Recommended

Selimut Debu 91: Bukan Saat Berkeluh Kesah

Barangku yang hilang telah menghebohkan seluruh warung. “Peida misha. Peida misha. Pasti ketemu…” begitu kata mereka berulang kali untuk menenangkanku.

Tanpa sepengetahuanku, pemilik warung kembali lagi ke ruangan. ”Saudara-saudara! Barang yang hilang itu besar sekali artinya bagi si orang asing itu. Siapa yang melihat, tolong kembalikan!”

Semuanya ikut mencari, tanpa tahu apa yang mesti dicari. Pemilik warung melangkah lebih jauh. Ia meminta semua penumpang yang menginap di warungnya untuk berbaris membawa barang masing-masing. Semua akan digeledah untuk memastikan tidak ada yang mencuri barangku.

Sepuluh menit berlalu. Keringat terus bercucuran walaupun udara begitu dingin. Sopir kembali lagi memeriksa ke dalam mobilnya. Ia keluar dengan senyuman.

Hard disk-ku ada di tangan kanannya. “Barangmu sudah ketemu!”

Kecerobohanku sudah mengobrak-abrik kedamaian malam di Garmao. Hard disk itu rupanya jatuh dari kantong waktu aku berdesak-desakan di dalam Falang Coach, terguncang-guncang melewati jalanan penuh lubang. Pemilik warung membisikiku, sebenarnya ada penumpang yang mencuri dari kantongku dan menyembunyikan di dalam mobil. Entahlah, aku tak peduli. Yang jelas setelah mendapatkan kembali barang berharga ini, hatiku dipenuhi bunga-bunga.

Suasana di dalam warung pun penuh kebahagiaan. Dua puluhan penginap bertepuk tangan dan merangkulku, penuh haru. Seheboh itukah? Sopir Falang Coach sangat khawatir kalau aku harus tidur di dalam penginapan ini dengan para penumpang lainnya, bisa-bisa ada barang yang hilang lagi. Ia menawarkan aku tidur di dalam mobil saja.

Mobil dikunci dari luar. Kuncinya dipegang oleh sang sopir. Aku menyesal, di dalam mobil ini dingin sekali. Tetapi aku tak sendiri. Di bangku depan ada sepasang muda-mudi yang tidur. Pasangan itu sungguh aktif. Mobil berguncang terus sepanjang malam. Entah apa yang mereka lakukan di bangku depan. Aku tak peduli, masih terpesona oleh keberuntungan ini. Aku tertidur teramat lelap.

Esok harinya, langit masih gelap ketika aku duduk di atas tumpukan barang di bak terbuka bersama tiga penumpang lain. Ada berkarung-karung beras dan gandum, beberapa kardus selai dan minuman soda dari Iran berlabel Zamzam, dan jerigen minyak. Kendaraan yang kutumpangi hari ini adalah truk kecil, dikenal di sebagai ”Mazda”.

Tak seperti Kamaz yang tangguh, Mazda adalah kendaraan ringkih untuk medan berat Ghor. Kalau Kamaz boleh diibaratkan gajah, maka Mazda adalah keledai. Sedikit lubang di jalan saja guncangannya sudah cukup untuk mengaduk seluruh isi perut. Aku berpegangan pada dinding bak. Dingin, karena dari logam. Namun tak ada cara lain untuk bertahan. Angin berembus kencang. Sudah tak sabar lagi rasanya menunggu matahari terbit. Pukul setengah enam, langit masih remang-remang.

“Brrr…,” mulutku bergetar kedinginan. Tangan pun sudah tak kuat lagi. Aku tak punya selimut, sedang jaket kumalku tak cukup tangguh untuk menahan sergapan dinginnya pagi hari di Ghor.

Ketika hendak mendaki bukit, Mazda ini tak cukup kuat. Roda berputar, mesin melengking, asap hitam tersembur, tetapi kendaraan ini bukannya maju malah mundur ke bawah. ”Bebannya terlalu berat,” kata sopir bernama Nassir Ahmad yang sudah berpengalaman, ”terpaksa separuh dari barang-barang ini harus ditinggalkan di sini.”

Para penumpang gotong-royong menurunkan barang. Karung demi karung, jerigen demi jerigen. Tak berapa lama tubuh kami pun penuh debu. Seorang kakek tua dengan sejumput jenggot putih dan barisan gigi bolong hanya terkekeh. Wajahnya dibalut selimut. ”Baru lihat ya kehidupan di Afghanistan? Susah? Tentu saja. Ini negara yang habis perang. Gharib. Miskin. Penduduk tak punya uang, tak punya makanan. Jalan tak ada, sekolah tak ada….”

Sopir kasihan melihatku, mengizinkanku duduk di dalam badan mobil bersama adik perempuannya yang baru berumur delapan tahun. Dengan separuh beban tersisa, Mazda ini berusaha mendaki lagi. Suara lengkingan mesin yang sama, putaran roda-roda yang sama, dan asap hitam yang sama. Greeeeek…. Mobil kami maju selangkah, kemudian diiringi desingan.

Sampai di puncak bukit, kami yang tersisa di mobil pun harus kerja bakti untuk menurunkan barang-barang dari bak. Karung demi karung, jerigen demi jerigen, kotak demi kotak… pekerjaan yang sama diulang-ulang terus. Sampai akhirnya bak mobil kosong. Mazda turun kembali ke dasar bukit, mengumpulkan separuh barang yang tertinggal, naik lagi, lalu mengangkut barang-barang yang baru saja kami turunkan.

Dusun Jam terletak hanya sekitar sepuluh kilometer dari Garmao, tetapi perjalanannya butuh waktu lebih dari satu jam. Walaupun sama-sama jalan tak beraspal, kualitas jalanan di Ghor jauh lebih menyedihkan daripada di Herat. Lubang jalanan terkadang sangat dalam sampai mobil pun bisa terguling.

Apakah yang harus dikeluhkan dari semua keadaan ini? Nassir bicara banyak tentang jatuh bangunnya Afghanistan, dari negara yang dulu makmur hingga berantakan menjadi seperti sekarang. Dari kerajaan menjadi negara komunis, hingga perang tak henti-henti, dan sekarang jadi negara Islam. Sejarah panjang negeri ini juga melekat di tubuhnya. Sebelumnya aku tak terlalu memperhatikan, sampai ketika aku melihat Nassir berjalan. Salah satu kakinya kaku, tak ditekuk. Ia kehilangan kaki kirinya gara-gara ranjau yang diinjak tanpa sengaja sepuluh tahun lalu. Sekarang ia memakai kaki plastik. ”Aku tak tahu itu ranjau milik Rusia, Mujahiddin, atau Taliban. Sama sekali tak penting. Yang jelas akibatnya sama, kakiku hilang.”

Ia bisa bangkit dari keterpurukan semangat ketika kakinya hancur karena kecelakaan itu. Ia kini tampak seperti penduduk normal pada umumnya, bahkan dengan gagah menyopiri truk ini melintasi batu-batu cadas pegunungan.

“Hidup itu selalu ada naik-turunnya, seperti pegunungan ini. Kita terkadang terengah-engah mendaki, terkadang meluncur turun dengan lepas. Ada waktu susah, ada waktu berjuang, ada waktu untuk berbahagia,” ujarnya.

 

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

1.Perjalanan adalah perjuangan (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Perjalanan adalah perjuangan (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Menaik-turunkan barang, mendaki bukit (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Menaik-turunkan barang, mendaki bukit (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Siap berangkat (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Siap berangkat (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Permainan berbahaya (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Permainan berbahaya (AGUSTINUS WIBOWO)

selimut-debu-91-5

6.Jari-jemari (AGUSTINUS WIBOWO)

6. Jari-jemari (AGUSTINUS WIBOWO)

7.Berbalut selimut (AGUSTINUS WIBOWO)

7. Berbalut selimut (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Selimut Debu 91: Bukan Saat Berkeluh Kesah

  1. foto4: permainannya kayak apa? watune dilogorno ngunu ta?
    foto7: tnyt cak agustinus dw. lha sing moto sapa? bukan selfie tho?

  2. Afghanistan memang Amazing banget….. Mas Ugustinus memang The best Ahh…. 🙂

  3. Saya ingat sekali bagian ini, sewaktu Gus Weng kehilangan hardisk dan semua orang heboh mencari. 😀

Leave a comment

Your email address will not be published.


*