Recommended

Pikiran Rakyat (2014): Berselimut Debu, Menembus Garis Batas

halaman baru 7 kolom 32 halaman

MINGGU  (PAHING)  9 MARET 2014

7 JUMADIL AWAL 1435  H JUMADIL AWAL 1947

 

Agustinus Wibowo

Berselimut Debu, Menembus Garis Batas

SULIT juga ”menangkap” pria yang satu ini. Dalam dua hari kunjungannya ke Bandung, travel writer Agustinus Wibowo (33) disibukkan dengan aktivitas menjadi pembicara di berbagai tempat dari pagi hingga tengah malam. Wartawan Pikiran Rakyat, Endah Asih, baru bisa menemui nya Minggu (2/3/2014) pagi, sambil mengobrol di atas kereta api yang melaju dari Stasiun Kiaracondong ke Cicalengka, Kabupaten Bandung. Memang, tak ada cara yang lebih menyenang kan untuk berakhir pekan dengan traveller, selain melakukan perjalanan itu sendiri meski singkat.

 

SETELAH berkeliling Asia selama 13 tahun, Gus, begitu ia biasa disapa, akhirnya bermukim di Indonesia sejak Februari 2013. Dalam terminologi seorang backpacker “kahot“, harap dimaklumi bahwa kata bermukim itu hanya diartikan sebagai tinggal sekurang-kurangnya satu tahun di suatu tempat.

“Saya memang rencana mau pulang ke Indonesia nengok keluarga dan ngeluarin buku ketiga waktu itu, tapi ternyata Ayah saya meninggal tepat dua minggu sebelum jadwal pulang, akhirnya saya mempercepat agenda pulang kampung,” kata pria kelahiran Lumajang Jawa Timur ini, memulai perbincangan.

Pagi itu, suasana Stasiun Kiaracondong masih agak lengang.

Dalam satu malam, barang-barang yang seluruhnya memiliki  berat 100 kilogram, selesai di-packing.  Pagi hari, seluruh barang yang mayoritas buku itu dikirim dari Cina menuju Indonesia. Saat itu, Gus bekerja  sebagai penyiar dan penerjemah radio pemerintah di Cina.

Gus meyakinkan diri untuk tetap bermukim di  Indonesia selama beberapa bulan ke depan. Dia masih memfokuskan diri menyelesaikan proses alih bahasa buku ketiganya yang berjudul “Titik Nol” ke dalam  beberapa bahasa.

Blog pribadi Gus yang menjadi penanda petualangannya, www.agustinuswibowo.com (dulu avgustin.net), “naik kelas” saat digubah menjadi tiga buku. Sebelum “Titik Nol”, lebih dulu lahir karyanya dalam “Selimut Debu” dan “Garis Batas”.

Setelah mengembara di luar negeri, baru kali ini Gus benar-benar pulang. Rupanya dia baru bisa melihat Indonesia dari sudut pandang yang berbeda.

“Meski kita lahir dan besar di Indonesia, tapi semua hal akan jadi biasa aja kalau kita terus-terusan tinggal di Indonesia, enggak istimewa. Saat ke luar dan kembali lagi, saya baru benar-benar ngerasain banyak hal yang cuma ada di Indonesia,” tutur pria beretnis Tionghoa ini.

 

Petualangan panjang

Tahun 2000, Gus bertolak ke Cina untuk masuk perguruan tinggi. Meski sejak SMP dia merasakan ketertarikan tinggi saat mengeluti sastra dan bahasa, keinginan mempelajarinya secara formal harus dipendam Gus dalam-dalam. Menurut Gus, keluarganya  memandang bahwa ilmu bahasa tak perlu dipelajari secara khusus. Dia pun memilih takluk dengan  pandangan itu.

Gus akhirnya mengambil Teknik Komputer. Lima tahun berkuliah dijalaninya dengan belajar dan jalan-jalan. Hingga pada 2005, Gus mantap berkeliling dunia berbekal uang 2.000 dolar AS.

Dia membidik beberapa negara di Asia Tengah  untuk didatangi. Jika orang lain memilih kemolekan atau kekayaan alam suatu negara, tak demikian halnya dengan Gus. Dia mencari dinamika masyarakat dan wilayah, baru menentukan tujuan.

Sebagai sarjana komputer, Gus tak pernah membekali diri dengan berbagai gadget canggih saat berkelana. Hanya buku tulis, buku bacaan, dan beberapa lembar pakaian yang menjejali ranselnya.

Berawal dari Cina, ia lalu menuju Tibet, Nepal, lalu ke gurun pasir India, pegunungan di Pakistan utara. Dia juga sempat bekerja sebagai sukarelawan gempa Kashmir, ke pedalaman Pakistan, berkeliling Afganistan dengan hitchhiking, lalu ke Iran, Tajikistan, Kirgistan, Kazakstan, Uzbekistan dan Turkmenistan. Seluruh negara “stan” di Asia Tengah sudah dipijaknya. Dia menempuh perjalanan itu dengan berbagai ragam alat transportasi, seperti kereta api, bus, truk, berkuda, keledai, bahkan berjalan kaki.

Ketika uang habis, Gus akan menetap sementara di suatu tempat, bekerja serabutan untuk mengumpulkan uang agar bisa kembali melanjutkan perjalanan. Seperti saat dirinya berada di Uzbekistan. Akhirnya Gus memutuskan pergi ke Afganistan dan bermukim di sana sekitar tiga tahun.

Beberapa bahasa yang bisa digunakan Gus antara lain Persia, Inggris, Cina, Rusia, Urdu (Hindi), Uzbek, Turki, Kirgiz, Mongol, Jepang, Prancis, dan Jerman. Beberapa yang lain masih terus dipelajari, karena Gus selalu mencoba menguasai bahasa dari tempat yang akan dia tuju karena ia berjalan sendirian tanpa penerjemah.

Gus mencontohkan, keputusannya saat memutuskan bermukim di Afganistan hanya bermodalkan rasa penasaran. Dia ingin tahu bagaimana rasanya hidup di negara yang sedang perang itu. Dia juga ingin merasakan, bagaimana cara warga lokal bertahan hidup, sambil tetap merasa bangga terhadap negara itu.

“Di mata saya, rumah itu tidak harus satu titik geografis yang tetap. Kalau saya merasa comfort dengan pindah, ya enggak apa-apa. Perpindahan itu justru hal yang paling membuat saya nyaman,” katanya.

 

Pantang menyerah

Kereta sejenak melambat dan berhenti di daerah Gedebage. Jendela tempat kami duduk menyuguhkan pemandangan Gelora Bandung Lautan Api. Setelah tiga menit, kereta mulai bergerak untuk melanjutkan perjalanan.

Entah dimulai dari mana, obrolan langsung beralih pada masalah sosial di Kota Bandung, seperti gelandangan dan pengemis yang semakin marak. Dia merasa, index of happiness warga Indonesia  memang tinggi dibandingkan negara lain. Sayangnya, mental sering kali berbanding terbalik dengan kebahagiaan.

“Waktu enggak punya uang, keluarga saya hanya makan nasi dengan kuah air teh. Meski susah tapi kami enggak mau minta sama orang lain,” katanya menerawang.

Berbagai pengalaman hidup yang pernah dirasakannya, membuat Gus pantang menyerah. Dia bahkan  beberapa kali merasakan nasib hingga mendekati titik nadir.

Ya, suka atau tidak suka, marabahaya kerap kali menjadi teman bagi pengembara. Berulang kali Gus ditangkap polisi, ditahan agen rahasia, dipukul preman, dirampok, bahkan kelaparan. Insiden seperti kamera rusak dan uang bekal yang dicuri orang tak hanya terjadi sekali. Kini hal itu tak lagi menjadi cerita sedih.

Peluit panjang sayup-sayup terdengar. Kereta pun melambat. Kami segera tiba di Stasiun Cicalengka, Kabupaten Bandung. Karena berbeda tujuan, kami berucap selamat tinggal, sambil berharap waktu berbaik hati mengizinkan Gus kembali berbagi cerita. So long  Gus!***

 

Agustinus Wibowo

Lahir : Lumajang, 8 Agustus 1981

Keluarga : Anak pertama dari dua bersaudara pasangan Chandra Wibowo dan Widyawati

Pendidikan:

* SMA Negeri 2 Lumajang

* Kuliah di Jurusan Informatika Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS)

* Strata-1 Computer Science and Engineering dari Tsinghua University Beijing, Cina

Pekerjaan:

* Penulis lepas dan kontributor untuk berbagai media di Indonesia, Cina, Singapura, dan Thailand

* Redaktur foto di “Pajhwok Afghan News”, Kabul, Afganistan

* Penulis buku ”Selimut Debu”, ”Garis Batas”, dan ”Titik Nol”

* Aktif menulis kisah perjalanannya sampai sekarang

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Pikiran Rakyat (2014): Berselimut Debu, Menembus Garis Batas

Leave a comment

Your email address will not be published.


*