Recommended

Titik Nol 26: Everest Base Camp

Pemandangan menuju Everest. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pemandangan menuju Everest. (AGUSTINUS WIBOWO)

Siapa yang tak kenal Everest, puncak tertinggi di muka bumi? Gunung agung itu kini terpampang di hadapan mata.

Saya berencana menuju Nepal hari ini. Uang Renminbi saya sudah tak banyak, tak bisa bertahan lama di Tibet yang serba mahal ini. Lagi pula, visa China saya juga sudah mepet. Di Shegar, mencari kendaraan ke Tingri atau perbatasan Nepal tak mudah, apalagi karena saya sekarang bersama dua orang bule Israel. Setiap kali saya berhasil menyetop truk, begitu sopirnya lihat ada bule, langsung kabur.

Kami sudah menunggu dari pagi sampai siang.

Shushu….Shushu… mau ke Zhufeng?” seorang pria Tibet berkulit hitam dan keras menyapa. Shushu, dalam bahasa Mandarin, artinya paman.

Apakah saya sudah setua itu? Lelaki ini umurnya sudah empat puluh tahunan, dan seperti biasanya orang Tibet memanggil orang China, tak peduli tua muda, dengan sebutan shushu (paman) dan ayi (bibi).

Zhufeng, dalam bahasa Mandarin, berarti Puncak Permata. Nama ini adalah singkatan dari Zhumulangma Feng, terjemahan dari nama Tibet Qomolangma, yang artinya Dewi Ibunda Alam Semesta. Orang kebanyakan lebih mengenal tempat ini dengan nama Everest, sebuah nama yang melekat pada puncak tertinggi di dunia ini sejak tahun 1865. Sir George Everest adalah pemimpin Great Trigonometrical Survey yang pada masa itu memetakan puncak-puncak tinggi Himalaya.

Puncak Qomolangma, pada ketinggian 8850 meter, terletak tepat di perbatasan Tibet dan Nepal. Orang Nepal sendiri baru pada tahun 1960’an menamai puncak itu sebagai Sagarmatha – Dewi Langit.

Shushushushu…” lelaki itu terus berusaha merayu saya untuk pergi ke Everest dengan naik sepeda motornya, “tak mahal. Nanti sampai sana shushu pakai baju orang Tibet. Tak perlu naik mobil turis.”

Ia menawarkan harga 250 Yuan, tak mahal sebenarnya. Saya bisa menginap di sana, dan pulang keesokan harinya. Gunung pun ada karcisnya, 65 Yuan. Setelah membayar ini, uang saya tak lebih dari 300 Yuan, empat puluh dolar saja. Saya agak cemas apakah bisa sampai ke Nepal dengan uang segini. Tetapi kapan lagi saya bisa ke Everest, sementara jaraknya sekarang cuma beberapa kilometer saja dari sini?

Donchuk, tukang ojek Tibet itu, mengajak saya ke rumahnya.

Shushu…, tasnya ditaruh di rumah nga saja. Aman. Besok shushu sama nga pulang, ambil tas, shushu berangkat ke Nepal.”

Donchuk tak terlalu bagus bahasa Mandarinnya, agak susah saya mengerti ucapannya karena dicampur-campur dengan kata bahasa Tibet. Tetapi ia masih mending, kebanyakan orang Tibet di desa tak bisa Mandarin sama sekali.

Semilir angin berembus mengibas telinga saya. Dingin. Semula saya tak menduga akan berangkat ke kaki Everest. Uang saya tak banyak. Dan yang saya dengar, untuk berangkat ke Everest turis harus menghabiskan banyak dana. Pertama, untuk beli permit, 150 Yuan. Kemudian coba dibolehkan naik jip, bisa ribuan Yuan kalau dari Lhasa plus karcis masuk mobil yang sampai 450 Yuan. Lantas, masuk ke daerah Taman Nasional Qomolangma harus naik mobil pemerintah, Eco-bus, 80 Yuan sekali jalan. Belum lagi kalau mau trekking ke Everest, tarifnya 100 dolar per hari. Bagi kantong saya yang tipis, Everest cuma mimpi.

Tetapi Donchuk membuat mimpi saya menjadi nyata.

Naik sepeda motor ke Everest juga petualangan tersendiri. Pertama, pos tentara perbatasan di Shegar, memeriksa paspor. Tak ada permit pun tak masalah. Kemudian di dusun Chay ada pemeriksaan tiket dan paspor. Kebetulan waktu beli tiket tadi, tanpa ditanya, saya mendapat tiket untuk Warga Negara China. Mungkin karena tampang saya yang sudah persis penduduk lokal, jadi tak perlu menunjukkan paspor dan permit.

Pemandangan Tibet yang sudah berkerut-kerut hebat karena puncak gunung tinggi yang menggapai langit, di sini lebih dramatis lagi. Everest masih jauh, tetapi saya seperti sudah sampai di alam mimpi. Langit biru dengan arakan mega, lembah hijau dikurung bukit yang sambung menyambung, di kejauhan gunung megah bertahta salju putih. Bagi Donchuk, pemandangan seperti ini sudah biasa. Tetapi saya, mimpi pun tak berani membayangkannya.

Di desa Tashirom, kami berhenti makan siang. Harga makanan di sini mahal sekali. Saya tak berani makan banyak.. Yang menakjubkan, di pedalaman Tibet seperti ini, masih ada orang Han dari provinsi Sichuan yang membuka toko, warung, dan hotel. Orang China memang merambah seluruh dunia untuk mencari nafkah, bahkan sampai ke kaki Everest.

Selanjutnya perjalanan yang menyiksa. Kami menurun bukit terjal. Jalan berbelok-belok bak spiral. Turun sedikit, kemudian ke kanan, dua ratus meter, lalu turun sedikit, ke kiri dua ratus meter, lalu turun sedikit lagi, ke kanan lagi, turun, ke kiri…. Kata Donchuk totalnya ada 108 belokan. Angka 108 memang angka keramat, pembawa keberuntungan bagi orang Buddha, tetapi 108 belokan di gunung tinggi sama sekali bukan keberuntungan. Yang ada pundak pegal dan kepala pusing, walaupun cuma sekadar duduk di boncengan sepeda motor.

Shushu… di depan ada pos pemeriksaan,” kata Donchuk menghentikan sepeda motor bututnya, “sekarang shushu pakai baju nga ini.”

Desa di depan adalah Pasong, tempat semua turis harus turun dari kendaraannya, berganti naik huanbaoche – mobil perlindungan lingkungan. Namanya saja indah, tetapi ujung-ujungnya duit juga. Hanya orang Tibet yang boleh naik terus.

Pakai topi koboi, pakai jaket merah berlabel Everest Gear Everest Protection Team, copot kacamata, sekarang saya siap menyamar sebagai anggota tim pemelihara lingkungan.

Lolos. Petugas di Pasong sama sekali tidak curiga kalau saya orang asing. Selanjutnya, di pos terakhir di Kuil Rongphu, batas akhir semua kendaraan bermotor, Donchuk meminta saya turun. Everest Base Camp masih delapan kilometer lagi, dan dalam radius ini semua kendaraan bermotor dilarang demi ‘pemeliharaan lingkungan’. Tetapi larangan ini khusus untuk kendaraan turis, kalau yang naik cuma orang Tibet tak masalah. Sekarang giliran tukang kereta kuda yang boleh meraup untung mengangkut para turis yang malas berjalan dengan tarif gila-gilaan, 60 Yuan sekali jalan.

Tetapi Donchuk memang tukang ojek berpengalaman. Ia menyuruh saya turun, berjalan sedikit satu kilometer, lalu Donchuk yang sudah lewat duluan akan mengangkut saya sampai ke kaki Everest.

Dingin menyelimuti batas akhir perjalanan ini. Di hadapan terpampang gunung raksasa yang tak nampak, terbungkus awan pekat. Saya sudah berada di ketinggian 5182 meter, di hadapan gunung agung yang tegak menjulang.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 8 September 2008

108 tikungan menuju puncak tertinggi dunia. (AGUSTINUS WIBOWO)

108 tikungan menuju puncak tertinggi dunia. (AGUSTINUS WIBOWO)

Dusun Tashirom. (AGUSTINUS WIBOWO)

Dusun Tashirom. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah-bocah dari Tashirom. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah-bocah dari Tashirom. (AGUSTINUS WIBOWO)

Leave a comment

Your email address will not be published.


*