Recommended

Selimut Debu 81: Visa Iran

Besok adalah hari kemerdekaan Indonesia, dan dari Herat sini kedutaan Indonesia yang paling dekat adalah di Teheran. Aku sungguh ingin melewatkan Agustusan tahun ini dengan teman-teman sebangsa. Mungkin karena hidup terlalu lama di jalan membuat rasa kebangsaanku sekarang jadi menggebu-gebu.

Teheran terletak di Iran. Itu sudah negara lain. Menurut informasi terbaru, Iran sudah memberikan fasilitas bebas visa untuk WNI yang berkunjung kurang dari dua minggu. Tapi kedutaan dan konsulat Iran memberikan informasi yang saling berlawanan tentang hal ini. Konsulat Iran di Peshawar, Pakistan mengatakan bahwa fasilitas bebas visa berlaku untuk semua perbatasan darat. Sedangkan kedutaan di Tashkent juga setuju, namun katanya cuma untuk satu minggu. Sedangkan kedutaan Iran di Jakarta tidak pasti tentang perbatasan darat dan menganjurkan aku untuk terbang ke Iran. Sedangkan kedutaan Iran di Kabul mengatakan aku memerlukan visa untuk berkunjung ke Iran dalam keadaan apa pun. Semakin bertanya, justru aku semakin pusing.

Konsulat Iran di Herat sudah penuh dengan ratusan pemohon visa yang berbaris mengular sampai 200 meter, bahkan pada pukul 8 ketika aku datang. Katanya orang Afghan sudah mulai mengantre sejak pukul 4, padahal konsulat baru buka pukul 7. Sepertinya tidak ada kesempatan untukku jika aku mengantre sekarang. Bisa sampai di Teheran besok? Lupakan saja!

Untunglah dengan songkok Indonesia yang tertempel di kepalaku, aku berhasil tampil “beda”. Para satpam menyeretku keluar dari antrean dan langsung menempatkan aku di barisan terdepan.

Dengan bahasa Inggris (walaupun aku bisa Farsi, tapi penting untuk menunjukkan aku benar-benar “orang asing”), aku bertanya soal perjanjian bebas visa antara Indonesia dan Iran. Si petugas menjawab, “Tidak tahu!” Petugas itu menyarankan aku langsung pergi ke perbatasan saja jika aku yakin bisa dapat bebas visa. Semula aku yakin, tapi karena begitu banyak informasi yang saling bertentangan, aku sekarang sudah tidak yakin.

“Kalau aku mengurus visa, bisakah aku dapat visa itu hari ini? Karena aku perlu menyeberang perbatasan hari ini juga,” kataku.

“Tidak. Setelah 4 sampai 5 hari kerja,” katanya sambil memberikan formulir untuk kuisi.

Aku perlu waktu 30 menit untuk memutuskan apakah akan mengisi formulir ini atau langsung saja go show ke perbatasan. Sedangkan orang-orang Afghan yang memohon visa itu harus meninggalkan paspor mereka di konsulat selama 10 sampai 12 hari, itu pun belum tentu dikabulkan. Sedangkan buatku, menunggu empat hari itu pun terlalu panjang, dan tahun ini tampaknya aku bakal melewatkan 17 Agustus lagi. Ya sudahlah, mungkin memang masih belum jodoh. Dalam perjalanan, memang tidak semua hal bisa mulus sesuai rencana. Daripada harus pergi langsung ke perbatasan tanpa jaminan apa pun juga sangat berisiko? Jadi, akhirnya aku memutuskan untuk mengisi formulir.

“42 dollars, Sir!” kata petugas visa yang sudah tua itu setelah memeriksa daftar harga di buku tebal. Aku juga memberikan surat perkenalan yang diterbitkan oleh Kedutaan Indonesia di Kabul.

Lelaki itu terkejut membaca surat itu. Tampaknya, surat perkenalan dari kedutaan tidak dibutuhkan untuk mengurus visa, sedangkan aku mengira surat itu hal yang wajib jadi aku sudah mengurusnya sejak jauh-jauh hari. Dia tampak puas dengan surat itu. Tanpa aku duga sama sekali, dia berkata, “OK. Datang lagi nanti jam 11 siang!”

Sekarang hampir jam 9, dan itu artinya dua jam lagi. Aku mengira dia menyuruhku datang lagi untuk wawancara di konsulat.

Aku datang lagi pukul 11. Loket tadi sudah ditutup. Masih ada beberapa loket lain yang terbuka, tetapi jumlah orang yang mengantre sudah turun drastis. Tiba-tiba, pasporku sudah dilempar keluar dari loket tanpa aku sempat bicara apa-apa. Dan sebelum sempat bicara apa-apa, loket itu sudah ditutup lagi.

Pelayanan macam apa ini?

Begitu aku membuka pasporku, betapa terkejutnya aku. WOW! Visa Iran sudah tertempel di pasporku. Visa Iran, dengan informasi yang dicetak komputer, telah tertempel dengan begitu rapi dan indahnya di halaman paspor. Aku mendapatkan visa dari negara yang terkenal pelit menerbitkan visa, hanya dalam dua jam! Sedangkan para pejalan lainnya sering harus menunggu berminggu-minggu, bahkan tidak sering visa mereka ditolak. Aku mendapatkan visaku tanpa wawancara, tanpa surat undangan, dan tanpa tes darah (Konsulat Iran di Peshawar minta tes darah, dan aku sepertinya tak mungkin lolos karena pernah kena hepatitis!).

Kau tidak akan pernah tahu seberapa dahsyatnya kekuatan sebuah surat yang diterbitkan Kedutaan kita!

Dalam sekejap, aku langsung lari ke hotel, mengepak semua barangku, dan mengucap selamat tinggal kepada Herat. Hari ini: Iran. Negara baru! Mata uang baru! Kehidupan baru! Aku bahkan tidak siap dengan kejutan yang terlalu tiba-tiba ini.

Perbatasan Afghanistan dengan Iran letaknya sekitar dua jam dari Herat. Perbatasan ini sangat sibuk, tetapi juga sangat ketat, baik dari sisi Afghanistan maupun Iran. Perbatasan ini letaknya 120 kilometer dari Herat, dan bisa dicapai dengan bus, Falang Coach, atau Volvo. Karena aku buru-buru harus ke Teheran malam ini juga (lebih dari 1000 kilometer jauhnya), aku tidak sungkan membayar US$1 lebih mahal untuk naik Volvo. Rambutku berkibar-kibar diterpa angin ketika mobil meluncur ke alah perbatasan Islam Qala.

Tiba-tiba ada tangan besar mencengkeramku keluar dari barisan.

Khareji! Orang asing!” Seorang polisi Afghan menggeretku ke arah polisi yang menjaga pintu kantor imigrasi.

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

1.Para pemohon visa Iran sempat berpose dulu sambil mengantre (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Para pemohon visa Iran sempat berpose dulu sambil mengantre (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Jalan menuju Iran, terkenal akan badai pasir yang dahsyat (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Jalan menuju Iran, terkenal akan badai pasir yang dahsyat (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Menumpang taksi menuju perbatasan (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Menumpang taksi menuju perbatasan (AGUSTINUS WIBOWO)

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Selimut Debu 81: Visa Iran

  1. Jadi, sebenarnya untuk WNI tetap butuh visa atau nggak mas? kalau hanya untuk kunjungan wisata 10 hari misal. Atau bisa VOA di airport? Web kedutaan iran untuk indonesia tidak bisa dibuka nih. Matur nuwun

Leave a Reply to Fahmi Anhar Cancel reply

Your email address will not be published.


*