselamatannya, Panveen harus selalu menyembunyikan identitasnya. (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Bahkan pakaian untuk kaum perempuan pun dijual dan dipilihkan oleh para lelaki. (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Bahkan pakaian untuk kaum perempuan pun dijual dan dipilihkan oleh para lelaki. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

4 Comments on Selimut Debu 46: Gerakan Bawah Tanah

  1. Astagfirullah.. Semangat buat RAWA.. Jangan pernah tinggalkan shalat sbg kewajiban kita.. Terima kasih ya mas agustinus..

  2. baru khatam baca ‘titik nol’, enaknya lanjut baca apa lagi? :’)

  3. Mdh2an negeri kita tdk akan pernah jatuh ke tangan orang2 seperti taliban

  4. Tetapi mengapa di Indonesia malah muncul gerakan fundamentalis ?

Leave a Reply to Reza Ardiansyah Cancel reply

Your email address will not be published.


*