Recommended

Selimut Debu 87: Petualangan Legendaris

Sekitar lima ratus tahun lalu, perjalanan yang kulalui ini adalah petualangan akbar dan legendaris dari seorang raja besar.

Raja Babur adalah pendiri Dinasti Moghul, yang meninggalkan bangunan megah di Taj Mahal di India. Babur berasal dari daerah yang sekarang wilayah Uzbekistan, dikejar-kejar dan mau dibunuh sehingga lari ke Afghanistan. Di negeri ini, petualangannya dimulai dari Herat, tempat ia mencari perlindungan pada Sultan Baiqara. Herat kala itu sudah menjadi pusat peradaban, seperti halnya Bukhara dan Samarqand. Masjid agungnya bersinar, perdagangannya maju, dan militernya kuat. Tetapi Babur tak betah tinggal di kalangan keluarga istana yang penuh intrik politik. Bersama para pengikutnya yang setia, ia berangkat menuju ke Kabul. Ia tak memilih jalan lewat Kandahar yang lebih mudah. Ia justru memilih jalur Lintas Tengah Afghanistan, menembus pegunungan Ghor dan Bamiyan. Tapi ini malah menjadi perjalanan yang paling mematikan dalam hidup Babur.

Aku pun akan melalui lintasan yang kira-kira sama dengan yang diambil Raja Babur. Abad milenium tentunya jauh berbeda dari abad pertengahan. Namun satu fakta yang tidak berubah, jalan ini tetap sulit dilewati, diperuntukkan hanya bagi mereka yang punya keteguhan baja dan tahan banting.

Seorang kakek tua dengan sekarung gembolan di pundak, mirip Sinterklas, duduk di sampingku di dalam bus berkarat. Jenggotnya pun lebat, berwarna putih kelabu, hanya dia tidak berbaju merah dan tidak gemuk, kurus kering malah. Jubah kakek penuh lubang dan tambalan di sana-sini. Mulutnya menyemburkan bau bawang merah ketika berbicara.

“Mau ke mana?” tanyanya.

“Cheghcheran. Di provinsi Ghor,” jawabku.

“Kamu dari mana?”

“Indonesia.”

“Kamu Hazara?”

Aku menggeleng. ”Bukan Hazara. Indonesia.”

“Aha. Indonesha? Indonesha, Afghanistan sebelah mana?” si kakek masih menginterogasi. Mungkin aku memang mirip Hazara pulang kampung, apalagi aku sekarang mengenakan jubah dan celana kombor shalwar qamiz tradisional Afghan lengkap dengan syal kotak-kotak dan topi putih, plus wajah Mongoloid, sudah berapa hari tidak mandi, dan baju pun teramat lusuh tak pernah dicuci. Aku pun bicara bahasa Persia dengan campuran logat Iran. Sama sekali tak terbayang bagi si kakek kalau aku orang asing. Bahkan ketika aku menjelaskan kalau Indonesha itu di luar Afghanistan, ia tetap tak percaya dan menuduhku bohong.

Kakek ini adalah petani miskin dari Obey, yang baru menjual kentangnya di pasar Herat. Hasilnya tak banyak, tak sampai 200 Afghani, empat dolar. Dunianya hanya ladang Obey dan pasar Herat.

Jalan beraspal dari Herat terbentang ke timur hingga ke Obey. Tetapi ini adalah tempat terakhir aku melihat jalan beraspal. Kelak berminggu-minggu ke depan, jalan beraspal adalah sebuah kemewahan yang akan menemani mimpiku setiap hari. Aku bersiap masuk menembus dataran tinggi Afghanistan tengah, mengarungi kerut-kerut pegunungan tandus, kosong dan gersang.

Dua jam dari Obey, sampailah aku di Chisht-e-Sharif setelah melintasi jalan berdebu tebal, dengan perumahan penduduk dari tanah lempung dengan atap berkubah-kubah, ditambah dengan menara angin yang berfungsi mengalirkan angin sejuk ke dalam rumah.

Dusun kecil di bagian timur provinsi Herat ini adalah salah satu tempat ziarah terpenting. Sebelum Afghanistan diamuk perang, Chisht-e-Sharif adalah tempat yang ramai oleh para peziarah yang rela datang jauh-jauh dari India. Hari ini, Chisht adalah dusun sepi, dengan sedikit kios semrawut, sebuah masjid ziarah, dan dua buah reruntuhan kubah. Di sekitar kubah, lima orang tentara muda berpatroli. Mereka berseragam hijau muda, hanya memakai sandal, tetapi di badannya terselempang bedil Kalashnikov.

“Untuk apa Kalashnikov? Ya tentu saja untuk menembaki Taliban,” kata seorang dari antara mereka, terkekeh. Adakah Taliban di sini? ”Tidak. Tentu saja tidak ada. Mereka takut pada kami!” kata yang lain, menebar senyum bangga.

“Kamu tak perlu khawatir. Kami akan membantumu mencari kendaraan. Semua truk yang lewat pasti berhenti di sini. Nanti kami bermain siyasat, sopir pasti tak akan menolakmu. Kamu bisa ke mana saja, gratis!” kata tentara ketiga dengan yakin, sambil memamerkan Kalashnikov-nya, seakan menambahkan bahwa bedil itu adalah bagian penting dari taktik siyasat-nya.

Aku duduk bersama para tentara. Senja mulai menjelang. Selain seekor keledai yang melintas, dan gadis-gadis lima tahunan yang sudah dibungkus burqa, hanya ada sebuah truk yang menuju Herat. Dari arah berlawanan, tak tampak kendaraan sama sekali.

Hari mulai gelap.

“Kamu datang saja lagi ke sini besok. Pasti banyak truk lain,” kata tentara berumur tujuh belas tahun ini. Aku terpaksa melangkah gontai menuju bazaar.

Bazaar sering kali menjadi barometer kehidupan di Afghanistan. Pasar desa ini sangat sepi, seperti kehidupan dusunnya yang tenang. Seharusnya banyak kendaraan yang lalu lalang di sini, karena ini jalur utama menuju provinsi Ghor. Tetapi, di sini kita jangan terlalu banyak bicara ”seharusnya”, ”seyogyanya”, ”logikanya”. Sehari ada sepuluh truk yang lewat saja sudah terbilang luar biasa.

Kakek Iqbal adalah pemilik warung yang merangkap penginapan bagi musafir. Menu andalannya adalah nasi daging. Nasinya putih seperti di Indonesia. Tak pakai minyak, tak banyak bumbu. Orang Afghan umumnya tak terlalu suka nasi seperti ini, dan lebih memilih nasi palao yang kaya rasa. Tubuh Kakek Iqbal kurus, tetapi rezekinya bagus. Jenggotnya putih dan panjang, tetapi semangatnya masih menyala. Karena jarang sekali ada orang asing datang, ia langsung menggelar matras terempuk dan selimut tebersih untukku. Tak lupa ia memanggil semua anak dan pegawainya untuk berpose di setiap sudut warung, minta dipotret. Setiap jepretan pasti mengundang derai tawa tiada habis.

”Jangan khawatir,” katanya, ”aku pasti bantu mencari truk tumpangan. Jangan kamu percaya dengan tentara. Sopir truk pasti enggan mengangkut orang yang berhubungan dengan tentara, karena tentara sukanya menumpang gratis. Kamu sanggup membayar, kan? Asal mau bayar, tak ada masalah.”

Petualanganku berikutnya adalah berkeliling Afghanistan dengan menumpang truk. Siap berangkat!

 

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Reruntuhan sejarah  (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Reruntuhan sejarah (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Perjalanan legendaris (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Perjalanan legendaris (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Para tentara di gerbang desa (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Para tentara di gerbang desa (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Perjalanan adalah perjuangan (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Perjalanan adalah perjuangan (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Para musafir di atas truk (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Para musafir di atas truk (AGUSTINUS WIBOWO)

6.Mungkin aku pun harus pergi dengan keledai? (AGUSTINUS WIBOWO)

6. Mungkin aku pun harus pergi dengan keledai? (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

4 Comments on Selimut Debu 87: Petualangan Legendaris

  1. Aku juga ingin melakukan perjalan, tapi saat. ini masih sebatas mimpi dan entah bagaimana kelak mewujudkannya.

  2. Bagus sekali ya…

  3. Membaca tulisanmu seperti absurd, dongeng yg kenyataan atau sebaliknya.
    Tetaplah berpetualang walau hanya sejengkal ya Gus, lalu ceritakan kepada kami 🙂

Leave a Reply to Iin Kusumastiwi Cancel reply

Your email address will not be published.


*