Recommended

Selimut Debu 90: Pasti Ketemu

Kerusakan yang dialami truk Kalandar kali ini teramat parah. Sekarang, giliranku untuk berjuang sendirian.

“Tak ada harapan,” kata Kalandar, ”Maaf, kami tak bisa membawamu lebih jauh lagi. Malam ini kami pun terpaksa tidur di sini. Kamu cari kendaraan lain saja. Kamu sebaiknya berhenti sampai Garmao, bukan di Kamenj. Kalau tidak ada kendaraan, berhenti saja di desa berikut.”

Aku melangkah gontai menuruni bukit. Hati kosong. Bagaimana kalau mesti terjebak di jalan pegunungan ini? Tak ada listrik yang menerangi kegelapan malam, tak tahu harus melangkah ke mana. Bagaimana kalau desa berikut penduduknya tak ramah? Bagaimana kalau diserang perampok atau serigala di tengah jalan? Bagaimana kalau terpaksa tidur di jalan? Dinginnya malam pegunungan sungguh tak terbayang, apalagi aku tak punya cukup baju hangat.

Setengah jam berjalan, tiba-tiba sebuah Falang Coach melintas. Berlalu begitu saja. Lalu sepeda motor, juga tak menghiraukanku yang berjalan sendirian. Aku terus berjalan menuruni bukit.

Aku melihat bayangan mobil berhenti di tepi sungai di bawah sana. Ah, pertanda baik. Sekarang waktu salat Magrib, dan orang Afghanistan tidak akan mau terlambat barang semenit pun untuk mendirikan salat. Aku bergegas ke arah mobil yang sekitar setengah kilometer di bawah. Semoga mereka belum berangkat.

“Tolong… aku orang asing,” aku merengek memelas di hadapan sopir colt, ”sekarang sudah malam dan aku tak tahu hendak ke mana. Aku cuma ingin sampai ke Garmao.”

Sopir mendengar nada keputusasaanku. Sebenarnya mobil sudah penuh oleh penumpang. Mereka berangkat dari Herat menuju Cheghcheran untuk dua hari perjalanan. Garmao adalah tempat perhentian untuk bermalam para penumpang. Berita baiknya, aku masih bisa didesakkan di bangku belakang, hanya sampai Garmao.

Para penumpang begitu kaget melihat ada orang asing yang tersasar ke dalam mobil mereka. Aku langsung dihujani segala macam pertanyaan ”standar”. Dari mana? Mau ke mana? Apa yang kamu lakukan di sini? Sendirian saja? Mengapa tidak cari teman seperjalanan? Sudah menikah? Berapa harga perempuan di negaramu? Apakah benar semua orang Indonesia harus naik haji dulu sebelum menikah?

Kendaraan ini mengingatkan trauma perjalanan dari Maimana menuju Herat. Panas dan sempit. Aku duduk meringkuk dengan kaki terlipat. Mobil ini berguncang hebat setiap kali terperosok ke dalam lubang jalan. Sudah beberapa kali aku terantuk ke penumpang di kiri dan di kanan, tersungkur ke depan atau terbentur di belakang. Sepuluh menit saja aku sudah berkunang-kunang, perut diaduk-aduk, dan kepala benjol-benjol.

Aku begitu girang ketika akhirnya bisa meloncat turun dari kendaraan ini setelah siksaan satu setengah jam dalam kegelapan malam. Garmao adalah desa kecil yang gelap. Hanya ada dua rumah yang menyalakan lampu minyak. Keduanya adalah warung yang tempat menginap para penumpang kendaraan umum.

Kedai teh ini seperti oase di padang Sahara. Walaupun lantai lempungnya begitu kotor, dan permadani yang digelar pun sudah kumuh, ditambah lagi supnya encer plus hambar, tetapi di sinilah aku bisa bermalam dan beristirahat. Para penumpang Falang Coach sangat ramah, menawariku berbagi makanan. Bahkan sopir coach yang gemuk pun tak mau menerima pembayaran ongkos. ”Bakshesh! Adalah kehormatan bagi kami untuk menolong musafir!”

Pukul sepuluh malam, orang-orang bersiap tidur. Di warung sempit ini tak ada cukup banyak matras dan selimut tersedia. Semua penumpang sudah membawa perlengkapan mereka sendiri-sendiri. Pemilik warung, bapak tua yang salah satu matanya buta, meminjamiku selimut tipis. Aku berbaring di antara impitan para penumpang lainnya. Tak banyak ruang kosong.

Aku melepas jaket, menjadikannya sebagai bantal. Baru aku sadar ada barang penting yang hilang. Hard disk cilik tempatku menyimpan semua foto perjalanan sudah tidak ada lagi di kantong!

Tak usah kautanya betapa paniknya aku. Barang mungil itu walaupun kelihatannya tak berharga, punya arti yang begitu besar. Aku tak punya back up. Kehilangan benda ini berarti kehilangan semua kenangan perjalanan.

Para penumpang yang melihatku panik meraba-raba lantai pun ikut heran.

“Ada yang hilang?” seakan serempak mereka bertanya. Tetapi bagaimana aku menjelaskan konsep hard disk kepada para penduduk desa pedalaman ini? Listrik pun belum ada dan era digital masih berupa mimpi dari dunia lain.

“Kamera! Kamera kecilku hilang!” aku megap-megap. Aku tak tahu di mana barang itu jatuh. Apakah di jalan? Di dalam truk? Atau di Falang Coach yang penuh sesak? Aku langsung menerobos kegelapan malam, menuju coach yang diparkir.

Tetapi yang mana? Di sini banyak sekali mobil angkutan. Jantungku sepertinya hendak terloncat saking tegangnya. Sopir gemuk berusaha menenangkanku.

Aku meloncat ke mobil, mencari-cari di antara selipan bangku angkot. Tak ada juga. Berarti hard disk ini jatuh waktu truk mogok di jalan. Atau malah ketinggalan di truk? Ah, betapa bodohnya….

“Jangan khawatir,” kata sopir, ”aku bantu cari.”

Pemilik warung yang bermata satu pun menenangkan. ”Tak mungkin hilang. Kita semua ada di sini, kita bantu mencari sampai ketemu.”

Peida misha. Peida misha. Pasti ketemu…. Pasti!” kata mereka.

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Menghadapi masalah di tengah samudra pegunungan (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Menghadapi masalah di tengah samudra pegunungan (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Selimut Debu 90: Pasti Ketemu

  1. Pengalaman berpetualang yg luar biasa. Anda sangat pemberani.

  2. Keren BANGET…. SAYA JADI MAKIN PENGEN KE aFGHANISTAN. karena buku nya mas agus….

Leave a comment

Your email address will not be published.


*