Recommended

Selimut Debu 63: Poyandah Namaku

Malam ini sesungguhnya adalah malam yang penuh pengharapan. Orang-orang ini ternyata berkumpul di rumah Shah karena besok akan terjadi peristiwa bersejarah. Jembatan akan dibuka, menghubungkan langsung mereka dengan Tajikistan.

Betapa susahnya kehidupan di sisi sungai ini, di negeri bernama Afghanistan. Sekolah sangat jarang, rumah sakit tidak ada, dan listrik hanya dihasilkan oleh generator pribadi. Jangan lupa pula, pasar terdekat ada di Ishkashim, dua hari perjalanan paling cepat kalau naik mobil, atau tiga hari jalan kaki.

Seketika, negeri lain pas di seberang sungai sana menawarkan impian. Tajikistan sebentar lagi akan mereka rengkuh. Tajikistan akan membuka perbatasannya dengan dusun-dusun Wakhan. Adakah hal lain yang lebih baik daripada itu?

“Kita bisa ke rumah sakit,” kata Wali Muhammad, “anak-anak kita bisa sekolah di sana.” “Listrik juga bisa masuk sini,” kata kakek tua beserban. “Kita bisa belanja ke pasar,” kata Khan Jon.

“Kamu mau ikut? Kita besok belanja ke bazaar di Tajikistan sana” tanya Ghulam Sakhi. Tapi aku tak punya visa. Ghulam Sakhi sigap menjawab, “Jangan khawatir. Aku akan menyelundupkanmu!” Mereka bilang, wajahku sudah seperti orang Afghan. Aku cukup pura-pura bisu saja, beres. Mereka bahkan memberiku nama: Poyandah Iskashim, putra dari Rajab. Ya, namaku Poyandah Iskhashim bin Rajab. Inilah nama samaran yang harus kuhafal, jangan sampai lupa.

Semalaman aku tak bisa tidur, membayangkan petualangan besar yang akan kualami besok. Penyelundupan! Betapa serunya! Dan aku sungguh ingin melihat negara seperti apa Tajikistan itu. Tapi, apa benar, mereka akan membawaku ke sana?

”Orang Afghan memang tidak boleh dipercaya,” kata Juma Khan kesal, sambil menyetir traktor, keesokan paginya. ”Kamu harus ingat. Ini negara keras. Orang-orang sini biasa hidup dalam kekerasan. Jangan anggap mereka seperti orang Pakistan! Orang sini semuanya penipu!”

Aku terpaksa mengamini ucapannya. Aku duduk, basah kuyup, diguncang traktornya yang jalannya melompat-lompat, digerayangi kebingungan dan kemarahan. Ghulam Sakhi, yang kemarin begitu menggebu-gebu hendak membawaku ke Tajikistan, hari ini sepertinya sudah melupakan keberadaan Poyandah bin Rajab yang diciptakannya sendiri.

Mereka berjanji membawaku ke Ghoz Khan, tempat jembatan menuju Tajikistan itu. Aku sudah berangkat pagi-pagi buta berjalan kaki dulu, sesuai perintah mereka. Katanya di tengah jalan lagi, mereka akan mengangkutku. Satu jam berjalan, mobil Shah melewatiku tanpa berhenti. Mobil berikutnya lewat, berhenti sejenak, langsung tancap gas lagi, aku ditinggal sendirian di tempat yang begini liar.

Lari, hanya itu pilihan yang tersisa. Di tempat setinggi ini, lari sudah termasuk latihan fisik berat. Jalan menanjak. Aku berharap mobil-mobil Shah dan kawan-kawannya berhenti di depan menunggu. Tak terlihat juga. Jalan menurun. Aku mulai belajar menerima keadaan. Lebih baik menikmati saja perjalanan ini. Indahnya gunung, lembah, sungai, terpampang di depan mata. Apa gunanya terburu-buru di tengah surga seindah ini? Tajikistan mungkin memang bukan untukku.

Di hadapanku sekarang ada sungai lain yang melintangi jalan. Ini sungai besar, bagaimana aku harus menyeberang?

Untung di seberang sana kulihat Juma Khan. Tapi sungai ini terlalu lebar untuk diloncati. Juma Khan hanya 5 meter jauhnya, terpisahkan genangan cokelat yang dalam dan deras.

“Naik, Poyandah! Naik! Jangan menyeberang! Cepat! Cepat!” Juma Khan berteriak-teriak dari seberang sana. Aku menoleh ke kanan. Naik? Naik apa? Yang ada cuma gunung cadas. Terjal. Tinggi. Dari mana aku harus naik? Bagaimana aku harus merangkak? Dan tepat di bawah cadas ini genangan sungai yang tenang. Aku tahu, sungai yang tenang, dalam airnya. Seorang gembala tua menyeberang ke arahku. Aku takut-takut menggapai tongkat gembalanya. Dia lincah naik ke batu cadas. Tapi ini bukan alam habitatku, berkali-kali aku terpeleset saat memanjat batu tegak lurus. Hanya semak-semak yang bisa kuraih. Belukar yang tumbuh dari batu ini bisa saja patah sewaktu-waktu. Sedangkan di bawah ada genangan air sungai mengalir deras.

”CEPAT! CEPAT!!!” Juma Khan berteriak.

Aku menyeberangi genangan air berumput sedalam mata kaki. Celanaku sudah basah total. Berkali-kali kakiku terbenam dalam lumpur. Mobil-mobil Shah (dan Ghulam Shakhi di dalamnya), sudah tak sabar lagi menungguku. Mereka langsung tancap gas. Pergi. Lenyap.

Aku duduk di samping Juma Khan di atas traktornya. Dia tak henti mengumpati orang-orang Afghan itu. ”Tadi, mobil-mobil mereka terendam air ketika menyeberang sungai itu. Jadi mereka harus mengeringkan mesin dulu. Aku tanya, di mana si mehman. Mereka bilang tertinggal di belakang, tapi mereka janji akan menunggumu. Dan lihat sekarang. Dua kali mereka meninggalkanmu. Mereka memang penipu!”

Juma Khan tidak pergi ke Ghoz Khan. Aku diturunkan di persimpangan jalan, dan harus memikirkan sendiri cara untuk mengejar Shah dan melihat jembatan Tajikistan. Saat menyeberang jembatan di Sust, kebetulan ada jip Dokter Alex Duncan dari Inggris yang menetap di Wakhan sebagai dokter keliling sejak jatuhnya Taliban.

”Kamu tahu di mana Komandan Sakhi?” tanya Alex yang berkumis, berjenggot, dan bercambang itu.

”Iya. Mereka ke jembatan di Ghoz Khan.”

”Kebetulan, saya ada urusan dengannya,” katanya.

Kebetulan, aku bisa menumpang sampai jembatan itu. Dia mengizinkan aku menumpang, kami bersama-sama akan mencari Sakhi.

Ya, akan terus kukejar orang yang begitu tega meninggalkan si Poyandah bin Rajab ini dua kali!

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Juma Khan dan traktornya (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Juma Khan dan traktornya (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Semua ikut menumpang traktor Juma (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Semua ikut menumpang traktor Juma (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Para tentara yang berangkat ke perbatasan Tajikistan (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Para tentara yang berangkat ke perbatasan Tajikistan (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Aku ditinggal sendirian di pegunungan seperti ini (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Aku ditinggal sendirian di pegunungan seperti ini (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Mobil mereka di kejauhan (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Mobil mereka di kejauhan (AGUSTINUS WIBOWO)

6.Senja di reruntuhan (AGUSTINUS WIBOWO)

6. Senja di reruntuhan (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Selimut Debu 63: Poyandah Namaku

  1. Aku sudah mencernanya namun belum bisa menggapainya. Ada jalan untuk kesana?

  2. matur nuwun cak agus akhirnya selimut debu 63 sdh nampang

  3. Saya penasaran, saat Mas Agus di Afganistan, apakah mereka bertanya apa tujuan Mas Agus di Afganistan? Dan Jawabnnya apa yah?

  4. orang Syiah punya tradisi berbohong yang disebut sebagai takiyyah.. kata mrk melakukannya dapat pahala… karna itu mrk mudah berbohong

  5. Di alam spt itu, sendirian klo tdk ketemu tumpangan & keburu malam dtg, bgmn mas agus ? Ak kok susah membayangkannya

  6. Andini Nurani // April 15, 2018 at 12:51 am // Reply

    Bagus ceritanya dan menginpirasi, kalo menjelajah ke Turkey, jangan lupa share ya pengalamannya, biar saya ikut baca hehe

Leave a comment

Your email address will not be published.


*