Recommended

Qiandao (2013): Semangat Yang Tidak Pernah Padam

1303-qiandao-papa

7 Maret 2013

Harian Nusantara (千岛日报):

SEMANGAT YANG TIDAK PERNAH PADAM

“Jadilah orang yang biasa-biasa saja. jalanilah hidup yang biasa-biasa saja. tetapi hasilkanlah karya yang luar biasa.” Itulah kalimat yang selalu diulang-ulang oleh Papa di hadapanku, merupakan wejangan yang memengaruhiku dalam memaknai hidup.

Walaupun aku hidup bersamanya, bagiku Papa sesungguhnya menyimpan banyak misteri. Di kamar tuanya, bertumpuk-tumpuk ratusan kitab kuno berbahasa Mandarin yang tidak kumengerti. Selama bertahun-tahun dia menekuni teknik pengobatan tradisional China, huruf demi huruf dijalinnya, dihafalnya, hingga akhirnya dia menjadi seorang sinshe secara autodidak, membuka praktik pengobatan bagi warga kota kecil Lumajang. Aku dibesarkan dengan aroma ramuan berbagai herba dan binatang, aneh, juga jarum-jarum yang ditusukkan di sekujur tubuh. Orang-orang berdatangan mencari Papa. mengharap mukjizat kesembuhan.

“Hidup itu harus berguna bagi sesama!” Inilah prinsip hidup Papa. Dia menjalani hidup yang sederhana sebagai pedagang telur, sekaligus sebagai tabib. Bagi pasien yang kurang mampu. Papa sering tidak memungut biaya sedikit pun namun tetap memberikan pengobatan yang terbaik. Dia bilang, tidak ada kebahagiaan yang lebih tinggi daripada berguna buat sesama.

Demikian pula caranya membesarkan aku, anak pertamanya. Ucapan Papa selalu dipenuhi kalimat-kalimat filosofis. Aku mengenalnya sebagai orang yang tidak banyak bicara, berwatak keras, disiplin, dan sederhana.

Kejutan terbesar dari Papa bagiku adalah: dari hasil keringat berdagang telur dan menghemat selama bertahun-tahun, dia mengirimku bersekolah ke tanah leluhur Tiongkok, yaitu ke Universitas Tsinghua yang merupakan sekolah terbaik di seluruh negeri China. Papa mengajarkanku melihat dunia yang luas, memaknai sejarah, dan berani mengejar mimpi yang tinggi.

Satu demi satu impian telah terwujud Ketika aku meminta izin untuk menjadi sukarelawan di Aceh yang baru dilanda tsunami, Papa sepenuhnya mendukungku. Hidup itu harus berguna bagi sesama, prinsip itulah yang kukatakan ketika aku memohon restunya menjadi wartawan perang di Afghanistan. Orangtua mana yang bisa merelakan anaknya pergi menerjang bahaya ke negeri perang? Tetapi di balik kesederhanaan seorang pedagang dari kota kecil. Papa memang luar biasa, berpikiran progresif. Aku bersyukur punya        Papa seperti beliau, sehingga aku bisa mengelana berkeliling dunia, mencari makna dari perjalanan hidup dan kemanusiaan.

Bahkan hingga akhir hayatnya. Papa yang misterius itu masih menghadirkan sebuah kejutan. Kepergiannya begitu mendadak. Selama beberapa tahun ini, dia memang telah menderita stroke, darah tinggi, batu ginjal, diabetes, dan penyakit jantung, tetapi dia selalu tegar, selalu mengatakan bahwa dirinya sehat, dan bahwa hari esok akan lebih baik daripada hari ini Cita-citanya masih tinggi, ingin mendirikan sebuah sekolah berbahasa Mandarin di kota kecil kami, sebagai wujud baktinya bagi masyarakat. Bersama teman-temannya, cita-cita itu hampir terwujud. Papa begitu bersemangat menuliskan artikel tentang proyek membangun sekolah itu agar dimuat di surat kabar yang sedang Anda baca ini.

Dia tidak memedulikan tubuhnya yang semakin lemah, perutnya yang tersiksa, gejala- gejala penyakit yang semakin menghebat. Menulis, menulis, dan terus menulis, hingga karya itu, sebuah goresan terakhirnya, terselesaikan.

Demikianlah, semua terjadi begitu mendadak. Papa dilarikan dari Lumajang ke rumah sakit di Surabaya, dirawat di unit gawat darurat, mengalami perdarahan sebanyak empat kali. hingga menghembuskan napas terakhir.

Di menit-menit penghabisan, dari Beijing aku berbicara di sisi telinganya melalui telepon. “Pergilah dengan tenang. Papa. Impianmu biar kami yang teruskan.” Seketika, wajah yang semula tegang itu mendadak menjadi damai, tenang, menyongsong Maut.

Empat puluh sembilan hari sudah Papa pergi meninggalkan kami di dunia. Di balik misteriusnya figur Papa, kutemukan sebuah semangat yang tidak pernah padam. Selamat jalan, Papa.      (Agustinus Wibowo)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

10 Comments on Qiandao (2013): Semangat Yang Tidak Pernah Padam

  1. sekolah mandarin di lumajang akhirnya dibukakah?

  2. smpai meneteskan airmata membaca tulisn ni kaq….sebaik baik manusia adalah yg paling bermanfaat bagi orng lain….ttp berkarya kaq…ttp menginspirasi..:)

  3. Papamu hebat, pantesan anaknya juga hebat. Semoga sukses selalu. GBU.

  4. Trenyuhnya bacanya, sorry for your loss RT Qiandao (2013): Semangat Yang Tidak Pernah Padam – : http://t.co/QQ0I7HfeYm

  5. Turut berduka cita Gus

1 Trackbacks & Pingbacks

  1. Kuliah Pertama Struktur Data – Semester Genap 2013/2014 | Ani Rahmani

Leave a Reply to Wahyu Suhendra Cancel reply

Your email address will not be published.


*