Recommended

Titik Nol 24: Pagoda Selaksa Buddha

Kuil Selaksa Budha. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kuil Selaksa Budha. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kota Gyantse, kota terbesar ketiga di Tibet, terletak di tenggara kota Shigatse. Dulunya kota ini adalah perbatasan Tibet, tempat para pejuang Tibet bertempur melawan Inggris di bawah komando Younghusband. Benteng dzong di atas bukit mendominasi pemandangan kota tua ini, melenggak-lenggok di atas bukit terjal, mengingatkan kita akan kejayaan Tibet masa lalu. Namun sekarang Gyantse menjadi kota kecil yang tenang, perlahan-lahan dirambah modernitas yang berhembus dari Tiongkok.

Dulu, Gyantse adalah persimpangan penting jalur perdagangan antara Lhasa dengan Ladakh, Nepal, India, Sikkim, dan Bhutan. Karavan unta dari Ladakh, Nepal, dan Tibet melintas di kota ini, membawa emas, garam, wol, bulu, gula, tembakau, teh, katun, dan sebagainya. Buku-buku yang saya baca menyebutkan bahwa Gyantse adalah kota Tibet yang paling kecil pengaruh China-nya. Tetapi mungkin buku-buku itu sudah terlalu kadaluwarsa. Gyantse pun sudah dipenuhi gedung-gedung tinggi, pertokoan baru, dan orang Han dari Sichuan di mana-mana. Orang China hidup di kota baru, sedangkan kota lama di sekitar kuil Pelkor Chode masih didominasi rumah batu penduduk asli.

Daerah kota orang Tibet tertata rapi di sepanjang jalan lebar. Beberapa dari mereka membuka usaha toko yang menjual baju adat dan perlengkapan sembahyang. Beberapa pria nampak sibuk memintal benang wol. Kota ini terkenal dengan perdagangan wol. Ada pula restoran, dengan menu utama teh mentega, bubuk tsampa, dan bakmi pithu. Dibandingkan dengan restoran Sichuan yang mematok harga gila-gilaan, makanan asli Tibet jauh lebih terjangkau.

Kuil Pelkor Chode, sudah hampir enam ratus tahun umurnya, ternama karena pagoda raksasa yang dinamakan Kumbum, Pagoda Selaksa Buddha. Bentuknya poligon simetris, menggambarkan dimensi kosmologi mandala Buddhisme. Pagoda ini berbadan gemuk, tingginya 32 meter, dengan sebuah kubah emas menaungi puncaknya. Pagoda terdiri dari sembilan lantai, dengan lantai atas bergambarkan pasangan-pasangan mata misterius. Ada 108 pintu dengan 77 kamar, masing-masing menyimpan ratusan patung Buddha ukuran besar dan kecil. Temboknya pun penuh dengan hiasan religius.

Sejak dari pintu masuk, yang saya rasakan adalah materialisme yang merambah bahkan sampai ke dalam kuil. Di sini semua butuh uang dan uang. Karcis masuk kuil 40 Yuan. Setelah merayu biksu penjual karcis, saya berhasil mendapat diskon jadi 20 Yuan. Untuk masuk ke pagoda Kumbum, kalau bawa kamera masih harus bayar lagi 10 Yuan.

“Kalau kamu tak mau bayar, turun saja!” seru biksu tua yang menjaga pagoda, kasar..

Saya yang tak suka dengan komersialisasi tempat ibadah seperti ini memilih untuk tak membawa kamera besar. Sebuah kamera saku berhasil saya selundupkan, tetapi di dalam pagoda tiba-tiba kamera itu rusak. Mungkin Buddha juga tak suka melihat saya curang.

Rata-rata gaji biksu di kuil ini adalah 300 Yuan, berasal dari karcis masuk dan sumbangan umat. Seorang biksu bilang, mereka yang menjual karcis gajinya lebih besar lagi. Dulu, sebelum Revolusi Kebudayaan, ada sekitar 1.500 biksu di kuil ini. Tetapi kemudian pemerintah China mengkontrol perkembangan agama, membatasi jumlah biksu, memberlakukan peraturan yang teramat ketat sehingga kuil tidak bisa sembarangan menambah biksu baru. Sekarang jumlah biksu tak lebih dari seratus orang saja.

Materialisasi bukan hanya ada di pagoda Kumbum. Di kuil tempat para biksu membaca sutra pun, uang terus berputar.

Puluhan biksu berbaju merah marun dari aliran Sakya sekte Topi Merah duduk bersila di atas kursi panggung yang berjajar. Di hadapan mereka masing-masing ada setumpuk sutra kuno, lembaran demi lembaran berwarna hitam bertulis tinta emas. Dalam ruangan gelap dan temaram dikelilingi patung-patung Buddha berukuran besar, mulut mereka menghasilkan bacaan doa yang sangat berat dan dalam, diproduksi dari getaran pita suara yang tertekan. Monoton, datar, bertalu-talu. Dari pagi hingga petang, sutra dan mantra terus dibaca bersama-sama.

Ketika saya mengeluarkan kamera, tiba-tiba datang seorang biksu muda.

Shushu – paman, karcis kamera 20 Yuan!” Ia menunjukkan selembar cetakan resmi dari biara.

Ini bukan pungutan liar. Tak bisa ditawar. Ia langsung tersenyum begitu saya membayar.

“Sekarang shushu boleh memotret di mana pun kamu mau,” katanya.

Biksu muda berambut tipis ini bisa berubah menjadi galak seketika, juga gara-gara duit. Serombongan turis bule datang di bawah bimbingan seorang guide China. Waktunya panen raya bagi si biksu, karena pemandangan puluhan biksu yang berkonsentrasi membaca sutra dalam temaram kuil tentu bukan hal yang bisa dilewatkan kamera fotografer. Beberapa turis menolak membayar, tetapi mencoba mencuri-curi mengambil gambar.

“Close your camera! I say you to close!!!” biksu muda penarik tiket langsung berteriak dengan muka garang.

Di sekeliling ruang pembacaan mantra, ada tiga ruangan, masing-masing berisi patung Buddha dan Bodhisatva. Kekayaan benda peninggalan sejarah Tibet, walaupun masih menakjubkan, sebenarnya sudah sedikit dari yang tersisa selama pengrusakan total dalam Revolusi Kebudayaan. Patung Maitreya berdiri gagah, bersama Sakyamuni dan Avalokiteshvara, dalam ruangan gelap yang menyiratkan misteri religius. Setiap patung suci dikalungi selendang sutra putih khata, dan di setiap tangan Buddha disematkan uang kertas Yuan yang masih baru, bergambarkan sang pemimpin komunis Mao Zedong.

Setiap kamar berisi patung-patung Buddha ada penjaganya. Masing-masing minta duit. Apakah agama di sini sudah menjadi arena tontonan pada para turis yang tak segan merogoh kocek dan menyodorkan Yuan? Mengapa semua kehidupan religius sekarang bisa dikomersialisasikan, sampai para biksu pun tergila-gila untuk terus mengeruk penghasilan?

Waktu makan siang, para biksu pun sementara berhenti membaca sutra. Seorang biksu petugas membagikan mangkuk berisi mi. Biksu tua menyeruput bakmi dengan takzim. Yang agak muda juga masih di tempat duduk yang sama, mengisi perut yang keroncongan. Yang lebih kecil lagi, misalnya Sefun yang baru berumur 12 tahun, dengan bahasa Mandarin pas-pasan menyatakan ketertarikannya pada telepon genggam yang saya pakai.

Hidup terus berubah. Gyantse, perbatasan Tibet ini pun sudah terambah modernisasi. Yuan bertengger di tangan patung Buddha. Biksu tua marah-marah demi duit. Biksu kecil terpesona oleh kemajuan teknologi.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 4 September 2008

Patung Budha dengan lembaran uang Renminbi bergambar Mao Zedong. (AGUSTINUS WIBOWO)

Patung Budha dengan lembaran uang Renminbi bergambar Mao Zedong. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pembacaan sutra, untuk memotretnya harus bayar. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pembacaan sutra, untuk memotretnya harus bayar. (AGUSTINUS WIBOWO)

Para biksu menikmati makan siang di ruang sembahyang.(AGUSTINUS WIBOWO)

Para biksu menikmati makan siang di ruang sembahyang.(AGUSTINUS WIBOWO)

Leave a comment

Your email address will not be published.


*