Recommended

Selimut Debu 82: Beringas

Eksodus. Orang-orang Afghan ini seperti kesetanan, begitu buru-buru hendak meninggalkan negerinya sendiri, menuju Iran di balik gerbang sana.

Aku tercekat melihat barisan panjang ini. Barisan pria-pria berjubah shalwar qamiz menenteng barang bawaan berkarung-karung. Mereka marah, berteriak penuh emosi, seakan semakin keras berteriak dan semakin garang kepalan tangannya akan semakin cepat mereka sampai ke pos pemeriksaan paspor. Aku melangkah gontai masuk ke barisan. Melihat bahwa panjang barisan ini sudah lima puluh meter dan nyaris tak bergerak maju, entah sampai kapan kami akan menginjakkan kaki di Iran.

Matahari panas menyengat. Keringat mengucur deras. Orang-orang mengomel karena tidak efisiennya pos imigrasi Afghan. Sebenarnya kalau bukan karena lusinan polisi Afghan berseragam hijau abu-abu yang berkeliling dengan pentungan, pasti sudah sejak tadi para pelintas batas ini akan menyerbu loket imigrasi dengan beringas. Tiba-tiba ada tangan besar mencengkeramku keluar dari barisan.

Khareji! Orang asing!” Polisi menggeretku ke arah polisi yang menjaga pintu kantor imigrasi. Sebagai orang asing, ternyata ada fasilitas yang boleh kunikmati dan harus kusyukuri: aku bisa langsung memotong antrean panjang warga Afghan.

Untuk menyeberang ke Iran, warga Afghan harus melewati banyak pemeriksaan. Barang mereka digeledah dengan teliti. Opium termasuk komoditi yang sering diselundupkan lewat perbatasan ini. Tak heran, dengan lebih dari seribu orang pelintas batas setiap hari, menyeberang ke Iran adalah sebuah siksaan panjang di bawah teriknya matahari.

”Orang Iran adalah manusia paling kejam di dunia,” kata seorang pemuda Herat bercelana jins dan mengenakan kaus ketat trendi. Di mataku, dia sudah seperti pemuda modern dari kota maju. Rambutnya jabrik bergaya punk. Di dagunya, ia menyisakan segaris jenggot goatie, yang lagi trend di kalangan pemuda Teheran. Logat bahasa Farsinya mengalun lembut, terdengar sangat beradab, sungguh jauh berbeda dengan logat orang Kabul yang datar dan mengentak.

Dari penampilannya semula kukira dia orang Iran. Tetapi kebenciannya terhadap Iran berawal dari rasa bangganya sebagai orang Afghan, terlepas dari kenyataan sudah bertahun-tahun ia tinggal di Iran dan gaya hidupnya sudah terpengaruh gaya hidup Iran. ”Mereka adalah orang-orang arogan. Mereka memperlakukan orang Afghan seperti binatang. Dikiranya hanya mereka yang paling hebat di muka bumi ini, dan kami adalah pengemis!”

Ucapannya diamini oleh para pelintas batas lain yang berdiri di belakang. Kami sekarang berada di hadapan kantor imigrasi Iran, menantikan detik-detik akhir perjuangan menyeberang garis batas.

Ada seratusan orang Afghan yang terdampar di depan kantor ini. Pintu terkunci rapat. Di dalam gedung sudah ada puluhan orang yang hendak menyeberang, sedangkan petugas imigrasi Iran terbatas jumlahnya. Untuk menghindari kericuhan, polisi perbatasan membatasi jumlah orang yang masuk.

Di sini tak ada antrean. Budaya mengantre sepertinya bukan kultur orang Afghan yang terbiasa hidup di medan perang. Begitu gerbang dibuka, yang terjadi adalah tsunami manusia. Para pelintas batas ini sudah tak terbendung lagi hasratnya untuk segera menyeberang ke tanah impian. Mereka melompat, berteriak-teriak bak manusia yang hidup di hutan. Aku tergencet. Seorang kakek tua dengan empat barang gembolan tersungkur, terinjak-injak oleh para pemuda yang meloncat seperti kesetanan.

Gedung imigrasi Iran sebenarnya berukuran besar, tetapi terasa sempit dengan puluhan orang Afghan yang tak sabaran. Tidak beradab, aku mengumpat, ketika seorang pemuda berjubah menarik lenganku sampai aku terjatuh ketika ia berusaha melompati pagar pembatas untuk memotong antrean.

Pos imigrasi ini berubah bak hutan belantara. Ada yang main dorong, ada yang adu jotos. Beberapa lelaki bertengkar hebat, memperebutkan posisi untuk jadi yang terdepan. Aku terperangah melihat keliaran yang dipertontonkan tanpa rasa malu ini. Petugas imigrasi Iran, yang tampaknya sudah setiap hari menghadapi kekacauan ini, berteriak lantang hingga urat lehernya kelihatan.

Tapi suaranya tenggelam oleh keributan pria-pria beringas. Ia mengancam, ia tak mau melanjutkan kerja sebelum orang-orang Afghan ini mau berbaris tertib. Petugas berseragam hijau muda itu dengan marah membanting pintu biliknya, melempar tumpukan paspor biru Afghan ke tanah, dan pergi merajuk entah ke mana.

Kerumunan hening sesaat. Orang-orang Afghan ternganga melihat perlakuan yang mereka terima. Tetapi keheningan ini tak berlangsung lama.

Mereka kembali bertengkar berebutan memunguti paspor dari tanah tanpa rasa malu.

”Lihat betapa beringasnya orang Afghan,” kata Hamid, ”tak heran kalau orang Iran memandang kita begitu rendah.” Hamidullah sendiri sudah ter-Iranisasi. Seperti pemuda yang tadi, ia pun mengenakan celana jins ketat, sepatu hitam mengilat, kaus yang pas di badan. Kami bersama-sama menumpang taksi menuju Mashhad, kota terbesar kedua Iran yang letaknya sekitar empat jam dari perbatasan.

Jantungku masih berdegup kencang melihat suasana perbatasan yang ganas. Aku masih terhitung sangat beruntung, sebagai orang asing cuma butuh waktu dua jam untuk melintas. Sedangkan orang Afghan rata-rata butuh waktu lima jam, itu pun harus diperjuangkan dengan tenaga otot penuh ketangguhan. Tetapi begitu melintasi pos Iran, suasana mereda. Hanya dengan melintasi perbatasan, kebiadaban menjelma menjadi peradaban. Logat kasar dan teriakan berubah menjadi logat Persia yang lembut, mendayu-dayu, cenderung feminin. Yang tadi pakai jubah, langsung berganti kemeja dan celana panjang. Burqa tak lagi terlihat, berganti dengan chador hitam Iran yang panjang dan longgar.

Begitu menginjakkan kaki di Iran, aku mulai memahami perasaan superioritas mereka terhadap Afghanistan.

Aku merasa seperti mengarungi perjalanan dengan mesin waktu, melintasi dimensi zaman seratus tahun.

 

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

1.Perbatasan Afghanistan-Iran, sangat sensitif untuk fotografi (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Perbatasan Afghanistan-Iran, sangat sensitif untuk fotografi (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Selimut Debu 82: Beringas

  1. Bukunya keren banget mas, luar biasa (y) (y) (y)

  2. shara meiyandani // May 25, 2015 at 10:57 am // Reply

    saya jatuh cinta dengan apa yang anda tuliskan

Leave a comment

Your email address will not be published.


*