Recommended

Selimut Debu 67: Halusinasi

Asap mengepul dari pojok ruangan gelap rumah Bakhtali. Sumbernya bukan dari dapur atau perapian, melainkan dari sebuah pipa melengkung berbentuk tanda tanya. Seorang kakek tua berbaring di ruangan, mengisap dalam-dalam sambil meresapi kenikmatan pipa.

Bakhtali mengambil tempat di sebelah kakek tua. Ia ikut menggerus sesuatu hingga menjadi bubuk, kemudian ditaruh dalam pipa, dan diisap asapnya.

Aku bertanya, apa itu.

Taryak,” jawab Bakhtali kalem. Opium.

Orang-orang Ismaili dari Lembah Wakhan ini memang dikenal akan tradisi mengisap opium. Aku sempat terkejut mencium aroma menusuk yang memualkan kini memenuhi seluruh ruangan. Si kakek tua terbaring menikmati surganya. Istri Bakhtali hanya duduk, di dekat perapian, mengamati teman suaminya yang tampaknya sudah langganan ke rumah ini.

“Ini taryak,” kata Bakhtali sekali lagi, ”tapi percayalah. Aku tak akan mengisapnya. Ini barang jahanam.”

Kakek tua mengisap dalam-dalam, menyemburkan asapnya ke arah Bakhtali.

Bakhtali gelagapan. Godaan aroma asap itu menjebol daya tahannya. Tangannya gemetar. Ia meraih pipa tanda tanya itu dari kakek tua yang masih terbaring. Perlahan-lahan diisapnya, perlahan-lahan diembuskannya.

“Aku tak akan mengisapnya. Ini barang jahanam,” ia masih berkata. Detik berikutnya ia sudah lupa ucapannya sendiri. Yang ada hanya ritual isap dan embus. Pufff…. Pufff…. Bergantian dengan kakek tua itu.

Istri Bakhtali hanya merangkul kedua anak mereka, Dela dan Shir Muhammad. Kedua bocah hanya memandang nanar ayahnya dan kakek tua. Istri Bakhtali memberi sinyal padaku untuk memotret kedua orang yang asyik ria mengisap candu. Tapi kakek tua itu seketika menjadi sangat agresif. Dia menjerit, “JANGAN!!!”

Dari ujung pipa tanda tanya itu asap terus mengepul, menyembur, memenuhi ruangan. Dari ujung lainnya, sang laki-laki telah terlempar ke surga. Bocah-bocah Bakhtali hanya memandang ayahnya. Pandangan semua orang di ruangan ini kosong.

Aku keluar ruangan. Bakhtali langsung menyergapku.

“Aku tidak mengisap. Aku tidak mengisap,” katanya, masih menahanku.

Tapi itu bukan urusanku.

Sejurus kemudian berbagai kisah sedih mengalir dari bibirnya. Tentang gaji yang tak pernah turun, tentang hidup yang tertekan, tentang fundamentalis Sunni. Juga tentang turis Jepang yang memberinya banyak uang setelah menginap di rumahnya, seakan mendikteku melakukan aksi serupa.

Dengan suara dalam, Bakhtali berkata, ”Kemarin malam, maeda, si kecil, bilang kepadaku… Bapak, Bapak, minta si orang asing itu untuk membantu aku.”

Yang dimaksud maeda adalah si Dela, anak Bakhtali yang kira-kira empat tahun umurnya. Aku terkejut. Aku sudah tinggal di rumah Bakhtali selama beberapa hari, tak pernah sekali pun kudengar Dela bersuara. Mungkin bocah itu pemalu. Atau mungkin ia masih belum bisa bicara? Entahlah.

Aku pandang lekat-lekat si Dela, ”Kamu minta dibantu apa?”

Dela diam saja. Dia tak mengerti.

Bakhtali sudah tak sabar.

”Apa saja!” katanya mewakili anaknya.

”Apa saja? Kamu mau buku? Pensil?”

Dela diam saja.

Bakhtali langsung menyambar, ”Aku ini mualem, guru! Kalau pensil, buku, aku sudah punya banyak. Uang! Uang!”

Bakhtali sedang berhalusinasi. Aku bergegas meninggalkan rumahnya dan mencari Faizal. Bakhtali terus mengikuti.

Aku tidak mau menjerumuskan Bakhtali lebih jauh ke dalam ketergantungan. Hanya seratus afghani per paket harga taryak yang dibawa saudagar dari Faizabad, kata Bakhtali. Uang seberapa pun akan habis juga kalau dipakai untuk benda terlarang ini. Aku kasihan dengan Bakhtali. Aku lebih kasihan lagi dengan istri dan anak-anaknya yang masih kecil.

“Ada apa?” tanya Faizal cemas melihat wajahku yang pucat pasi seperti dikejar setan. Sementara Bakhtali menempel ketat di belakangku.

“Tidak ada apa-apa,” jawabku.

Bakhtali kemudian bercerita tentang betapa beruntungnya aku yang tinggal dengan keluarga Ismaili, bukannya di keluarga Afghan yang fundamentalis. Faizal kebingungan dengan cerita yang tidak ada sambungan dan hubungannya ini. Bakhtali akhirnya pergi dengan gontai.

“Ada apa?” tanya Faizal sekali lagi.

“Biarkan aku menginap di sini,” kataku memohon. “Aku tak mau menginap di rumah moalem lagi.”

“Ada apa sebenarnya?”

Aku menggeleng, terdiam. Aku tak ingin membuka aib Bakhtali terhadap Faizal si orang Pakistan. Ini desa kecil. Semua orang saling kenal. Dan aib keluarga Bakhtali memang sebaiknya hanya aku sendiri yang tahu—walaupun mungkin ini juga sudah jadi rahasia umum di dusun mungil ini.

Tapi Faizal sudah membaca pikiranku. Giliran dia yang terdiam.

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Putri Bakhtali (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Putri Bakhtali (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Ayah dan anak (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Ayah dan anak (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Bakhtali dan istrinya (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Bakhtali dan istrinya (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Menyusui di hadapan tamu bukan hal yang tabu di Wakhan (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Menyusui di hadapan tamu bukan hal yang tabu di Wakhan (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Para perempuan sibuk di dapur sepanjang hari (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Para perempuan sibuk di dapur sepanjang hari (AGUSTINUS WIBOWO)

6.Dapur dan ruangan tidur jadi satu (AGUSTINUS WIBOWO)

6. Dapur dan ruangan tidur jadi satu (AGUSTINUS WIBOWO)

7.Para perempuan di rumah Bakhtali (AGUSTINUS WIBOWO)

7. Para perempuan di rumah Bakhtali (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Selimut Debu 67: Halusinasi

  1. foto paling bawah: si gadis bs jd model/artis sinetron tu kalo di indonesia. cantik.

  2. Gadis atau prempuan My Afghanistan Best At All. sebenarnya cantik cantik. Tapi PERANG membuat mreka terpuruk… SAVE AFGANISTAN.. Amin Amin Amin Ya RAbb… 🙂

Leave a Reply to Masfiah Isnaini Cancel reply

Your email address will not be published.


*