Recommended

Titik Nol 25: Runyam

Perempuan Tibet pun tangguh menjadi kuli bangunan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Perempuan Tibet pun tangguh menjadi kuli bangunan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bicara soal politik di Tibet bisa berakhir runyam. Jangan sembarangan berdiskusi tentang Dalai Lama, kontroversi Panchen Lama, kehidupan beragama, dan hal-hal sensitif lainnya kalau tidak ingin terlibat dalam kesulitan.

Menjadi orang asing di Tibet memang tidak mudah, apalagi kalau kita masuk ilegal dan tidak mengikuti peraturan pemerintah Tiongkok yang membatasi semua gerak-gerik di daerah ‘terlarang’ ini. Selain permit yang harganya menggila, orang asing juga tidak diizinkan naik kendaraan umum, apalagi menumpang truk di jalan. Yang diperbolehkan cuma jip turis, khusus disewa dari biro tur yang harganya tentu saja melangit. Saya, sebagai backpacker miskin, berusaha mencari jalan belakang – menyamar sebagai orang China.

Beruntung karena masih berwajah Asia dan cukup fasih berbahasa Mandarin, saya masih bisa ‘lewat’. Membeli tiket bus menuju Shegar di kaki Everest misalnya, saya sama sekali tak mengalami kesulitan. Beda halnya dengan seorang backpacker bule dari Kanada yang sudah bolak-balik terminal selama tiga hari terus gagal juga mendapat karcis. Saya membantunya membelikan karcis, tetapi loket penjual sudah curiga dan tetap tak mau memberi tiket. Ia sudah menyetop truk, tetapi tak satu pun yang mau berhenti. Sungguh memusingkan.

Sebenarnya bukan karena sopir tak mau uang, tetapi karena mengangkut orang asing dan sampai tertangkap polisi, risikonya bisa didenda ribuan Yuan. Dari Shigatse menuju perbatasan Nepal, ada dua pos pemeriksaan besar. Yang satu di Lhatse, satunya lagi di Nyalam. Dua tempat ini adalah yang paling berbahaya bagi orang asing yang menumpang kendaraan umum sepanjang rute Friendship Highway.

Sepanjang jalan, setidaknya saya melihat tiga turis bule yang berusaha mencegat bus. Tak dihiraukan sama sekali. Setelah lewat pos pemeriksaan di Lhatse, bus yang saya tumpangi baru berani berhenti, mengangkut dua orang turis berkulit putih yang menunggu di pinggir jalan.

“Sejak kemarin kami menunggu seharian di Lhatse,” kata gadis Israel berambut pirang itu, “tetapi sungguh tak ada satu pun kendaraan yang bersedia mengangkut. Kami diminta jalan kaki dulu, melewati pos polisi yang jauhnya dua kilometer dari kota. Dan benar kata mereka, baru setelah menunggu di sini dua jam, kendaraan berhenti mengangkut kami.”

Selepas Lhatse, jalanan yang semula beraspal mulus berubah menjadi jalan buruk penuh lumpur. Beberapa kali bus kami terbenam dalam kubangan. Sampai akhirnya, bus benar-benar terhenti karena rendaman lumpur yang tinggi.

Di sebelah sana, orang Tibet sedang sibuk membangun jalan. Bukan cuma laki-laki, pekerjaan membangun jalan pun dikerjakan oleh kaum perempuan Tibet yang perkasa. Memanggul batu gunung besar tak masalah. Mengaduk semen, menyaring pasir, bahkan sampai menatah batu, semuanya bisa dikerjakan oleh kaum perempuan.

Mereka yang bekerja di sini adalah kaum melarat dari desa-desa terpencil. Kehidupan yang berat di atap dunia memaksa mereka untuk bekerja keras menyambung hidup, kalau tidak ingin disaingi serbuan pekerja dari daratan China yang siap menempati semua lowongan pekerjaan.

Sejak pemerintah China berkuasa, pembangunan gencar melanda seluruh penjuru Tibet. Jalan tol, listrik, pendidikan, layanan kesehatan, pemantapan ekonomi. Inilah yang disebut seorang kawan saya dari Sichuan sebagai ‘membeli hati si anak tiri’.. Pembangunan gencar mengangkat derajad hidup orang Tibet, dari masyarakat terbelakang yang hidup dalam surga spiritual mereka menuju ke kehidupan yang lebih modern dengan membanting tulang memenuhi kebutuhan materi. Tibet sudah jauh berubah.

Petualang Austria Heinrich Harrer yang pernah hidup bersama Dalai Lama, dalam bukunya berjudul “Seven Years in Tibet” terbitan 1952, menulis:

“Agama Kristen dan Buddha punya banyak kesamaan. Keduanya berdiri di atas dasar kebahagiaan di dunia lain, keduanya mengajarkan kesederhanaan dalam hidup. Tetapi ada perbedaan dalam kenyataannya hari ini. Di Tibet, orang tak perlu diburu-buru dari pagi sampai malam oleh apa yang disebut ‘peradaban’. Di sini, agama menguasai sebagian besar kehidupan individual, seperti dunia Barat di Zaman Pertengahan.”a

Lima puluh tahun lebih berselang, materialisme, ‘peradaban’, tuntutan duniawi, juga turut menjadi bagian kehidupan orang Tibet, diperkenalkan oleh para pembaharu Tiongkok. Kini, bersama saudara-saudara setanah air, mereka harus turut membanting tulang demi kemajuan zuguo – ibu pertiwi.

“Kami kecewa datang ke Lhasa,” kata turis Israel yang perempuan, ketika kami menikmati makan malam bersama di restoran Tibet di desa Shegar.

“Lhasa sudah tak ada bedanya dengan kota-kota lain di China. Di mana-mana orang China, dan semua orang juga sudah gila uang.” Ia mengeluhkan betapa Tibet sudah terkormesialisasi, semuanya uang, uang, dan uang.

Saya menimpali, “Di pusat kota Lhasa, saya melihat lebih banyak orang Sichuan dan Uyghur daripada penduduk Tibet. Makanan Sichuan merajalela. Lebih mudah menemukan Mapo Doufu daripada warung tsampa – makanan  asli Tibet.”

Kawannya, pria Israel yang tinggi besar, membisikkan tentang Dalai Lama dan kontroversi Panchen Lama. Informasi adalah barang sensitif di sini. Semua situs internet yang berhubungan dengan Tibet dan tidak sejalan dengan versi pemerintah China diblokir, dari situs berita sampai blog, dari situs berbagi video sampai galeri foto, apalagi situs resmi pemerintahan pengungsian Tibet pimpinan Dalai Lama.

Bicara politik macam ini sangat berbahaya di Tibet. Walaupun sudah berbisik-bisik, dalam bahasa Inggris di dusun kecil macam Shegar, dan sesekali mengalihkan pembicaraan ke soal turisme, tetap saja risikonya sangat tinggi.

Tiba-tiba, meja digebrak. Seorang pria Tibet berseru ke arah kami, dalam bahasa Inggris yang kasar, “Kalau kalian tidak suka Lhasa, buat apa kalian datang ke Tibet? Kami tidak butuh orang macam kalian di sini!”

Saya berusaha menenangkannya, menjelaskan bahwa ini salah paham. Yang kami bicarakan bukan Lhasa, tetapi tentang restoran Sichuan di Lhasa. Lelaki Tibet itu, yang ternyata adalah pemandu wisata, mengira saya adalah penerjemah kedua turis bule itu.

“Lain kali, kamu jelaskan yang benar kepada tamu-tamumu. Tibet itu bagian dari China! Dari dulu, sekarang, dan selamanya!”

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 5 September 2008

Sebuah desa tertinggal, dihuni oleh mayoritas penduduk etnis Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO)

Sebuah desa miskin, dihuni oleh mayoritas penduduk etnis Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bagi turis berkulit putih, mencegat truk di jalan bukan pekerjaan mudah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bagi turis berkulit putih, mencegat truk di jalan bukan pekerjaan mudah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Leave a comment

Your email address will not be published.


*