Recommended

Titik Nol 29: Truk Dongfeng

Naik truk Dongfeng keliling negeri. (AGUSTINUS WIBOWO)

Naik truk Dongfeng keliling negeri. (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya meninggalkan rumah Donchuk dengan hati yang teramat gundah. Saya ingin segera meninggalkan kota ini, bergegas menutup segala kenangan tentang Tibet. Namun di akhir perjalanan ini, masih ada kisah manis yang mengakhiri.

Tak mudah mencari tumpangan kendaraan di Tibet menuju Nepal. Walaupun judulnya Friendship Highway yang menjadi urat nadi perdagangan dengan Nepal, tetapi lalu lintas sepi. Negara tetangga di selatan juga miskin, sementara biaya transportasi yang mahal melintasi gunung-gunung raksasa di Tibet tak terlalu menarik minat para pedagang.

Saya menunggu di pertigaan. Di sini sudah banyak orang menunggu. Ada keluarga Tibet dengan barang bawaan berkarung-karung. Ada pria-pria bertopik koboi, mencari tumpangan menuju Shigatse. Ada pula banyak pengemis perempuan berwajah lusuh yang masing-masing menggendong bayi, sama lusuhnya. Yang mau ke Nepal pun bukan hanya saya seorang. Masih ada seorang gadis China yang cantik berkepang, berkaus hitam ketat dan bertopi koboi.

“Kami sudah menunggu sejak kemarin di sini,” kata gadis Hebei yang mungil dan lincah itu, “Tak ada kendaraan juga. Sebenarnya kita bisa menyewa mobil sampai ke perbatasan di Zhangmu, harganya kalau tidak salah seribu Yuan.”

Seribu Yuan, mahal sekali! Di dompet saya sekarang cuma tersisa 250 Yuan. Dalam bahasa Mandarin, 250 disebut erbaiwu. Kata yang sama juga berarti bodoh, tolol. Sekarang saya benar-benar erbaiwu, terkatung-katung pada langit yang mungkin akan bermurah hati menghantar saya keluar dari negara ini.

Gadis itu bernama Xiao Bai, masih seumuran saya. Dia berencana ke Nepal dengan seorang kawan dekatnya, cowok. Ibunya tak mengizinkannya bertualang ke Tibet dan Nepal kalau tidak ditemani. Tempat miskin, amburadul, berbahaya, begitu selalu alasannya. Negeri China sekarang sudah mulai maju dan kaya. Di mata mereka negeri jiran dan tempat terpencil selalu ‘miskin’, ‘amburadul’, ‘berbahaya’. Setiap hari ibunya menelepon, dan Xiao Bai harus mengulang lagu yang sama,

“Tibet tidak miskin, Ma. Di sini aman dan tentram. Tak berbahaya.”

Sehari saja Xiao Bai tak menelepon, keluarganya langsung kalang kabut. Wajarlah kalau papa dan mama Xiao Bai begitu protektif, keluarga orang China cuma punya satu anak semata wayang karena aturan keluarga berencana yang sangat ketat.

Karena itu pulalah Xiao Bai ditemani lelaki muda ini, masih seumuran juga. Tinggi, kurus, dan berwajah muram. Nampaknya mereka berdua sering cekcok juga di jalan. Kata Xiao Bai, kawannya itu sering protes terhadap keadaan. Maklumlah, anak sewata wayang yang baru pertama merambah dunia luar, lepas dari hangatnya pelukan ayah bunda merasakan kehidupan yang keras di jalanan. Perlu adaptasi. Saya juga sudah melewati masa-masa itu.

Dua jam menunggu, baru melintas ke Zhangmu. Xiao Bai yang bernegosiasi dengan sopir truk. Kawan lelakinya itu sepertinya malah bergantung pada si gadis.

“Truk ini mau ke Zhangmu!” seru Xiao Bai penuh semangat, “tetapi mereka bilang tak ada tempat untuk tiga orang. Paling banyak dua orang saja, dan itu pun tarifnya 300 Yuan. Kalau misalnya kami tak bisa berangkat, kau berangkat dululah. Kamu kan orang asing, tamu kami.”

Rombongan truk ini berjumlah dua kendaraan truk Dongfeng – Angin Timur. Sopirnya semua orang Sichuan. Mereka berhenti di Shegar untuk makan siang. Xiaobai terus menguntit sopir itu, terus merayunya untuk mengangkut kami bertiga. Kalimat ampuhnya adalah,

“Tolonglah kami, sifu, kami ini cuma pelajar… tak punya uang….”

Ding, sopir yang paling berkuasa dalam rombongan ini, akhirnya setuju mengangkut kami bertiga. Dua orang ikut truk belakang, seorang ikut truk miliknya. Harganya pun malah turun, jadi 200 Yuan untuk tiga orang.

Saya berpisah dengan Xiao Bai dan kawannya itu, duduk sendirian bersama seorang penumpang Tibet di truk milik Ding. Selain sang sopir, dalam truk kami masih ada sopir lain dan istri Ding. Mereka sebenarnya satu keluarga, bersama-sama datang ke Zhangmu.

“Kami juga jalan-jalan kok,” kata istri Ding yang tidur rebahan di belakang kursi.

Nyamannya truk Dongfeng, selain tempat duduk ada pula tempat menaruh barang yang bisa juga jadi tempat tidur dan selonjor sopir yang kelelahan. Sebenarnya yang bekerja cuma Ding, tetapi ia membawa serta istri dan anaknya.

“Saya juga suka menjelajah,” kata Ding, sopir truk ini, “hampir semua perbatasan China sudah saya rambah. Louwu di dekat Hong Kong, Khunjerab dekat Pakistan, Zhangmu dekat Nepal, Erlian di Mongolia, sampai perbatasan Korea Utara, Laos, Vietnam, Kazakhstan, … semua saya sudah pergi. Pekerjaan saya memang menyetir ke seluruh pelosok negeri ini. China memang besar.”

Keluarga ini seperti gipsi yang merambah ke ujung dunia dengan truk Dongfeng mereka.

Saya pun berbagi cerita tentang perjalanan saya, mulai dari kehidupan saya di Beijing sampai impian saya mencapai negeri Afghan.

“Kamu murid Tsinghua???” Tiba-tiba Ding berseru takjub, “Tian a! Ya Tuhan! Mimpi apa saya semalam sampai truk butut saya disinggahi mahasiswa Tsinghua?”

“Ya Tuhan…., saya senang sekali. Mahasiswa Tsinghua, orang langka dan terhormat yang hanya ada dua dari sepuluh juta manusia. Seorang mahasiswa Tsinghua lebih berharga dari barisan gunung-gunung ini, lebih berharga daripada kota Nyalam dan segala isinya. Kalau saja tadi saya tahu kamu ini dari Tsinghua, tentu tidak saya angkut kamu dengan truk. Bagaimana saya bisa tanggung jawab kalau terjadi apa-apa denganmu? Kamu terlalu berharga….”

Baru pertama kali ini saya mengalami perlakuan teramat istimewa hanya gara-gara saya sekolah di Tsinghua. Di seluruh China, ada dua sekolah tinggi yang paling favorit  – Tsinghua dan Universitas Peking. Hanya pelajar pilihan yang bisa masuk sana, dua universitas yang menjadi impian satu miliar penduduk lebih. Penduduk desa biasanya memang sangat menghormati mahasiswa terpilih ini. Saya ingat rekan saya yang menjadi orang terkenal di kotanya lantaran masuk Tsinghua.

Ding adalah satu contoh ekstrim. Sekarang saya malah menjadi kikuk karena diperlakukan seperti dewa keberuntungan yang datang ke truk Dongfeng-nya. Kata-kata pujian tak pernah berhenti mengalir dari mulutnya. Di luar sana, barisan gunung bertudung salju di samping hamparan padang rumput luas, jauh lebih berharga dan berkuasa daripada seorang lulusan Tsinghua kurus kering yang sedang menumpang truk menuju Nepal ini.
(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 11 September 2008

Naik motor pindah rumah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Naik motor pindah rumah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah pengemis di Tingri. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah pengemis di Tingri. (AGUSTINUS WIBOWO)

Para pekerja perempuan di Tingri. (AGUSTINUS WIBOWO)

Para pekerja perempuan di Tingri. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Titik Nol 29: Truk Dongfeng

  1. aku acungi jempol buat anda, dinamis, kreatif dan produktif. semoga anda bisa menjadi orang yang sangat menentkan nasib bangsa indonesia ke depan. amiiiin.

  2. saya berdo’a ; ‘smoga anda bisa menjadi manusia yang berguna bagi agama,bangsa DAN NEGARA. ANDA MUMPUNG MASIH MUDA,TERUS KEMBANGKAN KEMAMPUAN ANDA SEMAKSIMAL YANG ANDA DAPAT CAPAI.

  3. Bocah pengemis di Tingri itu memegang permen kelinci kesukaan saya, yang sudah ada saya temukan sejak saya masih kecil.
    Tidak bisa komentar yang lain karena saya speechless dan menahan napas membaca petualangan Anda. Anda sungguh mempunyai pengalaman yang luar biasa.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*