Recommended

Titik Nol 12: Terbawa Arus

Meninggalkan rambut ayah bunda di Shiwa Tal (AGUSTINUS WIBOWO)

Meninggalkan rambut ayah bunda di Shiwa Tal (AGUSTINUS WIBOWO)

Mantra suci Om Mani Padmi Hom masih terus bergema di hati saya, ketika kami memulai perjalanan kora keliling Kailash di hari kedua.

Orang Tibet sungguh tangguh. Mereka menyelesaikan satu putaran kora, lintasan 52 kilometer ini hanya dalam waktu sehari. Berangkat subuh, sampai di Drera Phuk pagi hari, dan sekarang sudah menyalip saya yang terengah-engah kehabisan nafas, dan akan sampai kembali di Darchen malam nanti.. Dari arah berlawanan, juga datang rombongan peziarah yang bukan berjalan, tetapi merayap.

Bagi mereka yang berteguh asa membaktikan diri sepenuhnya dalam ziarah ini, berkeliling Gunung Dewa dilakukan dengan merayap. ‘Merayap’, dalam artinya yang paling harafiah. Kedua lutut ditempelkan ke tanah, kedua tangan di samping badan menyeret perlahan-lahan ke depan, hingga sekujur tubuh tertarik dan tertelungkup di atas bumi. Kedua tangan diseret lagi, tubuh perlahan-lahan diangkat, berdiri, maju selangkah, komat-kamit membaca doa dengan mengatupkan telapak tangan, kemudian tengkurap lagi di tanah.

Demikian seterusnya, sejauh puluhan kilometer melewati jalan datar, bongkahan batu, hingga sungai dingin di atap dunia ini. Tangan mereka boleh dilindungi sarung tangan dan sandal. Tubuhnya boleh dibalut karet tebal. Sakit perut boleh ditahan dengan obat. Tetapi semangat pengorbanan, melintasi tiga minggu penuh derita, sungguh tak tergantikan.

Ziarah, adalah pelepasan kehidupan keduniawian. Mereka sama sekali tak mendapat gelar apa-apa, tak mendapat status sosial yang lebih tinggi, atau berpakaian lain setelah melakukan ziarah ini. Mereka hanya menjadi manusia baru secara spiritual. Tanda-tanda fisik sudah tak dibutuhkan lagi ketika hati nurani tercerahkan.

Jangan dibandingkan dengan rombongan turis yang membawa tenda, kompor, bumbu masakan, menu favorit, ransel dua puluh kilogram, dan menyewa yak untuk membawa beban berat keduniawian ini. Para peziarah Tibet tak butuh apa-apa kecuali untaian tasbih, roda doa, bendera doa, sebungkus serbuk tsampa yang langsung jadi makanan begitu dicampur air panas, dan mantra suci.

Perjalanan hari ini jauh lebih berat dari kemarin, karena yang ada hanya naik dan terus naik. Kami sampai di Shiwa Tsal, tempat serpihan pakaian terhampar dan bau anyir menusuk hidung. Tempat ini adalah simbol kematian.

Dalam ajaran Budha Tibet, kematian adalah kesempatan manusia membaktikan diri pada alam semesta. Jenazah tidak dikubur, tetapi dibiarkan di alam terbuka, untuk memberi makan burung pemangsa. Bahkan sesudah mati pun, jenazah manusia masih boleh mengenyangkan perut burung yang kelaparan. Bukankah menghidupi sesama makhluk di dunia juga merupakan amal dan dharma?

Shiwa Tsal adalah tempat matinya diri kita yang lama, berganti menjadi manusia baru yang tercerahkan. Di sini orang Tibet menyatakan simbolik kematian mereka. Serpihan baju, kalung, tasbih, darah, rambut, dan barang berharga lainnya ditinggalkan di sini. Bukan hanya milik mereka sendiri, tetapi juga punya anggota keluarga lainnya.

Perjalanan semakin curam, melintasi tanah batu yang berzig-zag. Baik Kim dan Yan Fang sudah kehabisan nafas. Kim sudah seputih mayat wajahnya, berjalan dituntun kekasihnya, lambat-lambat di belakang. Saya pun hanya menyeret pelan. Yang ada di benak cuma maju dan terus maju.

Puncak Drolma-La pada ketinggian 5630 meter adalah puncak tertinggi dalam perjalanan ini. Udara sangat tipis. Saya sudah hampir pingsan sebelum sampai di sini, tetapi tepat ketika berada di puncak, setelah pacuan nafas mereda, tiba-tiba tubuh saya dipenuhi energi yang entah dari mana datangnya.

Bendera doa warna-warni yang berkibar ke arah Gunung Dewa. Orang Tibet percaya, semakin tinggi tempatnya, semakin bagus untuk melantunkan doa. Biksu dan bikuni yang berjalan tertatih-tatih menggotong lempengan batu mani, diiring doa dan ditahtakan di hadapan Kailash. Saya tenggelam dalam alunan mantra yang terus bergema dalam hati. Ketika nafas sudah mereda, otak mulai jernih diselimuti kebahagiaan, saya menilik perjalanan panjang penuh derita yang sudah dilalui hingga sampai ke titik ini. Saya seperti batu baterai yang baru di-recharge, penuh semangat baru untuk segera mencapai tujuan akhir – Darchen.

Masih tiga puluh kilometer lagi jalan menuju Darchen. Saya berlari seperti kesetanan turun gunung.

Tetapi, perjalanan suci tak boleh ditempuh dengan buru-buru dan hati takabur. Saya terpeleset. Kaki saya terpelintir. Saya menjerit ketika Yan Fang mengurut kaki saya. Untuk bangkit pun susah, apalagi berjalan. Tetapi tak mungkin berhenti di tempat ini. Saya memaksa untuk terus maju, menyeret kaki kiri yang sudah tak bisa berfungsi lagi. Yan Fang meminjami tongkat, supaya saya terus bertahan.

Mereka semua buru-buru, ingin mencapai Darchen sebelum hari gelap. Saya terpencar sendirian, teman-teman sudah jauh di depan. Saya tak tahu arah, tak punya peta. Saya hanya menyeret kaki mengikuti jalan setapak. Dan memang benar kata orang, semakin hati kita tak tenang, semakin salah kita menyimpang.

Saya melihat di seberang sungai sana ada orang-orang Tibet yang berjalan bergegas mengitari gunung. Sedangkan di sisi sungai sebelah sini, tak ada orang lain. Saya seorang diri. Jalan setapak semakin menciut, hingga akhirnya setelah tiga jam berjalan, berakhir di persimpangan sungai. Bagaimana cara menyeberang ke sana? Sungai ini begitu dalam dan deras, tak mungkin saya menyeberang.

Tiba-tiba dari seberang sana nampak seorang bocah gembala dengan kawanan kambingnya. Saya berteriak, “DARCHEN! DARCHEN!” Suara saya tenggelam oleh gemuruh sungai. Bocah itu segera kembali lagi ke kemahnya, datang membawa sepasang sepatu bot.

Dengan lincah ia meloncati batu-batu besar, meminjamkan sepatu bot itu kepada saya, dan mengajak saya meloncati barisan batu. Saya terpeleset. Kepala saya terbenam dalam air. Arus sungai kuat menghanyutkan.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 19 Agustus 2008

Biksuni meletakkan batu mani di puncak Drolma-La (AGUSTINUS WIBOWO)

Biksuni meletakkan batu mani di puncak Drolma-La (AGUSTINUS WIBOWO)

Bendera doa berkibar di puncak (AGUSTINUS WIBOWO)

Bendera doa berkibar di puncak (AGUSTINUS WIBOWO)

Merayap mengitari Kailash. (AGUSTINUS WIBOWO)

Merayap mengitari Kailash. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

5 Comments on Titik Nol 12: Terbawa Arus

  1. Gak pernah bosen meski berkali2 baca. Thanks ya Gus atas tulisan2mu. GBU

  2. terlahir kembali secara spiritual. tak ada gelar. tak ada status sosial. tak ada perubahan fisik.

  3. “Ziarah, adalah pelepasan kehidupan duniawi.”
    Ibadah haji dan umrahpun memiliki kandungan makna yang sama ziarah…(pilgrimage).

  4. Tulisan yg bagus..serasa ikut bertualang..

Leave a comment

Your email address will not be published.


*