Recommended

Jakarta, 29 Juli 2014: Australia dan Papua Nugini

140730-bbwf

140730-bbwf2

Saya mengambil backpack, mengisinya dengan barang-barang, dan menyadari bahwa saya sudah tak ingat lagi kapan terakhir kali saya merasakan debar seperti ini. Debar akan Ketidaktahuan dan Keberbedaan.

Besok, saya akan memulai perjalanan pertama saya keluar benua Asia. Hari Senin 21 Juli lalu saya mendapat konfirmasi undangan menghadiri Byron Bay Writers Festival (BBWF) di Byron Bay, NSW, 1-3 Agustus. Ini adalah festival penulis yang bekerja sama dengan Ubud Writers and Readers Festival, dan setiap tahun memberi kesempatan bagi penulis Indonesia maupun Asia untuk tampil pada forum penulis internasional ini.

Karena waktu yang sangat mendesak, saya pun buru-buru mengurus visa Australia. Biasanya visa Australia membutuhkan waktu 5 hari kerja, dan berkenaan dengan Idul Fitri maka hari keberangkatan saya bertepatan dengan hari kerja ke-4. Agak riskan juga. Untunglah, visa Australia (dengan undangan dan permintaan urgen) keluar hanya dalam dua hari.

Mengenai festival penulis ini, saya diundang untuk berbicara dalam dua panel, semuanya berhubungan dengan penulisan perjalanan. Hal yang paling membuat saya excited adalah kesempatan untuk berkomunikasi dengan penulis perjalanan dari negara lain.

Ketika menerjemahkan buku ketiga saya, Titik Nol, ke dalam bahasa Inggris, saya sungguh menyadari betapa pola pikir dari setiap bangsa yang berbeda sangat memengaruhi cara masyarakat dari pengguna bahasa itu untuk menulis dan membaca. Alhasil, bukan sekadar menerjemahkan, Titik Nol ternyata perlu ditulis ulang total untuk menyesuaikan dengan perspektif dan kebiasaan membaca penutur bahasa Inggris.

Festival internasional ini sangat berarti buat saya, karena merupakan kesempatan berinteraksi yang sangat berharga dengan berbagai penulis mancanegara, dan ini berarti belajar untuk melihat sastra dari berbagai perspektif budaya yang berbeda. Saya berbagi panel dengan penulis dari Vietnam dan Tibet, yang kebetulan pernah saya kunjungi tapi belum sekali pun saya pernah membaca karya sastra mereka.

Hal lain yang membuat saya tertarik pada perjalanan ini adalah after-taste-nya. Pihak panitia semula memberikan saya tiket pulang ke Jakarta tepat setelah festival berakhir. Saya rasa agak rugi juga jauh-jauh ke Australia hanya untuk menghadiri festival. Karena itu saya meminta mereka untuk membelikan saya tiket pulang bukan ke Jakarta, melainkan ke Port Moresby. Dan mereka setuju.

Demikianlah seminggu ini menjadi seminggu yang penuh ketidakterdugaan. Dan justru ketidakterdugaan seperti ini yang saya sukai dalam perjalanan. Seminggu sebelumnya, saya bahkan tidak tahu akan ke mana saya, dan tiba-tiba saya sudah melakukan riset dan mempelajari bahasa dari negara yang sama sekali asing: Papua Nugini. Ini adalah negeri yang selalu menarik bagi saya, dan kebetulan sekali, WNI bisa mendapatkan visa on arrival jika mendarat di bandara Port Moresby.

140730-tokpisin

Bahasa Papua New Guinea adalah Tok Pisin (dari kata bahasa Inggris “Talk Pidgin”). Ini merupakan sejenis kreol atau pidgin yang berasal dari bahasa Inggris, alias sebuah bahasa “rusak” atau “bahasa pasar” yang digunakan sebagai bahasa komunikasi orang-orang penutur berbagai bahasa. Papua New Guinea walaupun hanya separuh dari pulau Papua ternyata memiliki 800 bahasa dan merupakan negara dengan jumlah bahasa terbanyak di dunia (Indonesia nomor dua), sehingga mereka menggunakan Tok Pisin sebagai bahasa pemersatu mereka.

Tidak sulit bagi kita yang berbahasa Inggris untuk mempelajari bahasa ini. Contoh kalimat dalam bahasa Tok Pisin:”

–          Nem bilong mi Augustine, mi bilong Indonesia. Mi go long Papua Niugini long luklukim na wokabaut. (Nama saya Agustinus, saya dari Indonesia. Saya pergi ke Papua Nugini untuk melihat-lihat dan berjalan-jalan).

–          Mi laikim yu tru. (dari bahasa Inggris: Me like-him you true. “Saya cinta kamu”)

–          Gat bel (“Got belly” = hamil)

–          Haus sik (rumah sakit)

–          Haus dok sik (rumah anjing sakit = rumah sakit hewan)

–          Sit haus (rumah tahi = toilet)

–          Gras bilong het (rumputnya kepala = rambut)

–          Sop bilong tit (sabunnya gigi = odol)

–          Man bilong toktok (man belong talktalk = cerewet)

–          Man bilong prek (man belong fright = penakut)

–          Man i save katim gras bilong het (man savvy cut grass belong head = tukang cukur)

Yang agak mengkhawatirkan, kalau sudah terlalu lama menggunakan bahasa rusak seperti ini, mungkin agak sulit bagi saya untuk kembali ke bahasa Inggris yang normal 🙂

Selain bahasa, Papua menarik karena misteri dan kosmologi mereka yang sangat berbeda, seperti hidup di dunia lain. Perjalanan menuju dua sisi pulau Papua ini, dari Papua Nugini lalu menyeberangi perbatasan menuju Papua Indonesia, bagi saya, adalah untuk melihat sisi terluar dan terliar dari diri saya sebagai orang Indonesia. Itu seperti ruang gelap dalam memori saya. Papua adalah bagian dari slogan-slogan nasionalisme “dari Sabang sampai Merauke” yang selalu kita ucapkan tanpa kita mengerti betul bagaimana sebenarnya mereka, tanpa mengenal siapa mereka. Perjalanan ini, saya harapkan, bisa memberi sedikit titik terang terhadap mitos nasionalisme itu.

140730-savageharvest

Dalam sehari saya merampungkan membaca buku Savage Harvest karya jurnalis Amerika Carl Hoffman. Sangat recommended! Ini merupakan tulisan perjalanan dari investigasi Carl Hoffman mengenai kematian Michael Rockefeller, putra mantan wakil presiden AS, saat berkunjung ke desa-desa Asmat. Penulis bukan saja menceritakan dengan begitu detail dan vivid bagaimana peristiwa pembunuhan Rockefeller dan bagaimana tubuhnya dicincang dan dimakan oleh orang-orang suku Asmat itu, tetapi juga menganalisa kultur kanibalisme ini, pertempuran antarsuku, politik antara Belanda, Amerika, dan pemerintah Indonesia yang membuat kasus ini seperti terpendam sampai berpuluh-puluh tahun.

Dalam catatannya sebelum terbunuh, Rockefeller menulis, “Akhirnya saya di New Guinea!” Itulah jiwa seorang petualang yang melangkah menuju Keterasingan, Keberlainan, Ketidaktahuan dan ketidakterdugaan, Kemisteriusan dan Kebarbaran—dan dia menikmatinya.

Dan itu pula yang saya nikmati malam ini. Esok adalah dunia baru, kisah baru.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

27 Comments on Jakarta, 29 Juli 2014: Australia dan Papua Nugini

  1. Hahahaa.. lucu ya itu basa papua.. sukses ya mas agus :’)

  2. buku Savage Harvest karya jurnalis Amerika Carl Hoffman bisa dibeli dimana saja? terjemahan bahasa indonesia ada ga?

  3. 😀
    Selalu suka dg kisahnya….

  4. Saya akan tunggu catatan perjalanan nya mengenai Papua New Guinea.

  5. Mas Agus, kereen. Hati-hati di Papuanya ya maas :))

  6. Ratna saya beli di Periplus Plaza Senayan, 240 ribu rp. bahasa inggris.

  7. basa inggrisku elek je mas 🙁

  8. Astaghfirullaahal’adziim kukira Singaporean English udah parah bahasa inggrisnya, ternyata ada yg lebih parah lagi wkwkwk

  9. mas agus, mi big fans tum (campuran bhs PNG, inggris n urdu/hindi). hahaha. btw ntr dibikin buku jg yg ke PNG?…. maju trs deh

  10. Good luck Gus. Kami semua menunggu catatan perjalananmu di sana!

  11. Pidgin.
    Hmm… Sama seperti beberapa negara Afrika yang menggunakan pidgin sebagai bahasa sehari2 selain menggunakan bahasa ibu. Nigeria sebagai contohnya. Sering banget kalo ngobrol seharusnya pake kata “I” asyik2 aja diganti dengan “Me” hehehee…

    Enjoy your trip ya wenk Agustinus Wibowo. Keep safe. Ditunggu karya2 berikutnya. Jangan berakhir seperti Michael Rockefeller ya, amit2 deh… #KetokMejaBerkaliKali

  12. Cool..walah VOA toh.. dr singapore..ada penerbangan lsng ke port moresby..pakai new guinea..josss..infonya. good luck down there..looking forward for more info about moresby.. katanya diving disana paling joss gandoss

  13. Luar biasa tulisannya. Hajar Mas!

  14. Sapto Andika Candra

  15. Akan lbh punya taste berangkat dari jayapura menuju perbatasan melalui jalan darat. * salam dari timur indonesia bro

  16. Have fun…n jangan lupa pulang 🙂

  17. Ditunggu oleh2 tulisannya 🙂

  18. bahasa png nampak aneh2 loetjoe

  19. Mas Agus, suatu saat nanti buku2nya itu diterjemahin ke Bahasa Jepang juga donk Mas, saya kemarin ngobrol dengan teman di lab saya (kebetulan sekarang saya lagi kuliah di Jepang) dan saya ceritakan tentang buku2 Mas Agus ke teman saya itu, dia sangat tertarik ^^

  20. Love this! Merci, Biadar.

  21. Good luck Mas, ditunggu cerita-seritanya….:)

  22. Salut buat Agustinus.saya pengagum anda.dan menunggu karya anda berikutnya.bagaimana kalau jelajah indonesia

  23. Wakkkk, lucu banget mas.
    Kos pas banget ya, aku hari kemarin baru aja nyetatus seandainya bahasa Inggris di Indonesia penulisannya menggunakan ejaan kita jadinya

    Helo, hao ar yu? Aiem fain, enyu? Aiem fain tu
    Ai wil go to skul wit yu
    Ai si e ket in fron of mi

    Hehehe

  24. Keren tulisan dan ceritanya mantap

  25. Mang Kentilll // April 1, 2016 at 10:31 am // Reply

    Me bilong liking di artikel yu rot abat PNG, kwait interesting en mainopening.

  26. perlu dibandingkan dengan japan english, ha3

Leave a Reply to Andri Mustavidz Cancel reply

Your email address will not be published.


*