Recommended

Selimut Debu 77: Kematian di Kota Suci

Badanku rasanya sudah hampir menguap karena hari berziarah ini. Sudah lebih dari sepuluh makam yang kami kunjungi, dan Arvin masih bersemangat mengunjungi makam-makam yang lain. Kawan-kawannya tampaknya tidak sesemangat dia, dan berhasil membujuknya untuk mengunjungi jembatan kuno.

Kami sampai di tepi sungai. Waktunya beristirahat sejenak dari ritual berkomat-kamit dan menangkupkan tangan pada wajah di pinggir puluhan makam. Kami memandang iri para pemuda desa yang berenang riang gembira di sungai yang mengalir deras.

Banyak dari mereka yang berenang dengan pelampung. Sebagian bertelanjang dada, sebagian lagi berenang dengan shalwar qamiz lengkap. Karena shalwar adalah celana longgar yang lebar pinggangnya bisa mencapai dua meter, begitu masuk ke air langsung menggelembung seperti balon. Entah bagaimana mereka bisa berenang dengan celana seperti itu.

Di kejauhan, aku melihat sosok mayat yang sudah membiru diarak oleh para pemuda. Matanya terpejam. Lelaki itu masih dua puluh tahunan. Badannya terbalut kaus jingga tanpa lengan dan celana pendek selutut, diangkut di atas pelampung menyeberangi sungai. Para pemuda desa langsung mengerubungi mayat itu. Kasihan sekali, pemuda ini dua jam yang lalu masih berenang bersama kawan-kawannya.

Ini pertama kali ia berenang, namun langsung praktek di arus berbahaya seperti ini. Akibatnya maut. Sungai ini memang tampak sejuk, namun ada banyak jeram tersembunyi. Ia tenggelam. Bocah malang ini tertahan di dasar sungai lebih dari satu jam. Ketika diangkat, tentu saja, sudah terbujur kaku, mati.

Kematian pemuda ini hanya menjadi bahan pembicaraan Arvin dan kawan-kawannya tak lebih dari tiga menit.

“Hah, itu hal biasa,” kata seorang temannya, “di negara ini ada ratusan yang mati setiap hari. Ada yang kena ledakan bom, kejatuhan roket, kena tembak, jatuh di gunung, diculik…, anak tenggelam di sungai bukan hal yang istimewa sama sekali. Kalau semua harus dipikir, kami bisa jadi gila.”

Menurut survei terakhir, jumlah orang gila, frustrasi, dan stres di Afghanistan sekali lagi memecahkan rekor tertinggi.

Langit mulai gelap. Kami kembali melintasi selubung debu, menuju kota suci Mazar-e-Sharif. Ini adalah kota yang berdiri karena sebuah kematian.

Dulunya kota Mazar-e-Sharif adalah dusun kecil di bawah bayang-bayang Balkh yang berkilau peradaban kuno. Namun tiba-tiba kedudukan itu berbalik. Mazar tumbuh menjadi kota besar, semakin menggerogoti kejayaan Balkh yang terus meredup hingga terbungkus debu. Hari ini, Mazar-e-Sharif menjadi ibu kota Provinsi Balkh, sedangkan Balkh menjadi desa kecil di pinggirannya.

Orang Afghan percaya, di kota Mazar inilah Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, dimakamkan. Banyak orang percaya, makam Ali ada di Najaf, Irak. Tapi di abad ke-12, empat ratus mullah mendapat wangsit mimpi yang isinya sama: jenazah Ali diangkut unta betina dan dimakamkan di suatu tempat di dekat Balkh. Di tempat ini kemudian dibangun mazar (kuburan) untuk sharif (orang suci). Perlahan-lahan, daerah sekitar mazar tumbuh menjadi Mazar-e-Sharif, kota besar yang baru ini.

Ribuan merpati putih hidup di sini, terbang di antara kubah, menghiasi langit, dan warnanya pun hanya putih. Konon, karena begitu sucinya tempat ini, bahkan merpati hitam akan berubah menjadi putih dalam waktu empat puluh hari.

Pada perayaan tahun baru Afghan, Rawza diserbu jutaan umat yang mengharap kesembuhan. Sebuah bendera suci raksasa, yang disebut janda, akan dikibarkan. Para penganut percaya, mereka yang menyaksikan pengibaran bendera dan menyentuh bendera ini akan mendapat kesembuhan, doa-doanya terkabul, dan dilimpahi mukjizat langsung dari Ali.

Banyak legenda dan kepercayaan di Afghanistan yang dikaitkan dengan Ali. Danau raksasa Band-e-Amir di Bamiyan, misalnya, dikisahkan sebagai mukjizat Ali. Naga yang memangsa penduduk Bamiyan juga diubah menjadi gunung batu oleh pedang Ali. Di Asia, setidaknya ada tujuh tempat yang mengaku sebagai tempat peristirahatan terakhir Ali, salah satunya Mazar-e-Sharif ini.

Apakah benar Hazrat Ali dimakamkan di sini? Tak ada yang bisa membuktikannya. Umat Syiah di belahan lain dunia tak mengakui Mazar-e-Sharif sebagai tempat ziarah utama. Yang datang ke sini umumnya hanya orang Afghan, atau paling jauh Pakistan, serta turis dan kaum ekspatriat mancanegara.

Makam Hazrat Ali adalah kebanggaan Afghan. Bangunan aslinya dibangun Sultan Sanjar dari Dinasti Turki Seljuk, namun diratakan oleh Sang Penghancur Jenghis Khan. Satu per satu dinasti Afghanistan kembali membangunnya. Sultan Baiqara dari Herat pada abad ke-15 mendirikan lagi makam ini, lengkap dengan kubah-kubah bergaya arsitektur Timurid seperti halnya bangunan kuno lainnya di Samarkand. Sultan Mahmud Ghaznavi dari Ghazni menghiasi tembok-temboknya. Bahkan sanak keluarga raja Pashtun, Amir Dost Mohammad pun dimakamkan di sini. Kini etnis Tajik dan Hazara membanjiri ruangan utamanya, menangis tersedu-sedu di samping sebentuk peti mati raksasa dari kayu. Kemegahan makam ini adalah hasil interaksi pelbagai suku dan etnis yang pernah hidup di Afghanistan dari berbagai lintasan roda zaman yang berbeda.

Seperti halnya Balkh, tempat yang menarik para peziarah ini juga tempat hidup para pengemis yang dengan sabar menantikan derma yang disedekahkan pengunjung. Kebanyakan pengemis ini adalah pria cacat dan janda perang, saksi hidup dari pertempuran panjang yang mengguncang negeri ini.

Shahidullah, misalnya, seorang pejuang perang pendukung komunis melawan Mujahiddin. Ia kehilangan satu kakinya dalam pertempuran di dekat Mazar. Perang berakhir, ia melanjutkan hidup sebagai orang cacat. Rekannya lebih parah lagi, kehilangan kedua kakinya dan ke mana-mana berjalan di atas kursi roda yang mirip mobil bentuknya, lengkap dengan setir dan tuas pengerem. Ia datang jauh-jauh dari Maimana, tiga ratus kilometer jauhnya dari sini, melintasi padang pasir tandus dan jalan berbatu.

”Jangankan hanya ke Mazar,” katanya bangga dengan senyum kemenangan tersungging di wajah gemuknya, ”Aku malah pernah ke Kabul dengan kursi roda ini.”

Azan Magrib berkumandang, para pria berbondong-bondong mendirikan salat. Di halaman masih duduk janda-janda perang berbalut burqa dengan bayi di gendongan, pria tak berkaki, bocah-bocah yatim dengan tatap mata malang. Malam menjelang, Rawza berkelap-kelip oleh lampu neon yang menerangi lekuk makam dan kubahnya. Sementara ribuan burung merpati berdatangan dari pengembaraan sepanjang hari. Suara kepak sayap mereka meresonansikan kekhusyukan yang berpendar.

Ziarah dan kematian adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak terpisahkan.

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Kota suci dengan makam suci (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Kota suci dengan makam suci (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Orang Afghan percaya, jenazah Ali bin Abi Thalib ada di sini (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Orang Afghan percaya, jenazah Ali bin Abi Thalib ada di sini (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Tubuh pemuda sudah membiru saat ditemukan dari dasar sungai (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Tubuh pemuda sudah membiru saat ditemukan dari dasar sungai (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Ahmad Shah Massoud, kematiannya selalu dikenang, dan posternya tersebar di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Ahmad Shah Massoud, kematiannya selalu dikenang, dan posternya tersebar di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Seorang pengemis di makam suci (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Seorang pengemis di makam suci (AGUSTINUS WIBOWO)

6.Perang menyebabkan jumlah penyandang cacat di negeri ini sangat tinggi (AGUSTINUS WIBOWO)

6. Perang menyebabkan jumlah penyandang cacat di negeri ini sangat tinggi (AGUSTINUS WIBOWO)

7.Perjalanan masih panjang (AGUSTINUS WIBOWO)

7. Perjalanan masih panjang (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Selimut Debu 77: Kematian di Kota Suci

  1. mas,semua chapter di buku Selimut Debu ada di web mu yah?

  2. I love it… Very Nice…:)

Leave a comment

Your email address will not be published.


*