Recommended

Titik Nol 10: Kora

Kailash menjulang di balik kibaran bendera doa. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kailash menjulang di balik kibaran bendera doa. (AGUSTINUS WIBOWO)

Orang Hindu menyebutnya Kailash. Orang Tibet menyebutnya Permata Agung. Dalam  bahasa Mandarin namanya Shenshan, Gunung Dewa. Menjulang pada ketinggian 6638 meter, bertudung langit malam yang cerah. Ribuan bintang bertabut di angkasa raya. Langit menangkup ke seluruh batas cakrawala. Lolongan anjing bersahut-sahutan. Bulan bulat purnama. Keheningan malam membungkus Darchen.

“Kamu harus banyak istirahat,” kata Xiao Wang, pria Sichuan pemilik warung, “keliling Gunung Dewa bukan perjalanan mudah. Kalau dalam perjalanan nanti lelah, jangan dipaksa. Di atas sana oksigen sangat tipis.”

Xiao Wang kemudian menceritakan tentang peziarah India yang bertubuh tambun dan mati di puncak sana. Tetapi karena ia Hindu, penduduk Tibet tak mengizinkan mayatnya dibakar di sini. Jenazah pria malang itu dibawa pulang lagi ke negaranya, melalui perjalanan panjang melintasi barisan gunung suci.

“Malangkah pria itu? Sama sekali tidak,” lanjut Xiao Wang, “bagi mereka yang percaya, mati di tempat sesuci ini adalah berkah yang tiada terkira.”

Sejak China mengibarkan benderanya di Tibet, Dalai Lama mengungsi, hubungan China-India terus memburuk, kesempatan bagi orang Hindu India untuk sekadar melihat wajah Kailash – tempat paling suci dalam agama mereka – sangat tipis. Hanya mereka yang teramat sangat beruntung yang bisa memperoleh visa datang ke sini.

Kailash adalah tanah suci empat agama. Pemeluk Budha Tibet menyebutnya Kang Rinpoche, ‘Permata yang Mulia’. Gunung ini adalah mandala semesta. Di sini bertahta Sang Sakyamuni Budha. Bukit-bukit di sekitarnya adalah kediaman Bodhisatva Avalokiteshwara (Kwan Im), Vajrapani, dan Manjushri.

Kailasha, asal nama Kailash, adalah tempat yang paling suci bagi umat Hindu. Disyahdankan, Dewa Syiwa bertahta di puncak gunung ini, ditemani istrinya Parwati – putri Himalaya. Di sini mereka berdua larut dalam meditasi.

Kailash juga adalah tempat di mana kitab agung Ramayana dan Mahabharata ditulis. Gunung Kailash ini adalah jelmaan dari gunung khayalan Meru, perlambang nirwana, kediaman Dewa Brahma, tujuan perjalanan panjang pengembaraan jiwa.

Menurut mitologi Hindu, Garuda melindungi Gunung Meru dari terpaan dewa angin Bayu. Meru, yang menjadi pusat dunia inilah, sang Dewa Matahari Surya berkitar setiap harinya. Perjalanan sulit menuju Kailash, mengintip tempat bersemayamnya Dewa Syiwa, akan membebaskan jiwa dari keterikatan dan menggapai pencerahan.

Astrapada, demikian nama gunung ini dikenal oleh umat Jain, tempat Sang Risabha Dewa – tirtankhara pertama dalam agama ini – mencapai mokhsa atau nirvana. Tirtankhara adalah manusia yang mencapai pencerahan dan menjadi penuntun spiritual.

Bagi umat Bon, agama tradisional Tibet sebelum datangnya Budha, Kailash adalah Gunung Swastika berlantai sembilan yang menyimpan segala kekuatan spiritual. Di gunung suci ini bersemayam Dewa Matahari Sipaimen.

Demikian sucinya Kailash, tempat ini adalah peribadatan sepanjang hayat bagi umat keempat agama. Tempat ini terlalu suci sehingga manusia biasa tidak layak menjamahnya, apalagi mendakinya. Ibadah di Kailash adalah mengitari gunung suci ini melewati gunung-gunung di sekelilingnya, dengan bacaan mantra menemani setiap langkah kaki.

Orang Tibet mengitarinya sampai ratusan kali. Orang Hindu India  menyebut ziarah mengitari tempat suci ini parikrama, dilakukan belasan kali, ditambah ziarah ke danau suci Manasarovar. Demikian juga umat Bön dan Jain, yang mengitari Kailash berlawanan arah jarum jam. Kora, bagi keempat umat ini, adalah perjuangan mencapai pencerahan.

Dengan berbekal beberapa kotak biskuit dan sebotol air minum, saya berangkat menunaikan kora bersama seorang gadis China yang sampai ke tempat ini sendirian dengan sepeda gunungnya. Seum dan Kim, dua backpacker Korea yang masuk ilegal dan sedang dikejar-kejar polisi pun ikut serta.

Kami berangkat subuh, setelah menenggak teh susu mentega, telur, dan asinan. Kami berjalan ke arah barat Darchen. Ada dua lingkaran yang mengitari Kailash. Satu lingkaran besar, sejauh 52 kilometer. Satunya lingkaran dalam, lebih kecil dan lebih dekat ke gunung suci itu. Lingkaran dalam hanya boleh ditempuh oleh mereka yang sudah mengitari Kailash dengan lingkaran besar setidaknya 13 kali. Jalan menuju lingkaran kecil katanya dijaga oleh malaikat.

Padang rumput terhampar luas, dikelilingi gunung-gunung bertudung salju. Kawanan yak yang dibawa oleh para penggembala melintasi padang, bagaikan ribuan bercak yang menghiasi permadani hijau. Awal-awal perjalanan kora cukup datar. Tak banyak mendaki.

Kami berpapasan dengan banyak umat Tibet yang melakukan kora berombongan. Mereka adalah penganut Bön yang mengitar berlawanan arah. Sekarang agama ini menjadi minoritas di Tibet. Dikisahkan, guru Naro dari agama Bön bertaruh dengan Milarepa, pembawa agama Budha ke Tibet. Siapa yang mencapai puncak Kailash terlebih dahulu adalah sang pemenang. Sang Guru Bön punya drum ajaib, yang membawanya terbang mendekati puncak gunung suci. Milarepa, dengan meniti garis sinar mentari, mencapai puncak Kailash terlebih dahulu. Demikianlah legenda bagaimana agama Bön tergusur oleh kedatangan ajaran Budha. Menurut perkiraan terbaru, sepuluh persen dari umat Tibet adalah penganut Bön.

Melintasi padang rumput yang nyaris datar, setelah dua jam perjalanan, kami tiba di Chaktsal Gang – puncak pengitaran. Ada empat Chaktsal Gang di rute kora ini, masing-masing adalah tempat di mana wajah Gunung Dewa terlihat jelas.

Wajah Gunung Dewa itu benar-benar misterius. Awan membungkus puncak salju dengan goresan vertikal itu. Goresan itu konon adalah jejak Guru Bön yang menunggang drum ajaib mencapai puncak. Perlahan-lahan awan berarak, meninggalkan puncak gunung yang tersembul dalam balutan selendang mega.

Barisan bendera doa yang ditinggalkan para peziarah Tibet di tiang chorten berkibar-kibar. Inilah doa suci yang dikirim ke alam dewa. Di bawah kibaran gambar Sang Bodhisatva Avalokiteshvara yang bertangan banyak, saya terpana memandangi Kailash. Inilah awal perjalanan suci ini, perjalanan indah dan datar menikmati keindahan pemandangan. Demikian pula manusia, dalam perjalanan awal kehidupan yang terkesima oleh keindahan dan kesenangan.

Saya masih belum terbayang tentang penderitaan kora yang berikutnya akan meremukkan sekujur tubuh saya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 15 Agustus 2008

Penganut Bon mengelilingi Kailash berlawanan arah jarum jam. (AGUSTINUS WIBOWO)

Penganut Bon mengelilingi Kailash berlawanan arah jarum jam. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kibaran chorten di hadapan wajah Kailash. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kibaran chorten di hadapan wajah Kailash. (AGUSTINUS WIBOWO)

Padang hijau menghampar. Awal perjalanan yang damai dan indah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Padang hijau menghampar. Awal perjalanan yang damai dan indah. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Titik Nol 10: Kora

  1. tunggu saya wkwkwk :p

Leave a comment

Your email address will not be published.


*