Recommended

Selimut Debu 55: Perjalanan Menuju Badakhshan

Kendaraan yang membawa penumpang dari Taloqan menuju provinsi tetangga Badakhshan sudah sibuk sejak pagi-pagi buta. Pukul 5, langit masih gelap, tapi bus-bus sudah penuh dan siap berangkat.

Ada beberapa jenis kendaraan umum di Afghanistan, tergantung dari model mobilnya. Mulai dari yang paling murah, falancoach (sebuah korupsi dari nama flying coach) hingga mobil Volvo yang nyaman dijamin mahal. Aku memilih falancoach, karena aku pencinta kemurahan.

Tapi aku datang terlambat. Setelah pukul 5:30, penumpang sudah mulai jalan. Mobil hanya berangkat kalau penumpang penuh, dan kebanyakan para penumpang memilih untuk berangkat sebelum matahari terbit. Baru pukul 7, mobil ini berhasil mengumpulkan penumpang dan kami bertolak dari Taloqan.

Aku duduk di baris ketiga. Mobil ini sejatinya berkapasitas menampung 14 penumpang, tapi dipaksa  mengangkut 18 orang. Di depanku ada dua orang perempuan memakai burqa. Kelihatannya, yang satu adalah wanita muda dan kurus, merupakan anak dari perempuan yang satunya. Ketika aku bersiap duduk, mereka sudah duduk di sana dan sibuk mengurus tiga anak kecil. Di samping mereka juga ada bocah lelaki lain, yang tentunya adalah kerabat mereka, karena di Afghanistan laki-laki yang bukan mahram dilarang duduk di samping penumpang perempuan.

Para perempuan itu sangat terkejut begitu aku masuk mobil, hanya karena aku orang asing. Laki-laki pula. Si perempuan tua tadinya tidak menutup wajahnya dengan burqa, sedangkan si wanita muda sama sekali tidak pernah membuka burqa yang menutup wajahnya secara total, sehingga aku pun tidak punya bayangan bagaimana wujud rupanya. Mereka mulai bercakap-cakap denganku. Oh dari mana kamu? Ke mana kamu? Dengan siapa kamu pergi?

Semua percakapan dalam bahasa Farsi. Setelah beberapa bulan tinggal di Pakistan dan Afghanistan, hubungan percakapan dengan perempuan seperti ini sungguh membuat aku cemas, dag dig dug. Aku malah masih syok karena mereka—para perempuan—yang memulai percakapan denganku yang laki-laki ini.

Belakangan, aku mulai mempelajari hubungan di antara mereka. Lelaki tua berjenggot lebat yang duduk di bangku depan di samping pak sopir adalah sang ayah, dan perempuan tua di dalam burqa yang tidak menutupi wajah itu adalah ibunya. Si gadis muda dengan burqa yang tertutup rapat adalah putrinya. Juga dengan lelaki muda berusia 14 tahun yang bernama Faridullah itu. Masih ada dua anak kembar berusia dua tahun, yaitu Najiba (perempuan) dan Najibullah (laki-laki), semuanya adalah anak ibu tua. Di Afghanistan, sangat umum nama lelaki punya akhiran ullah, yang berasal dari nama Allah. Najiba walaupun masih berusia 2 tahun, sudah menjadi bibi. Karena kakaknya yang berkerudung burqa itu sudah punya anak.

Kekikukanku dan kekhawatiranku berbicara dengan perempuan mungkin terlalu berlebihan. Karena para perempuan itu juga bercakap-cakap dengan para penumpang lelaki lain yang ada di sebelahku. Malah terkadang mereka berbagi makanan dan buah-buahan sepanjang perjalanan. Burqa tidak menghalangi mereka untuk berkomunikasi dengan lawan jenis yang tidak dikenal, bahkan dengan kehadiran suami atau kepala rumah tangga di mobil yang sama. Mereka bahkan terlibat percakapan serius tentang politik dan agama dengan para penumpang (kebanyakannya, si penumpang laki-laki yang bicara, dan para perempuan mendengar). Suami berjenggot dan beserban di bangku depan sama sekali tidak menunjukkan ketidaksenangan.

Keluarga ini adalah keluarga Tajik dari provinsi utara Afghanistan, dan memegang tradisi mereka kuat-kuat. Aku masih belum tahu pasti bagaimana burqa masuk dalam tradisi Afghan. Orang Pashtun di Afghanistan dan orang Pathan di Pakistan pada hakikatnya adalah etnis yang sama, dan berbagi tradisi burqa yang sama. Tetapi orang Uzbek dan Tajik di Afghanistan sangat kontras dengan orang Uzbek dan Tajik di Uzbekistan dan Tajikistan, yang sangat kuat menyerap pengaruh kebudayaan Rusia dan mayoritas tidak berjilbab apalagi menutup wajah dengan burqa. Sedangkan orang Hazara, orang-orang Mongoloid yang tinggal di Afghanistan bagian tengah, juga memakai burqa walaupun tidak terlalu sering dan sangat fleksibel bila dibandingkan dengan di daerah ini (misalnya, mereka lebih sering membuka penutup depan burqa mereka, dan menunjukkan wajah ataupun rambut mereka ketika berjalan di jalanan yang panas).

Sedangkan bagi para perempuan di mobil yang aku tumpangi ini, burqa juga tidak menjadi penghalang ketika mereka bercakap-cakap dengan lelaki lain. Dalam kultur kita, biasanya kita ingin melihat wajah khususnya mata lawan bicara, untuk mengetahui kejujuran dan mimik muka mereka. Tetapi di sini, berbicara dengan sebuah kain datar tanpa wajah tanpa ekspresi juga bukanlah hambatan, karena memang tradisinya demikian.

Dalam tradisi mereka (mayoritas orang menganggapnya sebagai religius), perempuan tidak seharusnya menunjukkan wajah pada lelaki lain. Tradisi itu begitu kuat di sini. Si perempuan tua selalu membuka penutup depan burqa-nya, tentu karena udara panas dan pengap. Aku melihat wajahnya yang berkeringat deras. Tetapi dia selalu diingatkan oleh anaknya (yang masih 14 tahun itu), dan juga terkadang oleh para penumpang lain, ketika mobil ini melintasi desa-desa dan perkampungan, karena mobil berjalan lambat dan bisa saja wajah si perempuan terlihat oleh para pejalan kaki di desa.

Jelas bukan Taliban yang membawa burqa ke provinsi pegunungan Badakhshan. “Taliban tidak pernah datang ke sini,” kata dokter Momin Jalali di Faizabad, ibukota Badakhshan. Pegunungan tinggi di provinsi ini telah membatasi interaksi antara Badakhshan dengan bagian lain Afghanistan, menjadikannya sebagai provinsi yang paling terpencil di Afghanistan. Gunung-gunung inilah, rintangan alami yang sukar dilewati, yang melindungi daerah ini dari penjajah luar, sekaligus menghambat pembangunannya. Jarak 177 kilometer dari Taloqan ke Faizabad harus ditempuh dalam waktu 12 jam, dengan kecepatan rata-rata di bawah 20 kilometer per jam. Jauh dan terpencilnya Badakhshan menghalangi pengaruh luar untuk mengubah tradisi dan kepercayaan setempat.

Badakhshan adalah tanah yang lapar. Sepanjang jalan yang kulihat adalah konvoi truk dari World Food Programme (WFP) yang mengangkut makanan, melintasi perbukitan terjal dan jalan di tepi jurang, untuk menyuapkan makanan pada orang-orang lapar di sini. Beberapa truk malah datang jauh-jauh dari Pakistan. Dokter Momin adalah kepala dinas kesehatan provinsi, mengatakan bahwa orang-orang di daerah ini mengalami kelaparan parah. Distribusi bantuan makanan adalah tugasnya.

Keterpencilan Badakhshan adalah alasan dari berbagai fenomena yang ada di provinsi ini hari ini.

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

1.Mayoritas perempuan di jalanan Faizabad, Badakhshan, berbalut burqa (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Mayoritas perempuan di jalanan Faizabad, Badakhshan, berbalut burqa (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Bocah-bocah di dalam kendaraan asyik mendengarkan MP3 (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Bocah-bocah di dalam kendaraan asyik mendengarkan MP3 (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Perhentian di tengah perjalanan bagi para penumpang mendirikan salat dan meregangkan badan (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Perhentian di tengah perjalanan bagi para penumpang mendirikan salat dan meregangkan badan (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Medan jalanan yang berat menuju Faizabad. Karena kerasnya medan pegunungan ini, Taliban tidak pernah datang ke sini. (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Medan jalanan yang berat menuju Faizabad. Karena kerasnya medan pegunungan ini, Taliban tidak pernah datang ke sini. (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Istirahat di tepi sungai (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Istirahat di tepi sungai (AGUSTINUS WIBOWO)

6.Laki-laki dan perempuan tidak pernah makan bersama (AGUSTINUS WIBOWO)

6. Laki-laki dan perempuan tidak pernah makan bersama (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Selimut Debu 55: Perjalanan Menuju Badakhshan

  1. agus agus agus …how luxurious life of yours!!!!!

  2. Burqa… Hijab is Very nice… I like it… 🙂

Leave a comment

Your email address will not be published.


*