Recommended

Titik Nol 27: Berbalut Khata

Puncak Everest dibalut awan.(AGUSTINUS WIBOWO)

Puncak Everest dibalut awan.(AGUSTINUS WIBOWO)

Cuaca di pegunungan berubah cepat. Yang tadinya langit biru dan gumpalan mungil, kini sudah menjadi mendung tebal menggelayut. Saya tak melihat apa-apa, hanya putih kelabu yang dingin.

Shushu,” kata Donchuk, tukang sepeda motor yang mengantar saya sampai ke Everest Base Camp ini, “Masuk dulu. Qomolangma memang tergantung nasib. Banyak orang yang sampai sini juga tak lihat apa-apa. Moga-moga besok cuaca bagus.”

Saya kembali ke tenda. Yang tinggal di sini adalah kawan Donchuk dan istrinya. Keduanya berkulit hitam, kasar, terbakar matahari. Si suami mengenakan jaket hijau ala jiefangjun – Tentara Pembebasan, model pakaian China yang cukup populer di Tibet. Istrinya berwajah datar, dengan rambut panjang dikepang dan dililitkan melingkari kepala. Mereka tak bisa bahasa Mandarin dan saya tak bisa bahasa Tibet. Perbincangan kami lebih banyak tak sambungnya.

Walaupun demikian, saya merasakan kehangatan sebuah keluarga sederhana Tibet. Si istri menyiapkan teh mentega – minuman utama orang Tibet. Cara membuatnya khusus. Air teh yang sudah bersih dari daun ditumbuk bersama dengan mentega, garam, dan susu. Tumbukannya juga tak biasa, kurus dan panjang, terbuat dari kayu.

Teh susu mentega ini bisa pula jadi makanan, disiramkan ke bubuk jewawut tsampa, yang hasilnya kemudian menjadi bubur mirip makanan bayi. Tsampa asalah makanan pokok paling populer di Tibet.

Tuan rumah selalu sibuk. Cawan saya tak pernah kering oleh teh susu mentega. Dalam cawan, teh juga tak pernah menjadi dingin. Kalau lama tak diminum, lelaki Tibet itu langsung mengambil cawanku, melemparkan isinya ke tanah, dan diisi lagi dengan yang masih panas.

Ketika makan malam bersama, kami laki-laki duduk di meja. Donchuk dan temannya berwajah merah padam, mabuk berat setelah menenggak bermangkuk-mangkuk chang, minuman beralkohol dari jewawut.

Istri teman Donchuk duduk di bawah, makan sendirian di dekat tungku. Menunya nasi putih dengan sedikit sayur. Nasinya semangkuk penuh, sayurnya cuma seujung sumpit. Persis menu wajib kuli bangunan di Beijing.

Keluarga ini tidak terlalu kaya. Tak ada daging di atas meja makan mereka yang gelap dan sederhana. Tadi waktu di jalan menuju ke sini, Donchuk mengajak saya makan bersama seorang kawannya. Menunya bongkah daging yak ukuran besar, diiris dengan pisau kecil, dan langsung dilahap tanpa dicampur apa-apa lagi. Rasanya memang tawar, seperti biasanya makanan bangsa-bangsa pengembara di padang rumput yang tak menghasilkan bumbu dan ragam sayuran.

Cuaca di kaki gunung raksasa ini begitu dingin. Saya menggigil kedinginan walaupun tungku sudah menyala sepanjang hari. Kotoran kambing menjadi bahan bakar tungku, yang tersambung dengan cerobong asap berjelaga. Mereka sudah menyiapkan setumpuk selimut tebal, lapis tiga, khusus untuk saya.

Malam gelap. Angin dari puncak Qomolangma berdesing ribut. Saya seperti tidur di bawah kaki raksasa seram, yang tersembunyi di balik awan tebal.. Akankah ia mengizinkan saya melihat wajahnya yang cantik?

Shushushushu…!” seru Donchuk. Udara masih dingin, saya membuka mata malas-malas. “Qomolangma! Qomolangma! Gunungnya sudah kelihatan!”

Saya langsung terloncat, segera menyambar jaket, sepatu bot, dan kamera, menghambur keluar. Detik berikutnya, saya terpaku melihat pemandangan di hadapan.

Gunung itu menjulang tinggi, tinggi sekali. Puncaknya lancip, diselimuti salju tebal. Ia bagaikan monster raksasa, dengan gagah ia merangkul adik-adiknya yang juga berselimut salju. Awan tipis melingkari puncaknya, perlahan-lahan menyingsing tersapu angin kencang.

Semakin dipandang, monster raksasa itu berubah semakin cantik. Ia laksana gadis Tibet berkalungkan khata – selendang sutra putih pembawa berkah.. Lilitan awan membungkus wajahnya yang malu-malu, sesekali tersibak dan nampaklah puncaknya yang penuh keanggunan. Tak heran, banyak orang rela mengorbankan harta dan nyawa untuk memanjatnya, meresapi keindahannya, menyentuh sendiri wajahnya yang ayu.

Dari tempat ini, di mana kumpulan bendera doa Tibet yang warna-warni berkibar di hadapan sang gunung raksasa, saya hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya tiba di puncak sana. Tetapi saya bukan dilahirkan sebagai pendaki. Pengalaman dengan gunung di atap dunia pertama kali di Kailash cukup membikin trauma, hampir hanyut terbawa sungai luberan salju.

Apalagi mendaki Everest tidak murah, ditambah lagi harus membayar izin pendakian yang sangat mahal, walaupun katanya polisi bisa disogok hingga 50 dolar saja. Tetapi sendirian mendaki Everest, melalui wajah utaranya yang bahkan lebih berbahaya daripada wajah selatan di sisi Nepal? Saya berusaha keras meredam gejolak hati.

Ketika saya masih mabuk oleh keindahan puncak tertinggi dunia itu, seorang lelaki Tibet mendekat.

Shushushushu…!” Ia menengadahkan tangan, menunjukkan cangkang kerang yang dijualnya. Kalau ini Pantai Kuta, mungkin kita tidak kaget. Tetapi di puncak dunia ini, pedagang malah menawarkan kerang sebagai cinderamata?

Fosil kerang memang ditemukan di Everest. Jutaan tahun lalu, puncak tertinggi dunia ini pernah menjadi dasar lautan, tergenang air, menjadi tempat hidup hewan air zaman purba. Sekarang, setelah bumi berevolusi, gempa tektonik beruntun membentuk pegunungan raksasa Himalaya, tempat ini sudah delapan kilometer jauhnya dari permukaan laut. Sungguh kekuatan yang maha dahsyat yang menjadikan puncak Qomolangma berdiri di sini.

Wajah Everest hanya sebentar saja tersembul dari balik awan tebal. Sekarang kecantikannya tersembunyi kembali di balik khata tebal. Walaupun hanya sekilas, saya sudah bersyukur untuk keberuntungan ini.

“Hebat sekali…,” seru pemilik warung Chengdu di dusun Tashirom, dalam perjalanan kembali menuju Shegar, “jadi kamu sudah melihat wajah Zhufeng? Cantik sekali bukan?” Saya mengangguk.

Perut saya sakit, mungkin karena tsampa, mungkin juga karena tipisnya udara di kaki gunung raksasa. Pemilik warung bukan hanya memberi saya obat, tetapi sengaja memasak banyak-banyak untuk saya, dan masih ditambahi lagi makanan sisa tamu lainnya.

Saya kembali bersama sepada motor butut Donchuk. Kali ini, kendaraan tua yang malang itu sudah tak kuat lagi mendaki puncak gunung Chou La menuju Chay. Katanya ada 108 belokan, seperti ular melingkar-lingkar. Daripada semakin ngilu duduk di atas motor, saya memutuskan mendaki saja.

Dari atas datang sebuah jip berisi turis. Waktu melintas di hadapan saya, dua kamera terjulur dari jendela mobil. Jepret, jepret. Wajah awut-awutan saya dengan latar belangkang jalan melingkar di bukit yang terjal terekam dalam kamera. “BRAVO!!!” teriak seorang turis, sambil mengacungkan jempol ke arah saya. Mungkin penampilan saya sudah mirip pendaki gunung raksasa. Entah kapan saya bisa menjadi pendaki gunung sungguhan.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 9 September 2008

Panji-panji doa berkibar di Everest Base Camp. (AGUSTINUS WIBOWO)

Panji-panji doa berkibar di Everest Base Camp. (AGUSTINUS WIBOWO)

Menyiapkan teh susu mentega. (AGUSTINUS WIBOWO)

Menyiapkan teh susu mentega. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kereta kuda di Tashirom. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kereta kuda di Tashirom. (AGUSTINUS WIBOWO)

3 Comments on Titik Nol 27: Berbalut Khata

  1. ah, cerita mas agustinus membuat saya ikut berimajinasi berada di everest 🙂 #wish

Leave a comment

Your email address will not be published.


*