Recommended

Titik Nol 17: Patah Semangat

Semakin dekat ke Lhasa, jalan mulai beraspal.(AGUSTINUS WIBOWO)

Semakin dekat ke Lhasa, jalan mulai beraspal.(AGUSTINUS WIBOWO)

Sembilan puluh jam berlalu sejak saya berangkat dari kota Ngari. Hujan rintik-rintik turun di Lhasa. Ransel saya, yang disimpan di bagasi, terbungkus lumpur lengket setebal satu sentimeter. Kaki saya lemas, ditekuk sepanjang jalan. Yang paling parah, motivasi saya turut hancur.

Sembilan puluh jam yang terbuang di atas bus sempit dan pengap sudah menggerogoti semangat berpetualang saya.. Perjalanan di Tibet tak mudah. Saya sungguh takut menghadapi lintasan yang selanjutnya membentang di hadapan saya – Lhasa, Shigatse, Gyantse, sampai ke Nepal. Masihkah saya punya cukup keberanian untuk menyelundup tanpa permit, main kucing-kucingan dengan tentara dan polisi, menumpang truk sepanjang jalan sampai ke batas akhir perjuangan? Tubuh saya yang remuk redam sudah tak ingin lagi bermain gila-gilaan. Mendung tebal yang menyelimuti kota Lhasa seakan mewakili isi hati.

Banakshol Hotel adalah salah satu penginapan paling legendaris di Lhasa. Petualang asing dan dalam negeri menginap di losmen bergaya arsitektur Tibet. Nuansa backpacker ghetto ala Khao San Road (Bangkok) atau Phan Ngum Lao (Saigon) yang jarang dijumpai di tempat lain di negeri China, hidup di sini. Saya menginap di sebuah dormitory bersama Man Fai si turis Hong Kong dan seorang turis lain asal Inggris yang hendak berangkat ke Nepal.

“Pergi ke Nepal sangat mahal,” kata si turis Inggris, “orang asing harus naik jip resmi. Biayanya bisa sampai sepuluh ribu Yuan.”

Saya tak punya uang sebanyak itu. Papan pengumuman di Banakshol Hotel selalu penuh dengan selebaran, berisi backpacker yang ingin mencari teman seperjalanan untuk membagi ongkos transportasi yang mahal. Salah satunya, dua orang Inggris berencana berangkat ke Everest Base Camp, mencari seorang penumpang tambahan untuk membagi ongkos jip yang 9350 Yuan. Kalau dibagi tiga atau empat orang, mungkin masih cukup terjangkau.

Saya sempat tergoda. Saya mengirim email kepada sang turis, walaupun sebenarnya ia tinggal di kamar sebelah. Si turis langsung merespon keesokan harinya, menyambut baik niat saya yang ingin naik jip sama-sama.

Tetapi, hati saya masih belum bertekad. Sedari dulu saya selalu menghindari kegiatan turisme. Pengalaman pertama kali saya ber-‘wisata’ adalah ikut grup turis China, dari Beijing menuju Xi’an. Sebuah pengalaman yang sekali saja langsung membuat kapok. Seorang pemandu wisata bertopi merah, berbendera merah yang terus dikibarkan. Turis-turis memasang topi merah dan pin warna merah, biar tidak hilang di jalan. Ke mana-mana kami harus mengikut sang pemandu, seperti kawanan domba yang digiring gembalanya. Ini tak boleh, itu tak boleh, semua harus turut perintah.

Justru pengalaman itulah yang kemudian membuat saya menjadi backpacker seperti sekarang ini. Perjalanan ke Mongolia dengan berkemah di padang rumput, dilanjutkan petualangan gila ke Afghanistan setelah jatuhnya Taliban, membuat saya semakin berani menghadapi tantangan.

Apakah berkeliling Tibet dengan menyewa jip, mereduksi semua kesusahan menjadi kenyamanan dan kesenangan, adalah petualangan Tibet yang saya impikan? Berkali-kali, saya bertanya sendiri. Betapa pun kenikmatan itu sungguh menggoda, tetapi jawabannya tetap, tidak.

Tetapi tubuh saya sekarang lemah. Saya sakit, diare berat. Sekarang berjalan pun susah. Keberanian sudah menipis. Saya tak yakin, saya masih berani bermain petak umpet dengan polisi lagi. Sekarang saya cuma ingin sampai ke Nepal, mengakhiri penderitaan perjalanan di sini.

Di manakah lagi keberanian dan semangat pantang menyerah yang saya bawa dari Beijing hingga ke tempat ini?

Sebuah email dari Steven Kusnadi, seorang backpacker Indonesia yang sudah menjelajah Tibet tahun sebelumnya dan menjadi ‘Guru’ traveling saya, seperti membangunkan hati saya yang tertidur dengan gerojokan air dingin:

“Gua hitchhike dari Kailash sampai Shigatse. Di sana gua nginep sehari, dan banyak orang juga yang nginep untuk lanjutin jalan ke Everest. Biasanya bule-bule yang pakai landcruiser dari Lhasa. Terus besoknya, dari situ gua nunggu setengah hari akhirnya ketemu satu keluarga yang mau ke New Tingri dan mereka drop gua di kampung sebelah, katanya sih lebih banyak mobil dari sana ke Everest … mahal banget … hampir gua batalin rencana ke Everest, eh ada dua orang Jerman datang, ternyata mereka bawa truk tukang angkut batu, murah…. ”

Steven menceritakan betapa serunya petualangan menumpang kendaraan, dari Kailash sampai ke Lhasa, mampir ke Gunung Everest dengan naik truk angkut batu. Betapa susahnya perjalanan itu, tidak semulus dengan membayar ribuan Yuan lalu duduk di atas landcruiser yang nyaman bersama turis-turis bule yang berduit tebal. Betapa banyak kisah lucu dari petualangan itu. Tujuan, bukanlah yang utama dalam perjalanan. Justru perjuangan dalam perjalanan itulah yang membuatnya semakin berarti.

Semangat saya perlahan-lahan tumbuh kembali, ketika berbincang dengan para petualang China yang masih terpesona oleh nuansa asing Banakshol. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan perekonomian China, semakin banyak generasi muda China dari kota-kota besar di bagian timur yang menjelajah negeri, mencari petualangan hidup, dan yang lebih mampu lagi – merambah negeri tetangga.

Seorang pesepeda cewek, sendirian berkeliling Tibet, berkisah betapa asyiknya berkemah di tempat-tempat sepi, menyusuri jalan gunung, bergulat di tanah tinggi dengan oksigen tipis. Seorang backpacker pria, berencana ke Nepal, baru pertama kali ke luar negeri, sibuk menghafalkan kosa kata bahasa Inggris. Buku yang dipakai pun lucu sekali, kalimat-kalimat bahasa Inggris dieja dengan huruf China. ‘Selamat pagi’ jadi gu-de-mao-ning. ‘Terima kasih’ jadi san-ke-you. Tetapi, semangatnya belajar demi petualangan baru yang akan dihadapi, juga menular kepada saya. Ada lagi yang tak kalah hebatnya, seorang gadis Beijing yang punya hobi memanjat tembok kuil untuk menghindari karcis masuk yang mahal.

Di Banakshol saya terjatuh. Di Banakshol pulalah saya perlahan bangkit.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 26 Agustus 2008

Mogok lagi. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mogok lagi. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mendung tebal di Lhasa. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mendung tebal di Lhasa. (AGUSTINUS WIBOWO)

Banakshol Hotel, backpacker ghetto di ibu kota Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO)

Banakshol Hotel, backpacker ghetto di ibu kota Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*