Recommended

Titik Nol 16: Kebangsaan

Bus mogok di tengah padang luas.(AGUSTINUS WIBOWO)

Bus mogok di tengah padang luas.(AGUSTINUS WIBOWO)

Di dalam kesepian ini, saya malah merasakan kerinduan yang teramat dalam pada kampung halaman.

Sudah dua jam kami berhenti untuk sarapan di Coqen. Ada yang aneh. Biasanya bus tak suka berhenti lama-lama. Untuk makan cuma tiga puluh menit, untuk buang air berombongan di pinggir jalan di tengah padang rumput luas, tak lebih dari tiga menit. Laki-laki dan perempuan pun sampai bersamaan melaksanakan hajat, karena bus kami yang merayap lambat di jalan selalu ‘tak punya waktu’ untuk berhenti.

Meninggalkan Coqen, bus bukan merambat lagi, tetapi merangkak. Empat puluh menit perjalanan, kami baru menempuh tujuh kilometer. Setelah itu, bus berhenti sama sekali. Rusak.

As roda patah. Perjalanan tak mungkin lagi dilanjutkan. Semua penumpang terdampar di padang rumput. Sekarang, tak seorang pun tahu kapan kami bisa sampai ke Lhasa.

“Lhasa? Jangan mimpi. Bisa jalan lagi saja sudah hebat,” kata seorang penumpang berpakaian tentara sinis.

Satu jam berlalu. Semula saya senang karena dengan terdampar di sini, monotonnya perjalanan di atas bus bisa sedikit terhapuskan. Semboyan perusahaan bus Tibetan Antelope, “Meiyou Lutou de Laoku, Zhiyou Zaijia de Xiangshou – Tak Ada Susahnya Perjalanan, Cuma Ada Nikmatnya Rumah Tinggal”, yang tertulis besar-besar di badan bus adalah ironi. Sudah lima puluh jam perjalanan penuh siksaan, entah kenikmatan rumah tinggal yang mana, kami bahkan masih berkutat di tempat gersang bergerunjal ini.

Dua jam berlalu, saya mulai bosan. Banyak penumpang yang kedinginan di padang, kembali lagi ke bus, tidur-tiduran.

Tiga jam, masih belum ada tanda-tanda berangkat pula. Sopir berhasil menumpang sepeda motor untuk balik lagi ke Coqen memanggil tukang servis. Penumpang para mahasiswa Tibet duduk di padang. Orang Tibet tampak kurang begitu membaur dengan orang Han – suku mayoritas di China. Mereka lebih suka mengumpul sendiri, berbicara dalam bahasa mereka yang berat. Mereka bersenda gurau sambil menggerogoti daging yak hitam yang sudah dikeringkan di atap rumah selama berbulan-bulan musim dingin. Saya mencicip sedikit. Bukan makanan favorit saya.

Orang-orang Tibet ini tertarik dengan peci Indonesia yang saya pakai. Mereka bergiliran hendak mencobanya. Ada kebiasaan mereka meludahi dulu topi sebelum dipasang di kepala. Alhasil setelah digilir sepuluh orang, peci saya jadi bau tak karuan.

Saya bergabung dengan sekelompok penumpang berpakaian tentara. Ada dua kelompok. Yang satu berjudi kartu. Satunya lagi diskusi kelas berat. Mereka semua orang Han, bukan tentara. Baju tentara sangat populer di sini, cocok dengan alam Tibet yang keras. Diskusi mereka pun tak kalah kerasnya, seputar militer, teori konspirasi, dan geopolitik dunia. Pria China gemar bicara politik di mana pun mereka berada. Bahkan para pemilik warung yang terdampar di tengah padang rumput dan gunung tinggi seperti ini.

“Kalau menurutku, Amerika tak bakal menyerang Iran. Iran itu kuat, wilayahnya luas. Apalagi nanti malah memancing negara-negara Arab akan bersatu,” kata lelaki bertopi seperti tentara Mao.

“Betul itu. Sejak Irak diserang, Timur Tengah sudah mulai mengawasi gerak-gerik Amerika,” kata pria botak satunya, entah dapat teori dari mana.

“Kalau China sudah kuat, Taiwan pasti juga tunduk. Separatis Xinjiang bungkam. Negara-negara tetangga pun takut. India apa lagi, mereka harus mendapat pelajaran,” ucap pria botak itu lagi.

Semakin lama mereka berdiskusi, semakin rasa kebangsaan menggelora dalam jiwa mereka. Mulai dari Hong Kong, Macau, Taiwan, Tibet, Jepang, sampai kekuatan militer, nuklir, eksplorasi luar angkasa, kemajuan ekonomi yang luar biasa yang akan menyatukan seluruh China. Ada mimpi, kebanggaan, ego, kecintaan, harapan, dan masa depan. Kemajuan pesat yang diraih negeri ini dalam beberapa tahun terakhir memang pantas membuat rakyatnya berbangga.

Akhirnya, datang pula tim reparasi dari Coqen. As mobil diganti. Dengan penuh semangat semua penumpang naik ke tempat tidur masing-masing. Mesin dinyalakan.

Hanya gemuruh mesin yang terdengar. Bus ini sama sekali tak jalan.

“Motor penggeraknya yang rusak,” tim reparasi mengumumkan. Wajah mereka sudah hitam legam berkutat dengan mesin butut ini.

Sopir pasrah. Penumpang pasrah. Kami melanjutkan lagi kisah terdampar di sini.

Saya sudah mati rasa ketika akhirnya, menjelang senja, bus bergemuruh meninggalkan padang rumput. Di luar sana, masih padang luas yang kosong sambung-menyambung.

Hari keempat perjalanan, semangat saya sudah luntur. Bus masih berkali-kali mogok. Hujan deras mengguyur sepanjang jalan, menjadikan perbukitan ini menjadi lautan lumpur. Pernah bus kami hampir terhanyut seperti berlayar. Aneh, saya sudah tidak merasa apa-apa lagi, mati rasa dalam perjalanan yang menyiksa lahir batin.

Dusun Sangsang kira-kira separuh jalan menuju Lhasa, adalah tempat kami berhenti makan siang. Desa Tibet ini kumuh. Rumah-rumah berbentuk kotak bertebaran di mana-mana. Jalanan becek. Gerimis masih mengguyur. Belasan bocah dengan wajah bersimbah ingus kering datang menyerbu, menyembah-nyembah dan mengemis. Meja biliar di pinggir jalan, dengan orang Tibet yang sibuk bermain sepanjang hari. Pos polisi dan tentara di mana-mana, dan siaran propaganda sepanjang hari berkumandang melalui corong pengeras.

Hari ini adalah ulang tahun Republik Indonesia yang ke-60, saya malah terdampar sendirian dalam sebuah bus apek di tengah padang dan gunung. Dalam benak saya terbayang bagaimana meriahnya perayaan Agustusan di kampung halaman. Sudah tujuh tahun saya tak melihat karnaval yang langsung menyedot semua penduduk kota kecil Lumajang turun ke jalan-jalan. Betapa rindunya suasana itu…. Saya seorang diri, sambil menekuk lutut di ranjang sempit bus ini, menyanyikan lagu kebangsaan – Indonesia Raya, Dari Sabang Sampai Merauke, Hari Merdeka,…

Para penumpang yang kini sudah menjadi kawan akrab saya setelah kisah terdampar kemarin, tersenyum bercampur iba melihat saya yang kesepian di hari nasional.

“Selamat Hari Kemerdekaan ya…,” pria botak berbaju tentara menghibur.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 25 Agustus 2008

Tak Ada Susahnya Perjalanan, Cuma Ada Nikmatnya Rumah Tinggal.(AGUSTINUS WIBOWO)

Tak Ada Susahnya Perjalanan, Cuma Ada Nikmatnya Rumah Tinggal.(AGUSTINUS WIBOWO)

Dusun Sangsang, sekitar empat hari perjalanan dari Ngari. (AGUSTINUS WIBOWO)

Dusun Sangsang, sekitar empat hari perjalanan dari Ngari. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah pengemis bersimbah ingus. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah pengemis bersimbah ingus. (AGUSTINUS WIBOWO)

3 Comments on Titik Nol 16: Kebangsaan

  1. Kisah perjalanan yg luar biasa…

Leave a comment

Your email address will not be published.


*