Recommended

Titik Nol 8: Polisi

Kota Ngari di ujung barat Tibet dihuni oleh mayoritas penduduk etnis Han dari pedalaman China. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kota Ngari di ujung barat Tibet dihuni oleh mayoritas penduduk etnis Han dari pedalaman China. (AGUSTINUS WIBOWO)

Sungguh tak enak rasanya menjadi pencuri. Saya yang masuk tanpa izin sama sekali ke daerah terlarang ini, sekarang malah duduk satu mobil bersama polisi China.

Terminal bus kota Ngari, seperti sebelumnya, sepi. Tempat ini jauh dari mana-mana. Jangankan ke Beijing yang dipisahkan ribuan kilometer di balik puncak gunung salju dan padang gurun luas, dari sini ke Lhasa pun butuh perjalanan berhari-hari melintasi medan yang berat. Pintu keluar Ngari yang paling dekat adalah propinsi Xinjiang di utara, itu pun dua hari perjalanan melewati Parit Kematian.

Tetapi terlepas dari keterpencilannya, Ngari justru paling dekat dengan ‘Pusat Dunia’. Sekitar tiga ratus kilometer di selatan Ngari, Gunung Kailash yang dimuliakan umat berbagai agama berdiri dengan gagah. Ke sanalah tujuan saya berikutnya.

Harga angkutan di Tibet terbilang mahal. Untuk jarak Ngari sampai Kailash, harga karcisnya 230 Yuan. Kalau orang asing lebih mahal lagi, 300 Yuan. Untunglah saya masih bisa menyamar sebagai orang Tiongkok. Tetapi Seum dan Kim dengan bahasa kemampuan bahasa Mandarin yang pas-pasan, terpaksa membayar lebih.

Kami bertiga duduk berimpitan di baris paling belakang. Sejatinya jip ini cuma muat tujuh penumpang, tetapi semua dijejalkan sampai sepuluh. Bagasi sudah penuh. Tas ransel kami bertiga ditaruh di kap mobil. Yang merepotkan, dalam keadaan penuh sesak seperti ini, ada pula penumpang yang membawa tumpukan kaca. Karena sudah tidak ada tempat lagi, terpaksa kami yang di baris belakang duduk sambil menggotong kaca.

Sampai tengah hari, mobil tak berangkat juga. Katanya menunggu seorang penumpang yang sangat penting. Ketika sang penumpang yang ditunggu-tunggu datang, betapa terkejutnya saya.

Ia seorang perempuan umur empatpuluhan. Kulitnya agak gelap, matanya sipit tetapi awas. Pandangannya tegas. Ia menutup hidung dan mulutnya dengan masker putih, menambah misteri wajahnya. Tetapi yang paling membuat seram adalah jaket hitam dan topinya. Itu jaket polisi dengan topi berlencana.

Perempuan ini gong an! PSB! Polisi! Saya merasa merinding sekujur tubuh. Seum dan Kim masih asyik mengobrol, sampai saya berbisik, “Awas! Polisi datang! Polisi datang!”

Seum dan Kim, sama seperti saya, adalah penyelundup yang masuk Tibet secara ilegal seratus persen.. Kami, walaupun punya kesempatan di Ngari, sama sekali tidak tertarik untuk mengiris izin resmi yang mahal sekali. Ditangkap polisi di Tibet tentunya bukan hal yang menarik untuk dicoba. Sayangnya, Seum dan Kim yang baru pertama kali datang ke negeri Tiongkok ini masih belum bisa membedakan mana yang polisi, mana yang tentara, mana yang pegawai pemerintahan, dan mana orang biasa.

Ibu polisi itu tepat duduk di barisan bangku di depan kami. Duduknya pas betul di depan saya.

“Kalian bertiga sudah kami awasi sejak kemarin,” katanya membuka pembicaraan, “kemarin sebenarnya kalian orang asing berempat kan, datang ke Ngari. Saya tahu pasti kalian ini pasti menyelundup tanpa izin.”

Dibungkus ketakutan, saya tertawa terbahak-bahak,

“Saya bukan orang asing. Saya asli dari Guangdong.”

Guangdong adalah provinsi di selatan Tiongkok. Orang Guangdong kebanyakan tidak fasih berbahasa Mandarin, dan aksen saya kebetulan mirip dengan orang-orang sana. Ibu polisi mengangguk-angguk.

“Kalau begitu, dua orang asing temanmu ini, dari Korea kan? Mau ke Gunung Dewa?” tanyanya menginterogasi.

Saya terus menjawab dalam bahasa Mandarin, mencoba membelokkan pembicaraan.

“Kamu kasih tahu mereka,” dengus ibu polisi itu, “semua orang asing yang masuk Tibet itu harus didaftar. Ini semua untuk menjaga keselamatan kalian. Coba apa jadinya kalau kalian tiba-tiba hilang di sini atau mengalami kecelakaan? Kami tak punya catatan apa-apa, bagaimana bisa menolong? Tidak ada jalan lain, dua orang asing ilegal ini harus didenda! Di depan nanti ada pos pemeriksaan.”

Saya menerjemahkan omongan polisi ini. Seum dan Kim merinding, tetapi mereka pandai sekali menyembunyikan ketakutannya dalam tawa dan gurauan. Setelah marahnya reda, bu polisi ini tiba-tiba berubah ramah.

“Saya ini terkenal,” katanya dalam bahasa Inggris yang ternyata sangat fasih, “Pernah ada majalah yang mewawancarai saya, dan katanya profil saya sudah dimuat di majalah juga. Sudah ada banyak orang asing yang saya denda.. Ayo, kamu ajari saya, bagaimana bilang kata ‘denda’ dalam bahasa Korea?”

Ibu polisi ini punya hobi mengkoleksi kata ‘denda’ dalam berbagai bahasa, cukup ampuh untuk menakut-nakuti orang asing yang nakal. Ada fine dalam bahasa Inggris, fakuan dalam bahasa Mandarin, hakin dalam bahasa Jepang, dan sekarang si polisi berusaha menghafalkan kata polchil dari bahasa Korea.

“Kami … tidak mau … polchil,” kata Seum terbata-bata dalam bahasa Mandarin campur Korea, menunduk seperti murid yang dimarahi gurunya.

Si ibu polisi langsung tertawa terbahak-bahak.

“Bukan kamu yang mestinya bilang begitu. Soal denda itu urusan saya.” Saya yang gemetaran sejak tadi ikut tertawa juga.

Perjalanan dari Ngari ke Kailash ini sungguh menegangkan. Bukan hanya karena harus bermain sandiwara dan teknik tipu-tipu dengan ibu polisi yang awas ini, kami juga harus melintasi jalan-jalan berbatu di tepi gunung. Air sungai luberan salju meruah, mengalir deras, menyapu jalan. Sudah berapa kali jip yang kami tumpangi dengan nekad menyeberangi sungai deras tanpa jembatan. Hingga pada sungai yang kelima, mobil kami tersangkut di tengah sungai deras yang setinggi pinggang.

Orang-orang mulai panik. Air sungai sudah masuk mobil, sedangkan sopir juga hampir putus asa karena ban selip. Tangan saya sudah kelu memanggul kaca dari berangkat tadi, apalagi jalan bergerlombang dan kepala terbentur-bentur. Sekarang ditambah lagi gemuruh air sungai yang menelan kepanikan kami, dan kerikil yang terbawa air menghantam ke arah mobil.

Mobil bergeming, di tengah derasnya sungai yang menggelegak marah.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media

Dikawal ketat oleh tentara, polisi, dan mata-mata tak berseragam. (AGUSTINUS WIBOWO)

Dikawal ketat oleh tentara, polisi, dan mata-mata tak berseragam. (AGUSTINUS WIBOWO)

Ketakutan dalam bus yang tercebur sungai. (AGUSTINUS WIBOWO)

Ketakutan dalam bus yang tercebur sungai. (AGUSTINUS WIBOWO)

Ibu polisi yang selalu awas menghadapi para pendatang ilegal. Pos polisi tentunya bukan tempat favorit untuk dikunjungi selama berada di Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO)

Ibu polisi yang selalu awas menghadapi para pendatang ilegal. Pos polisi tentunya bukan tempat favorit untuk dikunjungi selama berada di Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO)

pada 13 Agustus 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Titik Nol 8: Polisi

  1. Polisi bukan tempat favorit untuk dikunjungi. di Indonesia pun sama

Leave a Reply to bahrawijaya Cancel reply

Your email address will not be published.


*