Recommended

Selimut Debu 84: Menjadi Afghan

“Aneh. Kalau di Afghanistan, kami tidak lebih dari sekadar Hazara. Tetapi di sini, kami jadi Afghan,” kata Sadeq. Dia adalah seorang pekerja Hazara yang kini tinggal di kota tua Yazd di Iran tengah.

Keluarga Sadeq sudah lama tinggal di Yazd, bertahun-tahun. Ia termasuk pekerja resmi, punya kartu penduduk Iran, dan anaknya boleh pergi sekolah. Kampung halamannya ada di Ghazni, di selatan Kabul. Di Ghazni, mayoritas penduduknya adalah Pashtun, tetapi banyak juga terdapat kampung yang menjadi kantong etnis Hazara.

Seperti halnya kebanyakan orang Hazara dan suku-suku minoritas di Afghanistan, Sadeq semula tidak merasa dirinya sebagai bagian dari ”Afghan”, yang lebih identik dengan bangsa mayoritas Pashtun.

”Dulu, nama Afghanistan adalah Ariana,” jelas Sadeq, ”Ariana adalah negeri bagi kita semua. Sedangkan, Afghanistan berarti tanah bangsa Afghan, hanya milik orang Pashtun.”

Ariana adalah nama kuno yang sudah ada lebih dari tiga ribu tahun silam, termaktub dalam kitab suci umat Zoroaster. Ariana, atau Aryana, tanah bangsa Arya, oleh kaum nasionalis Afghanistan sering digunakan untuk merujuk pada Afghanistan modern dengan masa lalunya sebagai tempat hidup bangsa Arya, bangsa yang selalu bangga akan superioritas dan kesempurnaannya. Kulit mereka putih bersih, menambah keindahan raut wajah mereka dengan garis-garis yang tegas dan kuat. Hidung menjulang tinggi, mengimbangi sepasang mata besar bersinar. Bukan hanya karakter fisik yang menonjol, bangsa Arya pun bangga akan peradaban mereka yang lebih maju daripada suku-suku ”terbelakang” berkulit gelap. Bangsa Persia, termasuk Farsi di Iran dan Tajik di Afghanistan, adalah keturunan bangsa Arya ini.

Sedangkan nama Afghanistan baru muncul pada zaman Raja Ahmad Shah Durrani dari Kandahar. Ahmad Shah, seorang Pashtun, menamai daerah kekuasaannya ‘Afghanistan’, tanah bangsa ‘Afghan’. Hingga awal abad ke-20, nama ‘bangsa Afghan’ selalu hanya merujuk pada etnis Pashtun. Lama kelamaan, etnis-etnis lain yang tinggal di wilayah negeri ini pun disebut sebagai ‘orang Afghan’.

Namun kebanggaan terhadap Ariana, yang jauh lebih tua umurnya daripada Afghanistan, tak pernah luruh. Maskapai penerbangan Afghanistan dinamai Ariana Afghan Airlines. Nama Ariana masih banyak digunakan, mulai dari nama stasiun televisi, hotel, restoran, hingga nama orang.

Lagi-lagi dalam masalah klaim kebanggaan masa lalu ini Afghanistan tak sendiri. Iran pun menyimpan kebanggaan sebagai keturunan bangsa Arya. Nama ‘Iran’ juga berasal dari ‘Aryan’, tempat tinggalnya bangsa yang mulia. Di India, dalam kitab-kitab kuno Sanskerta, termasuk Ramayana dan Mahabarata, ‘Arya’ merujuk pada golongan manusia berkasta tinggi, kaum bangsawan yang mulia, berbudi pekerti luhur, juga berkualitas sempurna secara spiritual. Adolf Hitler dari Jerman dengan gerakan Nazi-nya, juga mendengung-dengungkan kesempurnaan bangsa Arya – bangsa kulit putih – yang diciptakan untuk memimpin dunia.

”Sebenarnya, apa pun etnisnya tak masalah,” kata Najibullah, saudara kandung Sadeq, ”memang benar, kami ini semua dari Afghanistan. Jadi kami ini orang Afghan.”

Identitas nasional selalu menjadi permasalahan di negeri multietnis. Di Afghanistan, jatidiri ke-Afghan-an pun masih menjadi permasalahan yang mengakar. Perasaan kesukuan begitu mencuat. Aku teringat bagaimana para pendatang Tajik di Bamiyan memperingatkanku bahwa Hazara adalah orang ”berbahaya”, dan bagaimana orang Hazara serta-merta menuduh para penjinak ranjau Tajik sebagai ‘pencuri’. Tak kurang pula orang Pashtun yang tak sudi berbahasa Dari—bahasa kaum Tajik dan Hazara, karena perasaan superioritas mereka.

Seorang kawan jurnalis Australia yang bekerja di Indonesia pernah berkisah tentang seorang pengungsi Afghan di Jakarta—seorang pria Hazara, yang dimintainya mengajari bahasa Dari. Pelajaran pertama, bukannya ”Ini ibu Budi, ini bapak Budi”, melainkan: ”Ini Hazara. Ini Tajik. Ini Pashtun….” Si orang Afghan masih menambahkan, ”Kamu harus ingat, ini hal yang paling penting dan mendasar dalam belajar bahasa Dari!”

Perasaan kesukuan yang mencuat di Afghanistan lebih hebat lagi gara-gara perang saudara yang melanda sejak Rusia meninggalkan Afghanistan. Faksi-faksi Mujahiddin saling bertarung, suku-suku saling bantai, benci dan dendam semakin menghantui masa depan Afghanistan.

Justru ketika berada di luar negaranya, Sadeq, Najibullah, dan keluarga mereka, semakin merasa jati diri mereka sebagai ”Afghan” semakin kuat. Tak jarang, jiwa nasionalisme malah terbentuk ketika seseorang berada di luar negeri, ketika mengalami perasaan senasib sepenanggungan dengan rekan-rekan dari negara yang sama, dan memahami realitas hidup kampung halaman dari ”luar kotak”. Semakin Najibullah merenung, semakin ia menyadari hakikat dari semangat Afghan.

“Orang Afghan adalah bangsa yang pantang menyerah. Kami sanggup menderita, bertahan hidup dalam tantangan alam sekeras apa pun,” katanya.

Di Iran, orang Afghan tinggal dalam kondisi yang terbilang mengenaskan. Rumah tempat tinggal Sadeq sekeluarga adalah bangunan sederhana dari batu bata, tidak dicat. Lantainya hanya ditutup permadani murahan. Ruangannya lebar, namun gelap. Tak ada furnitur, semua duduk di lantai. Di sudut ruangan ada televisi dan vas bunga.

Setidaknya ini sudah jauh lebih baik daripada rumah tinggal di Afghanistan pada umumnya. Juga masih lebih baik daripada penampungan pendatang Afghan ilegal di Teheran, misalnya, yang tidur di kemah-kemah dari serat karung di pinggiran proyek bangunan.

Menjadi ”Afghan” berarti menjadi berani, tahan banting, dan pantang mundur. Mungkin itulah benang merah yang menyatukan berbagai suku bangsa yang mendiami Afghanistan.

 

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

1.Pengungsi Afghan sering direndahkan oleh orang Iran (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Pengungsi Afghan sering direndahkan oleh orang Iran (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Mereka mau melakukan pekerjaan apa pun yang tidak mau dilakukan oleh orang Iran (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Mereka mau melakukan pekerjaan apa pun yang tidak mau dilakukan oleh orang Iran (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Bagaimanapun juga, kehidupan di sini masih lebih nyaman daripada di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Bagaimanapun juga, kehidupan di sini masih lebih nyaman daripada di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

7 Comments on Selimut Debu 84: Menjadi Afghan

  1. Gaya bercerita yg khas.. Selalu menarik untuk di baca. 🙂

  2. Alangkah senangnya orang Afgan di Puncak……

  3. Mari Kita berdoa Agar Bangsa mereka bisa lebih baik lagi… Mas Agusmemang keren abis dalam menceritakannya. 🙂

  4. miris mlihat org2 afghanistan

Leave a Reply to Masfiah Isnaini Cancel reply

Your email address will not be published.


*