Recommended

Selimut Debu 86: Hari Massoud

Orang mengingatkanku untuk selalu berhati-hati dengan perbatasan Iran dengan Afghanistan, karena pemeriksaan bisa sangat panjang.

Ya, Iran selalu khawatir dengan tetangganya yang lucu ini, yang selalu dicurigai sebagai pemasok opium dan pengungsi. Tapi tidak demikian dengan sebaliknya bukan? Aku rasa, karena aku menyeberang dari Iran ke Afghanistan, seharusnya semua berjalan lancar.

Benar saja. Semua lancar. Malah terlalu lancar. Aku tidak pernah melihat imigrasi perbatasan yang selonggar imigrasi Afghanistan ini. Aku sudah menyodorkan pasporku tepat di halaman visa, sehingga si petugas Afghan tinggal mengecap. Petugas itu langsung mengecap, tanpa menghabiskan sedetik pun untuk melihat visa itu, melihat halaman depannya, atau bahkan untuk melihat wajahku. Tanpa registrasi, tanpa wawancara, tanpa rewel.

Proses imigrasi hanya memakan waktu 3 detik. Ini adalah proses yang paling cepat dan efisien yang kualami. Dan berita gembira lainnya, tidak ada pula pemeriksaan barang di bea cukai. Datang dari Iran, kita semua dianggap sebagai makhluk tak berdosa.

Meninggalkan gerbang perbatasan Islam Qala, aku seperti masuk ke mesin waktu lagi, meloncati dimensi waktu dan mundur ke masa lalu, dari modernitas kembali ke realita negeri berselimut debu.

Debu, dalam artian harfiah, lekat dengan kehidupan penduduk Herat. Di bagian timur kota ini, hingga ke perbatasan Iran, terbentang gurun pasir luas. Selama 120 hari dalam setahun, angin bertiup kencang hingga suaranya mendesing menyeramkan, menyemburkan debu ke segala arah. Angin ini tersohor dengan nama “angin 120 hari” menimbulkan badai pasir dari musim semi hingga ke awal musim gugur. Badai pasir melanda hingga menenggelamkan jalan, beterbangan hingga ke rumah-rumah lempung yang tersebar di gurun, menembus cerobongnya, masuk ke kamar tidurnya, dan merasuki setiap manusia yang tinggal di sini.

Herat, sepintas lalu tampak sangat modern ketika aku baru datang dari Maimana, bahkan lebih tertata dan rapi daripada Kabul. Jalan raya lurus dan teratur bersilangan di pusat kota. Listrik terjamin ketersediaannya, hampir selama 24 jam setiap hari. Taman kota yang sejuk mengimbangi barisan toko baru yang menjual peralatan elektronik, telepon genggam, dan mode pakaian terbaru. Restoran cepat saji pun menjamur di mana-mana. Masjid kuno berdiri tegak, berhiaskan menara-menara indah peninggalan peradaban masa lalu yang gemilang, berpadu dengan dinamisme kota modern yang terus berputar.

Tapi modernitas memang relatif. Begitu menginjakkan kaki kembali ke Herat dari Iran, arlojiku seperti diputar mundur seratus tahun, plus beda waktu satu jam. Jalan beraspal yang kuingat begitu mulus ternyata penuh bopeng. Lalu lintas tampak semrawut, campur aduk antara truk, rickshaw, mobil sedan, Falang Coach, kereta kuda, keledai, gerobak yang ditarik bocah-bocah. Imaji pemuda Afghan berkaus ketat dan jins modern di Iran terhapus oleh para kerumunan pria berjenggot dengan jubah shalwar qamiz panjang, syal kotak-kotak, peci. Menara-menara kuno yang tinggi menjulang ternyata sudah bopeng, doyong, mungkin segera roboh.

Herat tetaplah Afghanistan. Yang menjadi pujaan hati di sini adalah Ahmad Shah Massoud, pahlawan Tajik dari Lembah Panjshir, lebih dari seribu kilometer jauhnya dari sini. Lembah Panjshir, namanya berarti ‘lima singa’, terkenal karena keganasan dan keberanian para petarungnya. Letaknya sekitar 100 kilometer di utara Kabul. Namun poster Ahmad Shah Massoud terpampang di banyak persimpangan jalan, tembok, gedung pemerintah, dan poster yang tersebar di seluruh penjuru Herat. Hari-hari belakangan ini, sentimen memorabilia terhadap Massoud menjadi-jadi, karena Afghanistan sedang bersiap memperingati lima tahun syahidnya sang pahlawan nasional.

Lima tahun lalu, tepat dua hari sebelum serangan 11 September 2001 yang mengguncang Amerika Serikat dan dunia, Massoud yang pemimpin besar pejuang Mujahiddin Afghanistan tiba-tiba terbunuh.

Massoud terkenal karena perjuangannya yang anti fundamentalisme. Ia dijuluki ”Singa dari Panjshir” karena keberaniannya. Dunia Barat sering menggambarkannya sebagai pahlawan karena kegigihannya melawan Taliban. Sang ”pahlawan” sudah terbiasa dengan pemberitaan. Tanggal 9 September, ia menerima dua wartawan asing, yang mengaku sebagai keturunan Arab dari Eropa. Tepat ketika Massoud sedang berkonsentrasi menjawab pertanyaan, wartawan gadungan ini meledakkan bom yang disamarkan sebagai kamera profesional. Massoud wafat, bersama pelaku pembunuhan berencana itu.

Berita kematian Massoud membangkitkan ratapan. Ribuan orang mengiringi prosesi penguburannya. Tetapi berita besar ini seakan tenggelam di kancah dunia karena nyaris berbarengan dengan serangan World Trade Center yang kontroversial.

Presiden Hamid Karzai kemudian mengangkat Massoud sebagai Pahlawan Nasional, dan menyatakan hari wafatnya Massoud sebagai hari libur nasional. Semua stasiun televisi menyiarkan program mengenang perjuangan dan kematian Massoud. Film dokumenter tentang perjalanan hidupnya yang diproduksi Prancis ditayangkan sepanjang hari. Orang-orang Uzbek Maimana di kedai teh tempat aku menginap begitu antusias duduk di hadapan televisi, mendengarkan dengan saksama setiap kata yang terucap. Beberapa di antara pria berjenggot ini bahkan menangis tersedu-sedu tepat pada bagian Massoud diwawancarai dan dibunuh dengan ledakan bom.

Di kota kuno Herat, pemilik kios kelontong menanyakan agamaku. Di negara ini, pertanyaan tentang agama selalu mengawali perkenalan. Pemilik kios mendesah kecewa, ”Ah, sayang, kamu bukan Muslim.” Ia kemudian berbalik arah, mencari selembar poster dari tumpukan barang. ”Kamu tahu, gambar siapa ini?”

Tentu saja. Itu gambar Ahmad Shah Massoud, sedang tersenyum, mengenakan topi pakol cokelat yang bertengger miring di atas kepala.

”Massoud adalah pahlawan besar. Kebanggaan kami,” kata pemilik kios menampakkan senyum lebar, ”Dia orang baik. Dan tentu saja, dia Musliman!”

 

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Di tengah badai pasir dalam perjalanan menuju Herat (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Di tengah badai pasir dalam perjalanan menuju Herat (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Herat adalah kota yang religius, dengan peninggalan masjid berusia 800 tahun (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Herat adalah kota yang religius, dengan peninggalan masjid berusia 800 tahun (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Dulu kota ini adalah “hutan menara”, dengan lebih dari dua puluh menara berdiri di sini. Sekarang hanya tersisa lima (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Dulu kota ini adalah “hutan menara”, dengan lebih dari dua puluh menara berdiri di sini. Sekarang hanya tersisa lima (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Keluarga Uzbek membuka warung dan penginapan di Herat (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Keluarga Uzbek membuka warung dan penginapan di Herat (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Bergaya dengan kacamata (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Bergaya dengan kacamata (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*