Recommended

Jawa Pos (2013): Perjalanan Akbar Musafir Lumajang

27 Oktober 2013

131027-jawa-pos-perjalanan-musafir-lumajang

Perjalanan Akbar Musafir Lumajang

Oleh J. SUMARDIANTA

REPUBLIK Mauritius merupakan kasus tidak lazim multikulturalisme. Pulau kecil di Samudra Hindia, terapat bermukim bagi lebih dari sejuta orang keturunan Afrika, Eropa, India, dan Asia Tenggara. Di situ pelbagai agama, bahasa, dan. tradisi etnis bergabung dalam kultur harmonis. Tiada negeri lain di belahan dunia mana pun bisa seotentik Mauritius. Negeri mungil itu merdeka dari Inggris pada 1968. Sumber daya yang terbatas dan keragaman etnis mengancam kelangsungan perdamaian. Mayoritas penduduk keturunan India. Kaum minoritas khawatir dikesampingkan.

Sedari awal Mauritius diprediksi bakal hancur terjerumus kekisruhan politik, agama, ras, dan etnis. Namun, warga Mauritius, dengan komitmen dasar merayakan perbedaan, merancang konstitusi yang menyantuni semua orang di sekujur negeri. Sebagian besar kursi parlemen diberikan kepada para wakil terpilih dalam pemilu. Delapan kursi dicadangkan buat “peserta kalah pemilu” yang menduduki peringkat terbaik. Kursi cadangan menjamin keterwakilan seimbang kaum minoritas.

Keragaman agama dan budaya membuat masyarakat Mauritius memiliki banyak hari libur. Mereka sampai kesulitan membereskan pekerjaan karena setiap kelompok tidak bersedia menghapus hari libur mereka. Dibuatlah kesepakatan: bila suatu kelompok merayakan hari libur, semua ikut merayakan. Hari-hari libur keagamaan tertentu dirayakan rakyat seluruh negeri. Semua orang menghormati Diwali Hindu, Lebaran Islam, dan Paskah Kristen. Toleransi menciptakan penghargaan, rasa hormat, dan cinta bagi komunitas lain.

Mauritius berhasil lolos dari konflik mendalam yang mewarnai banyak negeri multietnis. Rakyat Mauritius tidak sempurna.  Mereka mempunyai masalah sosial pelik. Mereka sukses karena tidak membatasi prinsip keadilan dalam kerangkeng sempit kepentingan primordial-sektarian. Mereka mendongkrak semangat kesetaraan dengan cara baru yang kokoh. Navin Ramgoolam, pemimpin Mauritius, mengatakan, “Kita semua tiba dari pelbagai benua dengan kapal berbeda. Sekarang kita semua berada di kapal yang sama.”

Mauritius surga multikulturalisme. Indonesia neraka keberagaman. Pengejaran terhadap pengikut Ahmadiyah dan kaum Syiah. Sengketa Gereja Yasmin dan Piladelpia. Deretan kasus kontemporer itu menunjukkan betapa rapuhnya relasi antaretnis dan agama di negeri yang konstitusinya menjunjung tinggi perbedaan. Negeri bersemboyan “Bhinneka Tunggal Ika”: Agama, warna kulit, dan derajat yang berbeda membuat kaum minoritas bagai ternak potong menunggu saat penyembelihan. Negara absen memenuhi amanah sebagai perawat keberagaman.

Pembebasan dari tirani prasangka etnis dan kultur rasisme bukan melulu perjuangan sosial. Pun pergulatan batin bersifat personal. Agustinus Wibowo, musafir dari Lumajang, Jawa Timur, inspirasi pergulatan individual pembebasan dari karma kambing hitam etnisitas. Penulis trilogi catatan perjalanan, Selimut Debu (2010), Garis Batas (2011), dan Titik Nol (2013) itu menyebut perjuangannya sebagai grand overland journey. Perjalanan kolosal seumur hidup dari Beijing, Tibet, Nepal, India, Mongolia, Pakistan, Afghanistan, Tajikistan, Kirgizstan, Uzbekistan, Kazakstan, Turkmenistan, dan Iran. Setiap terjangan homesick adalah tonjokan yang membuat sempoyongan musafir. Nikmatnya derita perjalanan senantiasa dirindukannya.

Agustinus mengatakan sering dilecehkan sebagai ” singkek-singkek’ oleh anak-anak seusianya zaman SD saat melintas gang kampung halaman. Penolakan merupakan makanan sehari-hari. Guru pendidikan moral Pancasila di SMAN 2 Lumajang mengecap. Agustinus sebagai orang asing. Pendatang itu makhluk minoritas yang berbeda dengan penduduk kebanyakan. Padahal, kebajikan menyebutkan, Anda tidak akan menjadi lebih penting dengan meremehkan orang lain. Kakek dari ibu Agustinus berasal dari Provinsi Hokian yang melarikan diri karena dikejar-kejar tentara Jepang. Kakek dari bapaknya petani miskin dari Hokian. Kakek-neneknya tergolong China totok yang kuat memegang tradisi. Diskriminasi mereka rasakan sejak Orde Baru melalui program asimilasi, pembauran, dan integrasi.

China dianggap dekat dengan komunis. Asimilasi di negeri multietnis berarti lupakan: leluhur, kultur, nama, sejarah, agama, kemeriahan tradisi. Asimilasi menyeramkan karena minoritas jadi kehilangan bahasanya, tanggal kebudayaannya, tipis jati dirinya. Melebur dengan bangsa mayoritas lenyap keberadaan. Sirna keberagaman. Tinggal romantika yang tersisa. Bentuk wajah dan warna kulit saja yang tidak bisa dilebur. Garis batas abadi itu mengakibatkan trauma inferioritas menyakitkan. Agustinus pernah dipanggil babi oleh seniornya saat menjalani MOS (masa orientasi siswa) SM A.

Identitas yang seharusnya membanggakan malah jadi label memalukan. Kebanggaan orang tua terhadap negeri leluhur membuat bingung. Siapakah mereka sesungguhnya: orang Indonesia bukan, China pun tak berhak. Tanah air riil menolak. Tanah leluhur imajiner tidak mengakui. Betapa kecil dan lemahnya sebutir individu di hadapan kekuatan negara yang masyarakatnya rasis. Agustinus, bertahun-tahun studi dan bermukim di Beijing, tidak merasa sedang pulang ke tanah air. Dia tidak merasa menjadi bagian kebanggaan masa lalu keluarga besar nenek moyangnya.

RRC (Republik Rakyat China) memperlakukannya sebagai orang asing. Biaya kuliahnya sepuluh kali lipat mahasiswa lokal. Dia datang membawa identitas Indonesia—negeri yang bagi banyak orang identik dengan kebencian, penindasan, dan kekerasan. Di Lumajang dia mengalami penolakan sehingga berilusi tanah leluhur merupakan nusa damai. Tanah tempat afiliasi dengan mayoritas sehingga tidak lagi risi menjadi minoritas hina. Di Beijing dia justru mendapati realitas pahit dinistakan China Indonesia.

Di negeri leluhur Agustinus menemukan kesadaran. Indonesia memang tidak sempurna, tetapi itulah tanah air yang menerima dia apa adanya. Nasionalisme semakin tebal ketika seseorang berada di luar negeri. Agustinus mengalaminya saat berkelana di Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tengah. Di Beijing Agustinus mengalami titik balik identitas. Kechinaan memudar. Keindonesiaan menguat. Etnisitas meluruh. Kewarganegaraan mengeras.

Sang musafir telah melintasi banyak negeri yang relatif lebih menderita ketimbang Indonesia. Perjalanan memang membuatnya menghargai tanah air, bangsa, identitas, masa lalu, dan masa depannya sendiri. Namun, esensi perjalanan bukan melihat penderitaan negeri lain untuk mensyukuri keberuntungan diri. Awalnya dia belajar menghilangkan diri. Akhirnya belajar menemukan jati diri. Awalnya melihat kemolekan dan eksotisme negeri. Akhirnya menemukan gambaran kemanusiaan sendiri. Awalnya kisah perjalanan berpusat pada “aku” Akhirnya “aku” meredup berganti mereka. Agustinus pernah memakai shalwar qamis, berbahasa Urdu, dan tertawa dalam humor mereka. Di hadapannya terpampang Afghanistan dan Pakistan, tetapi yang dilihatnya Indonesia. Negeri paling aman justru yang paling tidak aman.

Agustinus becermin pada kehidupan minoritas suku Dungan, blasteran Arab-China, di Kota Tokmok, Kirgistan, yang tidak diperkenankan bepergian ke luar kota. Ratusan tahun lalu kelompok etnis itu menyeberang ribuan kilometer dari Xinjiang Uygur ke Kirgis karena gebalau peperangan. Etnis Dungan menerima Arab sebagai bapak (agama) dan Tiongkok sebagai ibu (kebudayaan). Agustinus pun bisa berdamai dengan identitas keturunan China kelahiran Jawa. Esensi perjalanan memang menemukan hakikat dan makrifat. (*)

*) Guru SM A Kolase De Britto Jogjakarta. Penulis buku Guru Gokil Murid Unyu: Pendidik Hebat Zaman Lebay (2013)

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Jawa Pos (2013): Perjalanan Akbar Musafir Lumajang

  1. sudah diposting rupanya 😀

  2. Ulasan Pak Sumardianta cukup bagus, namun ada sisi ketidakadilan yg banyak juga dimiliki oleh para orang pintar namun suka menggiring opini mrk yakni tendensius dimana mrk menyebut indonesia sbg neraka perbedaan namun tidak pernah menyebut kedzoliman thd umat islam di wilayah kristen, di manado, papua, kalimantan, dll apalagi dari aparat orde baru.

Leave a Reply to Rahmadi Cancel reply

Your email address will not be published.


*