Recommended

Titik Nol 23: Biksu Era Handphone

Biksu era handphone (AGUSTINUS WIBOWO)

Biksu era handphone (AGUSTINUS WIBOWO)

Salah satu hal yang membuat saya cukup ternganga melihat modernitas Tibet, kehidupan kuno di atap dunia yang diarak menyambut abad milenium, adalah pemandangan biksu-biksu bertelepon genggam.

Biksu-biksu muda yang tinggal di Tashilhunpo boleh dibilang beruntung. Setiap bulan mereka mendapat uang saku dari pemerintah. Ada yang 1200 Yuan, ada yang sampai 1400. Yang bertugas menjual karcis lebih tinggi lagi penghasilannya.

Ada pula biksu guide, mengajak turis berkeliling kompleks kuil raksasa ini sambil menjelaskan seluk beluk kehidupan umat Budha Tibet dalam bahasa Inggris yang fasih. Mereka memasang tarif yang sama dengan standar pemerintah, 50 Yuan per jam.

Dengan adanya penghasilan yang bisa dibilang tidak sedikit ini, para biksu boleh mengikuti kemajuan zaman.

Saya diundang masuk ke asrama biksu penjaga pintu di dekat gerbang. Ruangan ini gelap. Cahaya mentari menyeruak masuk dari jendela kayu, membilas wajah kamar kecil dengan tungku di tengahnya. Foto Thubten Gyatso, mendiang Dalai Lama ke-13, dan Choekyi Gyaltsen, mendiang Panchen Lama ke-10, terpajang di dinding.

Di sini ada empat biksu muda, berusia antara dua belas sampai delapan belas tahun. Baju mereka merah marun, bersimpang di dada. Kepala mereka botak, seperti layaknya biksu seharusnya.

Tetapi menjadi biksu bukan berarti hanya hidup di balik kungkungan biara, terlepas dari perputaran roda dunia luar. Para biksu muda ini sedang antusias mengamati model telepon genggam terbaru yang dibawa oleh rekannya, biksu merangkap pemandu wisata turis.

“Berapa harganya?” tanya yang satu.

“Bisa untuk merekam video? Bisa untuk memotret?” tanya yang lain.

Yang satunya lagi mencoba-coba fitur permainan yang ada dalam mesin canggih itu. Ia tersenyum puas dengan layar telepon yang besar dan ukurannya yang praktis.

Dengan penghasilan mereka yang tidak kecil, karena tinggal di kuil besar dan penting seperti Tashilhunpo, mereka mulai mengecap modernitas. Telepon genggam bukan lagi barang duniawi yang harus dilepaskan keterikatannya. Sekarang telepon sudah jadi benda wajib. Di Lhasa saya melihat banyak biksu bertelepon, mulai dari lama senior Kuil Jokhang sampai biksu peziarah dari Qinghai. Biksu Shigatse pun tak mau ketinggalan.

Uang juga menjadi daya tarik untuk masuk biara. Menjadi biksu dengan penghasilan yang lumayan besar untuk ukuran Tibet bisa menjadi penyokong perekonomian keluarga.

Tetapi uang juga dijadikan alat kontrol. Biksu muda ini bercerita bahwa mereka bukan hanya menerima uang bulanan tetapi wajib juga membayar denda kalau melanggar aturan biara.

Terlambat bangun, bolos, mengizinkan turis masuk tanpa karcis, adalah contoh-contoh pelanggaran yang bisa kena denda. Besarnya bervariasi, mulai dari puluhan sampai ratusan Yuan.

Uang adalah segalanya di negara ini. Saya teringat, lima tahun lebih tinggal di Beijing sebagai pelajar, betapa uang menjadi pembangkit motivasi sekaligus alat kontrol. Yang berhasil meraih prestasi diberi hadiah uang. Yang melanggar aturan didenda mahal. Kebijaksanaan Satu Anak berhasil karena denda yang sangat besar bagi orang Han yang ingin punya anak lebih.

Pernah suatu ketika saya ikut darma wisata bersama. Kelas kami adalah kumpulan orang asing yang belajar Bahasa Mandarin di Beijing. Karena ini darma wisata yang diadakan sekolah, biaya pun ditanggung pihak sekolah. Tetapi bukan berarti kami bebas dari tanggung jawab. Peserta darmawisata harus patuh terhadap pemandu wisata, dilarang keras meninggalkan kelompok tanpa persetujuan, dan harus kembali ke Beijing bersama-sama. Untuk menjamin peraturan semua dipatuhi, setiap peserta darma wisata diwajibkan memberikan uang jaminan sebesar 500 Yuan sebelum berangkat. Kalau peserta mengikuti program tanpa menimbulkan masalah, uang ini dikembalikan. Sebaliknya, kalau melanggar aturan, maka uang ini hangus.

Lima ratus Yuan bukan jumlah yang kecil. Tetapi lebih daripada nilai uang itu sendiri, denda punya fungsi sebagai hukuman sosial juga. Rasa malu yang ditimbulkan jauh melebihi harga nominal yang dibayar.

Sistem penghargaan dan hukuman dengan uang, yang menggerakkan disiplin dan etos kerja di negeri China, sampai juga ke pelosok biara di Tibet. Biksu yang malas kena denda. Turis yang mencuri-curi memotret atau masuk tanpa karcis juga didenda. Uang, uang, dan uang, biara pun tak lepas dari keterikatan duniawi.

Pukul enam tepat, para biksu bergegas menuju ruang pembacaan sutra. Mereka mengenakan topi kuning dengan bulu-bulu di atasnya. Doa yang berat dari dasar kerongkongan bertalu-talu, bergema melalui pilar dan rongga, mengisi kesunyian dengan aura mistis.

Tetapi tak semua biksu muda ikut pembacaan mantra. Beberapa orang sibuk di dapur, menumbuk mentega dan garam, dicampurkan dengan teh. Teh mentega, dalam bahasa Mandarin disebut suyou cha, atau pocha dalam bahasa Tibet, adalah minuman pokok di Tibet dan Bhutan. Menteganya berasal dari minyak yak. Rasanya asin. Biksu muda di ruang penjaga menyiapkan teh susu manis, campuran teh, susu, dan gula.

Senja menyelimuti Tashilhunpo. Saya bergegas meninggalkan kuil ini sebelum pintu gerbang ditutup. Takutnya, turis yang masih berkeliaran di kompleks biara setelah pintu ditutup juga akan kena denda.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 3 September 2008

Asrama biksu muda (AGUSTINUS WIBOWO)

Asrama biksu muda (AGUSTINUS WIBOWO)

Sekte Topi Kuning (AGUSTINUS WIBOWO)

Sekte Topi Kuning (AGUSTINUS WIBOWO)

Sepatu biksu berserakan di depan ruang pembacaan sutra (AGUSTINUS WIBOWO)

Sepatu biksu berserakan di depan ruang pembacaan sutra (AGUSTINUS WIBOWO)

2 Comments on Titik Nol 23: Biksu Era Handphone

  1. denda!

Leave a Reply to Rizki M. Djakaria Cancel reply

Your email address will not be published.


*