Recommended

Agama, Nasionalisme dan Kemanusiaan di Mata Agustinus Wibowo

130303-islamindonesia

Agustinus Wibowo saat mengisi workshop di Kantor Mizan Pustaka, Bandung pada Sabtu, (01/03/14).

Perjalanan adalah jembatan antara nilai-nilai universal yang menyangkut agama, nasionalime, dan kemanusiaan.

 

Nama Agustinus Wibowo mulai mendapat tempat di hati para traveler Nusantara dengan tiga buku best-sellernya, yakni Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol. Bukan hanya karena kisah perjalanannya yang unik dan penuh tualang, tapi juga karena paradigma baru yang berhasil ia tawarkan pada para pembaca. Sebuah paradigma yang mampu menyentuh hati—tentang bagaimana memaknai tiap langkah manusia, hingga mampu mengubah pola pikir yang kadang, menjadi garis batas bagi dirinya sendiri—dengan agamanya—dengan etnisnya—dengan negaranya—yang sebetulnya mengkerangkeng nilai-nilai universal yang dimiliki setiap manusia.

Ditemui di sela-sela mengisi Workshop di Kantor Mizan Pustaka, Bandung, lelaki kelahiran Lumajang, Jawa Timur ini bercerita panjang lebar tentang pengalamannya selama menjadi traveler—terkait agama, nasionalisme dan kemanusiaan. Berikut ini adalah petikan wawancara dengan Agustinus Wibowo;

Latarbelakang keagamaan Anda?

Orangtua saya Budhis, tapi saya disekolahkan di sekolah Kristen. Jadi, saya juga ke sekolah Minggu, juga ke Vihara. Saya dibesarkan dalam kultur dua agama sekaligus. Kemudian waktu SMP-SMA di sekolah negeri. Di sekolah negeri itu kan ada pelajaran agama, walaupun saya tidak diwajibkan, saya selalu mengikuti pelajaran agama Islam. Saya sudah terbiasa mengikuti kebijakan dari berbagai agama.

Jadi ketika dewasa, saya pergi ke Pakistan, Afghanistan, Iran, dimana hidup di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas Muslim, saya juga tidak bermasalah untuk beradaptasi dengan kehidupan mereka. Sedikit banyak memahami pola pikir mereka. Jadi menurut saya, memahami berbagai agama sangat membantu kita dalam memahami manusia juga. Pada hakikatnya yang diajarkan semua agama adalah sama, kebaikan.

Apa yang Anda cari dalam perjalanan?

Waktu kecil saya pernah hidup di masa-masa diskriminasi atas etnis Tionghoa. Bulying yang saya alami cukup besar dan membuat trauma yang cukup besar pada diri saya. Bahkan tidak berani keluar rumah sendiri. Ke mana-mana diantar. Saya takut untuk melihat dunia luar. Tapi saat hidup di luar (Waktu umur 19 tahun saya dikirim ke Cina untuk sekolah), di situ saya belajar hidup sendiri. Saya selesaikan semua masalah sendiri. Pada saat itulah saya menyadari bahwa ternyata hidup itu tidak susah. Hidup itu tidak sesulit yang saya bayangkan. Itu yang membuat saya ingin belajar lebih banyak tentang negara-negara lain dan kemudian saya melakukan perjalanan sendiri. Saya pergi ke Pakistan, Afghanistan, karena saya ingin melihat bagaimana sih negara yang sering dilaporkan media sebagai negara yang kacau, bahaya, perang.

Apa yang Anda dapatkan setelah melakukan perjalanan?

Karena background saya, jadi konsep tentang garis batas dan minoritas itu adalah pertanyaan yang selalu menghantui saya. Saya sering ditanya, ‘Apakah saya cinta Indonesia atau Cina?’. Itu pertanyaan yang sangat mengganggu. Tapi setelah di luar negeri, ke-Indonesia-an saya semakin kuat, ini yang pertama.

Kedua, karena saya sudah terbiasa hidup dalam masyarakat dari berbagai identitas, berbagai agama—di Tibet dengan orang-orang Budha—di India, Nepal dengan Hindu—di Afghanistan, Irak, Pakistan dengan umat Muslim—kadang kita berkonflik demi agama, identitas yang berbeda, padahal kalau kita hidup di identitas yang berbeda, kita justru merasakan mereka baik-baik saja, asalkan tidak berkonflik dengan mereka.

Buat saya, perjalanan itu untuk menembus garis batas dan menemukan bahwa di setiap sisi garis batas itu sebenarnya adalah manusia manusia yang pada hakikatnya sama dengan diri kita. Mereka mungkin punya agama yang berbeda, identitas berbeda, kultur yang berbeda, tapi hakikatnya mereka sama. Semua menginginkan kebahagiaan. Semua menangis ketika menghadapi kematian. Semua punya kesedihan yang sama. Semua akan tertawa ketika ada sesuatu yang lucu. Kita punya nilai-nilai universal yang tidak memandang warna kulit kita, agama kita, negara kita. Poin yang paling penting adalah nilai-nilai ke-universalan kita. Hal-hal yang seperti itu yang sering dilupakan orang-orang berkonflik.

Apa yang paling menarik dalam perjalanan?

Saya tinggal di Afghanistan tiga tahun. Banyak orang mengira bahwa negara itu penuh ketakutan, negara perang, penuh kesedihan. Tapi sebenarnya Afghanistan itu penuh warna. Afghanistan adalah negara yang paling indah yang saya kunjungi. Penuh  suka cita, keramahan, bahkan orang-orang miskin di sana masih sempat melayani saya dengan baik.

Pengalaman yang paling membuat takut saat berada di negeri orang?

Homoseksual yang marak. Kultur Afghanistan sangat kuat. Antar lawan jenis tidak bisa ngobrol seperti ini, hubungan antar gender sangat ketat. Kita tidak bisa berinteraksi bebas. Itu yang menyebabkan laki-laki lebih banyak berinteraksi hanya dengan sesama laki-laki. Kedua, mereka hanya menikah dengan pilihan orang tua. Mereka tidak menikah dengan cinta. Satu-satunya yang mereka pilih adalah sesama jenis. Itu sebabnya homoseksual sangat signifikan di sana.

Bagaimana cara menghadapinya?

Awalnya marah, ya. Karena cowok kalau diperlakukan sebagai cewek ya marah. Tapi lama-lama belajar menertawakan diri sendiri. Itu pelajaran yang sangat penting, kalau di perjalanan jangan terlalu dibawa stres. Menurut saya itu menarik untuk diobservasi, kadang lucu-lucu ya,  ada yang ngasih kembang, ada yang nawarin berapa dolar untuk bisa tidur di rumahnya.

Berapa negara yang pernah dikunjungi?

Saya gak pernah ngitung jumlah negara. Karena menurut saya, jumlah negara yang dikunjungi tidak menunjukkan kualitas perjalanan. Jadi, bukan berarti semakin banyak jumlah negara semakin bagus. Dulu waktu awal saya sempat ngitung, tapi sekarang sudah tidak.

Mengapa Afghanistan jadi negara favorit di antara negara yang lain?

Karena kebetulan di Afghanistan tinggal cukup lama. Banyak hal yang tidak terduga. Setiap langkah di sana seperti petualangan. Bayangan awalnya cuma perang, kemiskinan, ternyata ada gunung yang sangat indah, ada masyarakat yang masih non maden, ada keramahtamahan. Justru di sana saya banyak teman, banyak keluarga, banyak orang-orang yang sangat support saya.  Di Afghanistan itu ketika keluar rumah, kita tidak tahu apakah kita masih bisa pulang dengan selamat atau tidak. Di sana, nyawa itu benar-benar sangat murah. Tapi, di tempat yang nyawa murah, kita akan merasa nyawa kita sangat berarti.

Setelah perjalanan dari luar negeri, apakah nasionalisme Anda terpengaruh?

Oh, enggak. Justru saya gak menganggap nasionalisme itu harus diciptakan secara artifisial. Itu tumbuh dalam diri kita sendiri. Saya beruntung dibesarkan di Indonesia dengan berbagai warna Indonesia. Saya jadi lebih bisa mengapresiasi Indonesia dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya dulu di Cina. Untuk mendapatkan langit biru, mereka harus berjuang keras dengan menanam pohon guna mengubah kondisi itu. Tapi di Indonesia, langit yang berkah itu menjadi hal yang dianggap normal dan gak terlalu penting. Makanya kita harus keluar dan merasakan kondisi negara orang lain.

Agama apa yang terpenting bagi manusia?

Agama yang paling penting bagi manusia adalah kemanusiaan itu sendiri. Apapun agama pasti akan mengajarkan nilai kemanusiaan. Hubungan kita dengan Tuhan adalah hal yang sangat personal. Tapi bagaimana kita bisa menempatkan manusia lain sebagai manusia itu adalah yang kita lihat.

Apa gunanya kita cinta Tuhan secara berlebihan, tapi kita membenci manusia. Dan itu adalah realita yang banyak dijumpai pada negara-negara yang banyak konflik karena agama. Secara ibadah dengan Tuhan baik, tapi pada saat yang sama mereka membunuh orang-orang yang dianggap tidak sealiran sesama Muslim. Itu menurut saya, agama adalah bagaimana kita menghornati diri sendiri maupun orang lain sebagai sama-sama ciptaan Tuhan.

Pelajaran terpenting di setiap perjalanan?

Masalah-masalah yang saya anggap sangat penting—tentang identitas, etnis, negara, minoritas, agama—ternyata ada yang lebih penting, yakni kesamaan kita sebagai manusia. Apapun perbedaan kita.

Manfaat perjalanan?

Perjalanan bukan haya untuk senang-senang. Tapi, untuk memberikan makna bagi diri sendiri atau orang lain. Mereka orang-orang yang membenci sebetulnya, karena mereka tidak pernah keluar dari zona mereka sendiri, misalnya dia membenci syiah, tapi dalam hidupnya ia belum berinteraksi dengan orang syiah. Kita benci karena kita tidak mengenal, memahami, tidak berpikir dari pola pikir mereka. Perjalanan untuk memberikan makna itu. Sudah tidak ada lagi hitam putih, benar salah. Dunia tidak sesimpel itu.

 

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

8 Comments on Agama, Nasionalisme dan Kemanusiaan di Mata Agustinus Wibowo

  1. Agama utama adalah kemanusiaan….. Saya suka dg pernyataan ini, sangat mengena dan sesuai dg prinsip saya.

  2. Agama yang paling penting bagi manusia adalah kemanusiaan itu sendiri.

    (y)

  3. Kalau kita mau mengamalkan agama kita dengan sebaik-baiknya dan tak merasa benar sendiri dengan menganggap yang lain buruk maka dunia ini pasti akan tambah baik.

  4. Fikri Firmansyah // June 7, 2014 at 5:40 pm // Reply

    Setuju dengan Pak JK & Almarhum Gus Dur. Islam Indonesia adalah Islam nusantara, Islam damai, rahmatan l’il alamin. Timur Tengah memang berdarah panas, tidak semua kulturnya harus kita ikuti.

  5. Luar biasa..Saya sangat kagum dgn yg anda tulis…Tuhan memberikan hal hal dan kesempatan yg menajubkan dhidup anda..

  6. Apakah pernikahan tanpa cinta menebabkan kelainan seksual???

  7. Membaca tulisan anda sangat membuka minda! ! terimakasih…

  8. ya benar memang mayoritas pernikahan org afghanistan itu dr perjodohan, org tua yg nyariin. saya pernah 3 tahun pacaran sm org Kabul. Mati2an kami berjuang agar ortu pacar saya merestui kami utk menikah di tahun 2012, tp sll ditolak dgn keras. Sudah disiapkan wanita pilihan ortunya, saya boleh jd istrinya tapi istri kedua. hahaha ogah lah ya..

Leave a Reply to Shaniya Niken Fals Cancel reply

Your email address will not be published.


*