Recommended

Selimut Debu 83: Pakaian

Gerbang perbatasan ini memisahkan kehidupan sampai seratus tahun. Tidak peduli dari negara mana pun, bepergian menuju atau dari Afghanistan sama seperti melewati mesin waktu.

Kendaraan mobil Iran ini melaju menuju Mashhad di atas jalan beraspal mulus. Tak ada lagi penderitaan gurun berdebu dan menelan pasir sepanjang hari. Tak ada lagi keledai dan barisan domba yang bersaing ruas jalan dengan mobil dan motor. Tak ada lagi perempuan anonim di balik burqa. Tak ada jubah, serban, gubuk reyot, ranjau darat, bom, perang, dan kelaparan. Iran adalah negara modern. Toko-toko berjajar rapi. Makanan yang populer di sini adalah burger dan sandwich, dijual dengan minuman bersoda produksi dalam negeri. Blokade ekonomi menyebabkan negeri ini mandiri, hampir semua barang adalah produksi dalam negeri. Mobil kuno Paykan melaju di jalan, menyemburkan asap hitam. Terminal bus Mashhad adalah bangunan besar yang bersih, dengan berbagai perusahaan angkutan yang kantornya sudah setara dengan biro travel maskapai udara di Indonesia. Karcis bus dicetak rapi dengan komputer, dengan kertas dan penampilan mirip tiket pesawat, padahal harganya teramat murah—60.000 Rial (saat ini setara dengan Rp 60.000) untuk perjalanan seribu kilometer sampai ke Teheran. Bus berjajar rapi menunggu jam keberangkatan. Tak ada tanah yang lengket karena oli bocor atau sampah bertebaran. Semua begitu teratur.

Pada tengah malam pun, jalanan terang benderang. Lampu jalan berbaris dari Mashhad hingga ke Teheran. Entah berapa abad lagi Afghanistan akan punya jalan beraspal mulus di seluruh pelosok negeri beserta penerangan lampu jalan di mana-mana. Rumah orang Afghan masih diliputi gelap gulita, cuma diterangi temaram lampu minyak, bahkan di ibu kota Kabul sekalipun.

Bus yang kami tumpangi tiba-tiba dihentikan di tengah jalan. Ini adalah pemeriksaan keempat dalam perjalanan bus dari Mashhad menuju Teheran. Setiap kali polisi naik ke dalam bus, yang diperiksa hanyalah orang Afghan.

”Hei, kamu! Irani atau Afghani?” bentak tentara muda berseragam ketat hijau muda.

”Afghan, Tuan!” jawab seorang penumpang tua.

“Turun! Turun! Bawa barangmu, semua!” tentara itu memerintah dengan nada kasar kepada lelaki Afghan yang seharusnya sudah seumuran bapaknya. Para penumpang Afghan dibariskan di samping bus, disuruh membuka tas bawaan masing-masing, dan diperiksa dengan teliti oleh beberapa tentara yang menunggu di bawah.

Apakah menjadi orang Afghan identik dengan kriminal yang patut dicurigai? Apakah menjadi Afghan identik dengan penyelundup opium? Perlakuan seperti inikah yang menyebabkan kebencian terhadap orang Iran?

Mayoritas penumpang di bus ini adalah orang Iran, hanya beberapa yang Afghan. Namun dari semua orang ini, cuma aku yang masih memakai shalwar qamiz lusuh yang lengket karena keringat dan telah dipakai tanpa dicuci sejak sebulan lalu, lengkap dengan rompi hitam yang sudah menjadi abu-abu, dilengkapi syal kumal. Semua penumpang Afghan lainnya sudah berganti pakaian modern seperti halnya Hamidullah.

Seorang penumpang lelaki Iran semula sinis karena mengiraku orang Afghan, langsung berbalik sikap begitu mengetahui kewarganegaraanku.

“Kamu itu orang dari negara beradab, kenapa masih memakai baju seperti ini?” katanya.

Apakah peradaban hanya dinilai dari baju?

Aku pun sebenarnya masih terhenyak oleh realitas yang aku hadapi di Iran. Tak kusangka, negeri ini sungguh jauh berbeda dengan negara tetangganya. Aku masih berpikiran bahwa Iran masih hidup tradisional, kaum prianya mengenakan jubah seperti halnya orang Afghan atau Pakistan. Tetapi ternyata mode pakaian laki-laki yang populer di sini adalah kemeja, kaus, dan celana jins ala Barat.

Tak pernah aku merasakan kehilangan kepercayaan diri secara total seperti sekarang ini. Sudah lebih dari sembilan pejalan kaki yang berhenti, mengamatiku dari ujung kepala sampai kaki, lalu tertawa cekikikan.

Apa yang lucu? Aku hanya salah pakai kostum, berjalan di tengah belantara kota modern Teheran dengan mengenakan jubah shalwar qamiz kumal. Aku seperti orang yang baru turun gunung, Tarzan masuk kota. Di dalam kereta api bawah tanah Teheran yang modern, aku duduk menunduk, tak berani bertatap mata dengan siapa pun. Aku tahu ada sekelompok tentara muda yang berbisik-bisik sambil terpingkal. Penampilanku juga mengundang olok-olok dari para pemuda trendi berkaus ketat warna hijau muda dan pink, dengan model rambut jabrik, dan celana jins berdekorasi rantai mungil. Hari Kamis adalah akhir pekan di sini, para pemuda berpakaian necis untuk berkencan atau berpesta. Sedangkan aku? Ah… terlalu memalukan untuk diungkit.

Rendah diri. Terhina. Betapa tembok kepercayaan diriku ambrol hanya gara-gara pakaian Afghan yang kukenakan. Baju ini, sudah cukup untuk menihilkan semua identitasku. Baju ini bukan lagi sekadar penutup aurat, tetapi sudah menggeret berbagai nilai negatif.

Tapi setidaknya aku harus bersyukur. Rasa malu gara-gara pakaian Afghan yang melekat di tubuhku ini hanya sementara. Aku tahu, begitu pakaian ini kulepas dan berganti dengan pakaian ala Barat, maka momok prasangka dan pandangan sinis yang tertuju ke arahku pun akan hilang dengan sendirinya. Sedangkan identitas ke-Afghan-an akan terus melekat di tubuh para pengungsi Afghan selama mereka tinggal di negeri ini. Setiap saat mereka harus menerima perlakuan sewenang-wenang hanya karena identitas yang dianggap rendah itu. Logat bahasa, postur tubuh, karakter, status, kewarganegaraan, bukanlah sekadar jubah shalwar qamiz yang mudah dicopot pasang.

Sejak dari perbatasan Islam Qala, aku belum sempat berhenti sejenak, bahkan untuk berganti pakaian. Sekarang aku menyusuri jalanan yang ramai di Teheran utara. Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, aku mencari alamat Kedutaan Indonesia. Seorang polisi menghentikanku, memeriksa pasporku. Aku dicurigai sebagai orang Afghan, dan ini sudah cukup jadi alasan sebagai target pemeriksaan. Puas dengan dokumenku, ia kemudian menunjukkan alamat kedutaan.

Dengan beban ransel berat di punggung, aku berjalan menuju Jalan Pakistan, seperti yang ditunjukkan polisi itu. Kaki ini sudah hampir putus rasanya ketika aku berdiri di hadapan kedutaan. Gedungnya kelabu, besar dan bertingkat. Bendera besar berkibar di puncaknya.

Hitam. Merah. Hijau.

Bendera Afghanistan!

 

 

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

1.Melintasi perbatasan Afghanistan-Iran seperti melintasi pintu waktu. Mashhad, kota Iran terdekat dari Afghanistan ini menawarkan listrik, sistem, peradaban, modernitas. (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Melintasi perbatasan Afghanistan-Iran seperti melintasi pintu waktu. Mashhad, kota Iran terdekat dari Afghanistan ini menawarkan listrik, sistem, peradaban, modernitas. (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Menumpang “Volvo” menuju Teheran, hanya 6 dolar untuk jarak 1.000 kilometer (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Menumpang “Volvo” menuju Teheran, hanya 6 dolar untuk jarak 1.000 kilometer (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Mata uang rial nilainya hampir sama dengan rupiah. (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Mata uang rial nilainya hampir sama dengan rupiah. (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Setelah perjuangan panjang dan berlari-lari mengejar, akhirnya berhasil juga merayakan 17 Agustus di KBRI Teheran (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Setelah perjuangan panjang dan berlari-lari mengejar, akhirnya berhasil juga merayakan 17 Agustus di KBRI Teheran (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Ibukota Teheran (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Ibukota Teheran (AGUSTINUS WIBOWO)

6.Kereta api bawah tanah di Teheran (AGUSTINUS WIBOWO)

6. Kereta api bawah tanah di Teheran (AGUSTINUS WIBOWO)

7.Mereka percaya, bangsa mereka adalah yang paling rupawan di dunia. Para pemuda pun jago berpose di depan kamera. (AGUSTINUS WIBOWO)

7. Mereka percaya, bangsa mereka adalah yang paling rupawan di dunia. Para pemuda pun jago berpose di depan kamera. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

4 Comments on Selimut Debu 83: Pakaian

  1. Haha… nyampainya di kedutaan Afghan dong….

  2. angklung dan kebaya. indonesia bagus.

  3. Erly Nofianti // April 25, 2020 at 4:57 am // Reply

    Saya seorang Ibu memory anak tiga, dari dulu saya ingin mengelilingi Indonesia dan dunia, namun keburu nikah, tapi dengan membaca tulisan mas Agustinus, saya seperti melihat’negara negara yang mas cerita kan, visual nya jelas sekali di kepala saya, walaupun saya cuma baca darah kamar, terima kasih atas tulis Anya yang menginspirasi sekaligus membuka saya makin bersyukur akan hidup dan tanah air Indonesia

Leave a Reply to Emie Suhermi Cancel reply

Your email address will not be published.


*